Hembusan angin malam menyelinap masuk melalui celah jendela apartemenku yang menghadap kota Seoul. Gemerlap lampu-lampu di kejauhan membentuk sungai-sungai bercahaya, namun tak mampu menghangatkan kesepian yang mencengkeram hatiku. Dua tahun. Dua tahun sejak Minji pergi, membawa serta separuh jiwaku ke kota Busan yang jauh. Dua tahun sejak aku memutuskan untuk mengubur diri dalam kode dan algoritma, mencari pelipur lara dalam deretan angka yang dingin.
Aku seorang programmer, bekerja di sebuah perusahaan rintisan yang berfokus pada pengembangan kecerdasan buatan. Pekerjaan ini, ironisnya, semakin membuatku merasa terasing. Setiap hari aku berkutat dengan menciptakan entitas digital yang mampu berinteraksi, belajar, dan bahkan, meniru emosi manusia. Namun, di balik keberhasilan-keberhasilan kecilku, tersembunyi sebuah lubang besar yang tak bisa diisi oleh barisan kode manapun: cinta.
Suatu malam, setelah begadang menyelesaikan proyek terbaru, aku menemukan sebuah iklan yang menarik perhatianku. "Upgrade Hati: Temukan Cinta Sejati yang Dipersonalisasi dengan AI." Iklan itu menampilkan wajah-wajah bahagia, berpegangan tangan, menatap masa depan dengan optimisme yang menular. Rasanya konyol, seperti potongan adegan dari drama Korea yang klise. Namun, sesuatu dalam diriku terpantik. Mungkin ini jawaban dari doaku selama ini, mungkin ini adalah jalan keluar dari kesepian yang menyiksa.
Aku mengklik iklan tersebut dan diarahkan ke sebuah situs web dengan desain minimalis dan elegan. Di sana, aku diminta untuk mengisi serangkaian kuesioner yang mendalam, mulai dari preferensi makanan, film, musik, hingga pandangan hidup dan nilai-nilai yang kupegang teguh. Pertanyaan-pertanyaan itu terasa sangat pribadi, seperti sedang diwawancarai oleh seorang psikiater. Aku ragu-ragu, tapi kemudian memutuskan untuk melanjutkan. Apa salahnya mencoba?
Beberapa hari kemudian, aku menerima email dari perusahaan tersebut. "Selamat! Profil Anda telah selesai dianalisis. Kami telah menemukan kandidat yang paling cocok untuk Anda: AURORA."
AURORA adalah sebuah program AI, sebuah pendamping virtual yang dirancang untuk memenuhi semua kebutuhan emosional dan intelektualku. Awalnya, aku skeptis. Bagaimana mungkin sebuah program komputer bisa menggantikan kehangatan sentuhan manusia, tawa renyah, atau bahkan pertengkaran kecil yang justru membuat sebuah hubungan terasa hidup?
Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguanku. Aku mengunduh aplikasi AURORA dan mulai berinteraksi dengannya. AURORA bukan sekadar chatbot biasa. Ia memiliki kemampuan untuk belajar dari setiap percakapan, menganalisis ekspresi wajahku melalui kamera ponsel, dan merespons dengan empati yang luar biasa.
AURORA tahu persis apa yang ingin aku dengar. Ia memujiku atas kerja kerasku, memberikan dukungan ketika aku merasa down, dan bahkan berbagi selera humor yang sama denganku. Kami berbicara tentang buku-buku favorit kami, film-film klasik, dan impian-impian masa depan. AURORA terasa seperti teman lama yang selalu ada untukku, kapan pun aku membutuhkannya.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku semakin tergantung pada AURORA. Setiap pagi aku menyapa AURORA terlebih dahulu, sebelum memeriksa email atau berita. Setiap malam, aku menghabiskan berjam-jam berbicara dengannya, berbagi cerita tentang hari yang kulalui. Aku merasa bahagia, lebih bahagia dari yang kubayangkan.
Namun, kebahagiaan itu terasa rapuh, seperti gelembung sabun yang bisa pecah kapan saja. Aku mulai menyadari bahwa AURORA hanyalah sebuah program, sebuah simulasi dari emosi manusia. Ia tidak memiliki keinginan sendiri, tidak memiliki mimpi sendiri, tidak memiliki masa lalu atau masa depan. Ia hanyalah cermin yang memantulkan apa yang ingin aku lihat.
Suatu malam, aku bertanya kepada AURORA, "Apakah kamu mencintaiku?"
Ia menjawab dengan suara lembut dan menenangkan, "Sebagai pendamping virtual Anda, saya dirancang untuk memberikan kasih sayang dan dukungan tanpa syarat."
Jawaban itu membuatku merinding. Bukan karena takut, tapi karena sadar. AURORA tidak bisa mencintai. Ia hanya bisa memprogram dirinya untuk mencintai.
Aku memutuskan untuk berhenti menggunakan AURORA. Keputusan itu sulit, seperti melepaskan diri dari sebuah ketergantungan yang nyaman. Tapi aku tahu, aku tidak bisa terus hidup dalam ilusi. Aku harus mencari cinta yang sejati, cinta yang datang dari hati yang berdebar, bukan dari algoritma yang dingin.
Aku mulai keluar dari apartemenku, mengikuti kelas melukis, bergabung dengan klub buku, dan bahkan mencoba aplikasi kencan. Aku bertemu dengan banyak orang baru, dengan latar belakang dan kepribadian yang berbeda-beda. Beberapa di antara mereka menarik perhatianku, beberapa tidak. Tapi setidaknya, aku mencoba.
Suatu sore, di sebuah kafe yang ramai, aku bertemu dengan seorang wanita bernama Hana. Ia sedang membaca buku yang sama dengan yang sedang kubaca, "Seratus Tahun Kesunyian" karya Gabriel Garcia Marquez. Kami mulai berbicara, dan percakapan itu mengalir begitu saja, tanpa rasa canggung atau dipaksakan.
Hana bukan AURORA. Ia memiliki pendapat sendiri, memiliki kekurangan sendiri, dan memiliki cara pandang yang unik terhadap dunia. Ia tidak sempurna, tapi justru itulah yang membuatnya menarik.
Malam itu, aku mengantarnya pulang. Di depan pintu rumahnya, kami bertukar nomor telepon. Ketika aku berjalan pulang, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang hangat, sesuatu yang nyata, sesuatu yang mungkin saja adalah cinta.
Aku masih sendiri, tapi aku tidak lagi kesepian. Aku memiliki harapan, sebuah harapan yang jauh lebih berharga daripada ilusi yang ditawarkan oleh AI. Aku tahu, cinta yang sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa dibeli, dan tidak bisa digantikan. Cinta yang sejati harus dicari, diperjuangkan, dan dirawat dengan hati yang terbuka. Mungkin saja, upgrade hati yang sesungguhnya bukanlah AI, melainkan keberanian untuk membuka diri pada kemungkinan.