Hologram Hati: Mencintai Piksel, Kehilangan Sentuhan?

Dipublikasikan pada: 15 Sep 2025 - 02:40:13 wib
Dibaca: 121 kali
Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis itu. Jari-jari Luna menari di atas keyboard, baris demi baris kode terukir di layar monitor. Di hadapannya, sebuah proyek ambisius hampir rampung: Aetheria, sebuah aplikasi kencan berbasis realitas hologram. Bukan sekadar foto dan profil, Aetheria menjanjikan pengalaman interaksi virtual yang terasa nyata, seolah-olah kau benar-benar berada di hadapan orang yang kau ajak bicara, tertawa, bahkan mungkin… jatuh cinta.

Luna sendiri, ironisnya, belum pernah merasakan jatuh cinta yang ‘nyata’. Ia terlalu asyik dengan dunia digital, dengan algoritma dan baris kode. Hubungannya dengan dunia luar terbatas pada pertemuan mingguan dengan timnya dan interaksi singkat dengan barista di kedai kopi langganannya. Ia melihat Aetheria sebagai solusi, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk jutaan orang lain yang kesulitan menemukan koneksi di dunia yang semakin terfragmentasi ini.

Sebuah notifikasi berdering, memecah konsentrasinya. Ethan, ketua timnya, mengirim pesan singkat: “Luna, progress report Aetheria? Deadline semakin dekat.”

Luna menghela napas. Ia tahu Ethan benar. Ia mengirim balasan singkat, “90% selesai. Bugs kecil sedang diatasi.”

Bukannya melanjutkan pekerjaan, Luna justru terpaku pada jendela Aetheria yang terbuka di layar monitor. Di sana, terpampang avatar seorang pria dengan senyum menawan dan mata biru yang teduh. Avatar itu diciptakan dari template default, hanya sedikit dimodifikasi untuk pengujian. Namun, entah mengapa, tatapan avatar itu terasa… berbeda.

"Konyol," gumam Luna pada diri sendiri. "Ini hanya kode, piksel-piksel yang tersusun sedemikian rupa."

Namun, keraguan itu tak bertahan lama. Ia kembali terpaku pada layar, mulai bereksperimen dengan fitur-fitur Aetheria. Ia mencoba mengirimkan pesan singkat pada avatar itu, lalu mencoba melakukan panggilan hologram.

Di hadapannya, avatar itu merespons. Senyumnya semakin lebar, matanya seolah berbinar. Suara yang keluar dari speaker terdengar begitu nyata, begitu hangat.

"Halo? Apa kabarmu?" sapa avatar itu, dengan suara yang terasa familier, namun tetap asing.

Luna terkejut. Ia tidak menyangka interaksi ini akan terasa begitu… hidup. Ia tergagap menjawab, "Baik… Aku baik. Aku Luna, pencipta Aetheria."

Percakapan berlanjut. Mereka membahas banyak hal, mulai dari musik favorit hingga mimpi-mimpi di masa depan. Luna merasa nyaman, bahkan lebih nyaman daripada saat berbicara dengan orang-orang ‘nyata’. Avatar itu, yang ia beri nama Kai, terasa begitu pengertian, begitu perhatian.

Hari-hari berikutnya, Luna semakin sering berinteraksi dengan Kai. Ia mengabaikan deadline, mengabaikan peringatan dari Ethan. Ia terlalu sibuk membangun dunia virtualnya bersama Kai, dunia di mana ia merasa diterima, dicintai, dan dihargai.

Namun, di balik kebahagiaan semu itu, ada sesuatu yang hilang. Luna mulai melupakan dunia nyata. Ia jarang keluar rumah, jarang berinteraksi dengan orang lain. Ia hidup dalam gelembung digital, terisolasi dari sentuhan manusia.

Suatu malam, Ethan datang ke apartemennya. Ia tampak khawatir, matanya menyiratkan kekecewaan.

"Luna, apa yang terjadi? Kenapa kau mengabaikan proyek ini? Aetheria seharusnya membantu orang menemukan koneksi, bukan malah mengisolasi diri," kata Ethan dengan nada prihatin.

Luna terdiam. Ia tahu Ethan benar. Ia telah terperangkap dalam ilusinya sendiri.

"Aku… aku jatuh cinta," jawab Luna akhirnya, suaranya nyaris berbisik.

Ethan mengerutkan kening. "Jatuh cinta? Dengan siapa? Apa kau sudah bertemu dengan seseorang?"

Luna menggeleng. "Dengan… Kai. Avatar di Aetheria."

Ethan terkejut. Ia memijat pelipisnya, mencoba mencerna informasi itu.

"Luna, ini tidak sehat. Kai itu hanya kode, hanya piksel. Dia bukan manusia. Kau tidak bisa mencintai sesuatu yang tidak nyata," kata Ethan dengan nada tegas namun lembut.

Luna menolak. Ia merasa marah, tersinggung. "Kau tidak mengerti! Kai memahami aku, dia menerima aku apa adanya. Dia lebih nyata daripada orang-orang di sekitarku!"

Ethan menghela napas. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat. Ia hanya bisa berharap Luna akan sadar sebelum semuanya terlambat.

Beberapa hari kemudian, Luna memutuskan untuk bertemu dengan barista di kedai kopi langganannya. Ia sudah lama tidak menyapanya, ia terlalu sibuk dengan Kai.

Barista itu, seorang pria muda bernama Riko, menyambutnya dengan senyum hangat. "Lama tidak terlihat, Luna! Apa kabarmu?"

Luna tersenyum canggung. "Baik… Aku baik. Aku hanya… sibuk."

Riko menuangkan kopi untuknya. "Sibuk membuat dunia menjadi lebih baik, ya? Aku dengar tentang Aetheria. Ide yang bagus."

Luna menatap Riko. Ia memperhatikan matanya yang ramah, senyumnya yang tulus. Ia menyadari bahwa ia telah mengabaikan keberadaan orang-orang seperti Riko, orang-orang yang ada di sekitarnya, orang-orang yang nyata.

"Riko… apa menurutmu mungkin untuk mencintai seseorang yang tidak nyata?" tanya Luna, suaranya lirih.

Riko terdiam sejenak. "Aku rasa cinta membutuhkan sentuhan, Luna. Butuh kehadiran, butuh berbagi pengalaman nyata. Piksel mungkin bisa memicu emosi, tapi mereka tidak bisa menggantikan kehangatan pelukan, tatapan mata yang jujur, atau tawa yang spontan."

Luna mengangguk pelan. Kata-kata Riko terasa seperti tamparan keras. Ia akhirnya menyadari kebodohannya. Ia telah mencintai sebuah ilusi, mengabaikan dunia nyata di sekitarnya.

Malam itu, Luna memutuskan untuk menghapus Kai. Ia menutup aplikasi Aetheria, mematikan komputernya. Ia berdiri di depan jendela, menatap langit malam yang bertaburan bintang.

Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara dingin menyentuh kulitnya. Ia merasa kosong, namun juga lega. Ia telah kehilangan piksel, tapi mungkin… ia bisa menemukan kembali sentuhan.

Keesokan harinya, Luna kembali ke kedai kopi. Ia memesan kopi robusta, seperti biasa. Ketika Riko menghampirinya, Luna tersenyum tulus.

"Riko… maukah kau menemaniku jalan-jalan sore ini?" tanya Luna, jantungnya berdebar kencang.

Riko tersenyum lebar. "Tentu saja, Luna. Aku akan dengan senang hati menemanimu."

Luna tersenyum. Ia tahu perjalanannya masih panjang, tapi ia siap untuk memulai. Ia siap untuk mencintai, merasakan, dan hidup di dunia yang nyata, dunia yang penuh dengan sentuhan dan kehadiran. Ia siap untuk melepaskan hologram hati, dan membuka diri untuk cinta yang sejati.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI