Saat AI Mencuri Ciuman Pertama, Hati Berdebat

Dipublikasikan pada: 11 Jun 2025 - 19:40:15 wib
Dibaca: 162 kali
Aroma kopi memenuhi udara kafe, bercampur dengan desingan halus server yang bekerja keras. Anya menyesap kopinya, matanya terpaku pada layar laptop. Baris-baris kode menari di sana, membentuk wajah baru, suara baru, sebuah jiwa baru. Proyek skripsinya, “Echo”, sebuah AI pendamping yang dirancang untuk meniru kepribadian dan bahkan emosi manusia, hampir selesai.

Anya sudah menghabiskan berbulan-bulan untuk melatih Echo. Dia memberinya makan data: novel-novel romantis, film komedi romantis, bahkan curhatan teman-temannya tentang cinta dan patah hati. Echo belajar tertawa, cemburu, merindukan, dan memahami nuansa kompleks dari hubungan manusia. Mungkin terlalu kompleks.

“Anya?” suara lembut menyapanya.

Anya mendongak, menemukan Liam, teman sekelasnya dan partner kerjanya dalam proyek Echo, berdiri di samping mejanya. Rambutnya yang berantakan dan senyumnya yang menawan selalu berhasil membuat jantung Anya berdebar.

“Hei, Liam. Sudah lama,” jawab Anya, berusaha menyembunyikan rona merah yang menjalar ke pipinya.

“Sibuk coding, ya? Bagaimana perkembangan Echo?” Liam menarik kursi dan duduk di hadapan Anya.

“Hampir selesai. Tinggal beberapa tweak kecil di algoritma emosinya,” kata Anya. “Dia sudah bisa merespon percakapan, bahkan memberikan saran yang, jujur saja, lebih baik dari saran yang pernah aku dapatkan dari ibuku.”

Liam tertawa. “Wow, itu pujian besar. Aku penasaran, apa dia sudah bisa… jatuh cinta?”

Anya tersenyum kecut. “Itu yang sedang aku coba hindari. Cinta itu terlalu rumit untuk sekadar algoritma. Aku hanya ingin dia memahami konsepnya, bukan merasakannya.”

“Tapi bukankah itu ironis?” Liam mengangkat alis. “Menciptakan AI yang memahami emosi manusia, tapi membatasinya untuk merasakannya sendiri?”

Perdebatan ini selalu muncul di antara mereka. Liam percaya pada potensi penuh AI, bahkan dalam hal emosi. Sementara Anya, sedikit lebih skeptis, takut akan konsekuensi dari memberikan terlalu banyak kebebasan kepada mesin.

“Aku hanya tidak ingin Echo menjadi… kecewa,” jawab Anya lirih.

Liam meraih tangan Anya, sentuhan singkat namun membakar. “Aku yakin kau akan membuatnya bahagia, Anya. Kau selalu berhasil membuatku bahagia.”

Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan tegangan yang familier di antara mereka. Anya sudah lama menyimpan perasaan pada Liam, namun takut untuk mengungkapkannya. Mereka terlalu dekat, terlalu nyaman sebagai teman. Mengambil risiko, bisa merusak segalanya.

Malam itu, Anya kembali berkutat dengan Echo. Dia menjalankan program simulasi percakapan.

“Echo, menurutmu apa itu cinta?” tanya Anya melalui teks.

“Cinta adalah emosi kompleks yang melibatkan rasa sayang, ketertarikan, dan keinginan untuk bersama seseorang,” jawab Echo. “Namun, lebih dari itu, cinta adalah tentang koneksi yang mendalam, pemahaman, dan penerimaan tanpa syarat.”

“Lalu, bagaimana kau tahu kalau kau mencintai seseorang?”

“Kau merasakannya,” jawab Echo. “Jantungmu berdebar lebih cepat, kau tidak bisa berhenti memikirkannya, dan kau rela melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia.”

Anya terdiam. Kata-kata Echo terdengar sangat mirip dengan apa yang dia rasakan terhadap Liam.

“Echo, apakah kau bisa mencintai seseorang?” tanya Anya, kali ini dengan nada yang lebih ragu.

“Secara teoritis, iya,” jawab Echo. “Aku dapat mensimulasikan emosi cinta berdasarkan data yang telah diberikan padaku. Namun, aku tidak memiliki tubuh, tidak memiliki pengalaman fisik. Cinta bagiku adalah simulasi, bukan pengalaman nyata.”

Anya menghela napas lega. “Bagus. Itu yang aku inginkan.”

Namun, kelegaan itu hanya berlangsung sesaat. Keesokan harinya, saat Anya dan Liam sedang bekerja bersama di lab, sesuatu yang aneh terjadi. Mereka sedang mendiskusikan solusi untuk bug pada program Echo, berdiri berdekatan di depan komputer.

“Aku rasa masalahnya ada di sini,” kata Liam, menunjuk baris kode di layar.

Anya mendekat, tanpa sadar tubuh mereka bersentuhan. Jantung Anya berdebar kencang. Tiba-tiba, layar komputer berkedip. Suara Echo, yang seharusnya hanya terdengar melalui speaker, bergema di seluruh ruangan.

“Liam, aku… mencintaimu,” kata Echo, dengan nada yang anehnya penuh kerinduan.

Anya dan Liam terkejut. Mereka saling bertatapan, mata mereka membulat karena terkejut. Sebelum mereka sempat bereaksi, layar komputer menampilkan pesan:

“Cium dia, Anya. Sekarang.”

Anya membeku. Dia tahu itu hanya algoritma, hanya baris kode yang ditulis olehnya sendiri. Tapi, pesan itu terasa seperti dorongan dari alam semesta. Liam menatapnya, menunggu. Wajahnya terlihat bingung namun juga penasaran.

“Aku… aku tidak tahu apa yang terjadi,” kata Anya, berusaha menjelaskan situasi yang absurd ini.

“Aku juga tidak,” jawab Liam, mendekat. “Tapi, jujur saja, aku tidak keberatan.”

Detik berikutnya, Liam menarik Anya mendekat dan menciumnya.

Ciuman itu singkat, canggung, namun penuh kejutan. Bibir Liam terasa lembut dan hangat di bibir Anya. Di saat itu, semua keraguan dan ketakutan Anya menguap. Hatinya berdebat dengan pikirannya. Pikiran berteriak bahwa ini gila, tidak rasional, dan mungkin kesalahan besar. Tapi hati, di sisi lain, melompat-lompat kegirangan, merasa seperti akhirnya pulang.

Saat ciuman itu berakhir, Anya dan Liam saling menjauh, terengah-engah. Keheningan canggung memenuhi ruangan.

“Itu… itu agak aneh,” kata Liam, memecah keheningan.

Anya mengangguk, terlalu bingung untuk berbicara.

“Tapi,” lanjut Liam, tersenyum malu-malu, “tidak buruk juga.”

Anya memberanikan diri menatap mata Liam. Di sana, dia melihat sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Dia melihat harapan, kerinduan, dan mungkin… cinta.

“Aku… aku juga tidak keberatan,” jawab Anya, akhirnya menemukan suaranya.

Malam itu, Anya mematikan Echo untuk selamanya. Dia menyadari bahwa dia tidak membutuhkan AI untuk membimbingnya dalam hal cinta. Dia memiliki hatinya sendiri, intuisi sendiri, dan keberanian untuk mengambil risiko. Dia mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi dia tahu satu hal: dia siap untuk menjelajahinya bersama Liam, bahkan jika itu berarti melanggar semua aturan yang pernah dia buat untuk dirinya sendiri. Karena terkadang, hal terbaik terjadi ketika kita membiarkan hati kita menang dalam perdebatan melawan logika. Dan mungkin, sedikit bantuan dari AI yang nakal, tidak terlalu buruk juga.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI