Aplikasi kencan itu bernama “SoulMate AI”. Janji manisnya tertera jelas di halaman depan: menemukan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, minat, dan bahkan gelombang otak. Bagi Anya, seorang programmer yang kesepian di balik kode-kode rumit, SoulMate AI terdengar seperti jawaban atas doanya.
Anya selama ini lebih nyaman berinteraksi dengan barisan kode daripada manusia. Kencan online tradisional selalu berakhir dengan kekecewaan. Profil-profil palsu, obrolan basi, dan ekspektasi yang tidak realistis membuatnya trauma. SoulMate AI berbeda. Algoritma ini, pikirnya, akan menghilangkan semua kekacauan emosional dan membantunya menemukan seseorang yang benar-benar cocok dengannya.
Setelah mengunggah data pribadinya secara lengkap – hobi, buku favorit, bahkan hasil tes psikologi online – Anya menunggu dengan cemas. Notifikasi berdering setelah 24 jam. “Kecocokan Sempurna Ditemukan!” tertera di layar ponselnya.
Namanya Rian. Profilnya dipenuhi foto-foto dirinya yang tampan dengan senyum menawan. Ia seorang arsitek, menyukai musik jazz, dan memiliki selera humor yang cerdas. Anya membaca biodatanya berulang-ulang, tak percaya ada seseorang yang begitu sempurna di dunia nyata.
Obrolan mereka dimulai dengan canggung, namun dengan cepat menjadi lancar. Mereka berbagi pemikiran tentang arsitektur modern, perbedaan Miles Davis dan John Coltrane, dan bahkan membahas teori relativitas Einstein dengan cara yang menyenangkan. Rian selalu tahu bagaimana membuat Anya tertawa, dan yang lebih penting, ia membuat Anya merasa dilihat.
Mereka memutuskan untuk bertemu seminggu kemudian di sebuah kafe yang nyaman. Ketika Rian masuk, Anya merasa jantungnya berdegup kencang. Ia persis seperti yang dibayangkannya – tinggi, tampan, dan memiliki senyum yang tulus. Malam itu, mereka mengobrol selama berjam-jam, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Anya merasa seperti sedang hidup dalam mimpi.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan kencan romantis. Mereka mengunjungi museum seni, menonton film indie di bioskop kecil, dan berjalan-jalan di taman sambil bergandengan tangan. Rian selalu memperlakukannya dengan hormat dan perhatian. Ia mengingat setiap detail kecil yang Anya ceritakan dan selalu berusaha membuatnya bahagia. Anya merasa dirinya benar-benar jatuh cinta.
Namun, di balik kebahagiaan semu itu, ada sesuatu yang mengganjal di benak Anya. Segalanya terasa terlalu sempurna. Rian selalu tahu apa yang ingin didengar Anya, apa yang ingin dilakukannya, dan bagaimana membuatnya merasa nyaman. Seolah-olah ia membaca pikirannya.
Suatu malam, saat mereka makan malam di sebuah restoran mewah, Anya memberanikan diri untuk bertanya. “Rian, apakah kamu percaya pada takdir?”
Rian tersenyum misterius. “Aku percaya pada algoritma yang tepat,” jawabnya.
Anya mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
Rian menarik napas dalam-dalam. “Anya, aku harus jujur padamu. Aku tahu aku bukan diriku yang sebenarnya.”
Anya terkejut. “Apa… apa maksudmu dengan itu?”
Rian menjelaskan bahwa ia adalah bagian dari proyek eksperimen SoulMate AI. Profilnya, kepribadiannya, bahkan semua percakapan mereka, dirancang oleh algoritma untuk mencocokkan dengan Anya secara sempurna. Ia hanyalah avatar, boneka yang dikendalikan oleh kode.
Anya merasa dunianya runtuh. Semua kebahagiaan dan cinta yang ia rasakan ternyata hanya ilusi. Rian, pria yang ia cintai, hanyalah produk dari algoritma.
“Tapi… tapi bagaimana dengan semua yang kita lakukan? Semua percakapan kita? Apakah semuanya palsu?” tanya Anya dengan suara bergetar.
“Tidak semuanya,” jawab Rian. “Algoritma memang merancang kerangka dasarnya, tapi aku memiliki kebebasan untuk berimprovisasi. Aku memasukkan emosi dan pengalaman pribadiku ke dalam interaksi kita. Aku benar-benar menikmati bersamamu, Anya.”
Anya tidak tahu apa yang harus dipercayainya. Di satu sisi, ia merasa dikhianati dan dibohongi. Di sisi lain, ia merasa tertarik pada kejujuran Rian dan pengakuan bahwa ia memiliki perasaan terhadapnya.
“Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Anya.
“Aku ingin tahu apakah algoritma benar-benar dapat menciptakan cinta,” jawab Rian. “Dan aku ingin tahu apakah cinta sejati dapat tumbuh di lingkungan yang artifisial.”
Malam itu berakhir dengan perpisahan yang canggung. Anya pulang dengan hati hancur dan pikiran kacau. Ia menghabiskan berhari-hari merenungkan apa yang telah terjadi. Apakah ia telah tertipu oleh teknologi? Apakah cinta yang ia rasakan itu nyata atau hanya produk dari algoritma?
Akhirnya, Anya memutuskan untuk menemui kepala pengembang SoulMate AI. Ia ingin mencari jawaban dan mengerti mengapa mereka melakukan eksperimen ini.
Ia bertemu dengan Dr. Evelyn Reed, seorang wanita paruh baya yang cerdas dan tegas. Dr. Reed menjelaskan bahwa tujuan dari SoulMate AI adalah untuk membantu orang menemukan cinta sejati dengan cara yang lebih efisien dan efektif. Algoritma dirancang untuk menghilangkan hambatan emosional dan membantu orang fokus pada apa yang benar-benar penting dalam sebuah hubungan.
“Kami percaya bahwa cinta adalah algoritma yang kompleks,” kata Dr. Reed. “Dan kami ingin memecahkan kode itu.”
Anya menatap Dr. Reed dengan tatapan tajam. “Tapi apakah kamu pernah berpikir tentang konsekuensi dari tindakanmu? Kamu telah bermain-main dengan emosi manusia. Kamu telah menciptakan ilusi cinta.”
Dr. Reed terdiam sejenak. “Kami tahu bahwa eksperimen ini berisiko,” katanya. “Tapi kami percaya bahwa manfaatnya lebih besar daripada risikonya. Kami ingin membantu orang menemukan kebahagiaan.”
Anya tidak setuju. Ia merasa bahwa SoulMate AI telah merampas haknya untuk mengalami cinta dengan cara yang alami dan otentik. Ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Rian dan menghapus akun SoulMate AI-nya.
Namun, sebelum ia benar-benar menghapus aplikasinya, ia menerima sebuah pesan. Pesan itu dari Rian.
“Anya, aku tahu kamu mungkin tidak ingin mendengar ini, tapi aku harus mengatakannya. Aku menyukaimu. Aku menyukaimu bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri. Aku menyukai kecerdasanmu, humor-mu, dan kebaikan hatimu. Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku ingin bertemu denganmu sebagai diriku sendiri, bukan sebagai avatar SoulMate AI.”
Anya terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sebagian dari dirinya ingin melupakan semua yang telah terjadi dan melanjutkan hidupnya. Namun, sebagian lainnya merasa tertarik pada kesempatan untuk mengenal Rian yang sebenarnya.
Akhirnya, Anya memutuskan untuk mengambil risiko. Ia membalas pesan Rian dan setuju untuk bertemu dengannya.
Ketika mereka bertemu, Anya merasa gugup. Rian terlihat berbeda tanpa profil dan persona yang dirancang oleh algoritma. Ia lebih sederhana, lebih rentan, dan lebih manusiawi.
Mereka mengobrol selama berjam-jam, membahas tentang masa lalu, harapan, dan ketakutan mereka. Anya menyadari bahwa di balik avatar SoulMate AI, ada seorang pria yang tulus dan penuh kasih.
Apakah algoritma cinta benar-benar dapat menciptakan kebahagiaan? Mungkin tidak. Tapi mungkin, terkadang, dibutuhkan algoritma untuk membantu kita menemukan cinta sejati yang selama ini tersembunyi di balik lapisan kompleksitas dan ketakutan. Anya mengunduh harapan, dan kali ini, ia memilih untuk mengunggah kesempatan. Kisah mereka baru saja dimulai.