Deretan angka dan huruf hijau menari di layar monitor. Jari-jemariku lincah mengetik, merangkai algoritma rumit yang akan menjadi inti dari aplikasi kencan terbaruku, "Soulmate.AI". Aku, Ardi, seorang programmer introvert dengan segudang mimpi dan sedikit sekali pengalaman romansa, berharap aplikasi ini akan menjadi solusi bagi para jomblo kesepian di era digital. Sebuah ironi, mungkin, menciptakan alat untuk mencari cinta sementara diriku sendiri masih berkutat dengan kode.
“Kurang kopi, Ardi?” Suara hangat Maya, rekan kerjaku, membuyarkan konsentrasiku. Ia menyodorkan cangkir keramik bergambar robot. Maya adalah kebalikan dari diriku. Ia ceria, supel, dan selalu berhasil membuat suasana kantor menjadi lebih hidup. Diam-diam, aku mengaguminya.
“Terima kasih, Maya. Kamu memang penyelamat,” ujarku sambil menerima cangkir itu. Aroma kopi langsung menyeruak, menenangkan saraf-sarafku yang tegang.
“Semangat terus ya, Ardi. Aku yakin Soulmate.AI akan booming. Siapa tahu, kamu juga bisa menemukan jodohmu di sana,” goda Maya sambil terkekeh.
Pipiku terasa panas. Aku hanya tersenyum kikuk. Mencari cinta lewat aplikasi buatanku sendiri? Ide yang menggelikan sekaligus menarik.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku dan timku bekerja keras menyelesaikan Soulmate.AI. Aplikasi ini menggunakan algoritma kompleks yang menganalisis data kepribadian, minat, dan bahkan pola komunikasi pengguna untuk mencocokkan mereka dengan potensi pasangan yang paling kompatibel. Aku yakin, Soulmate.AI akan lebih akurat daripada aplikasi kencan lainnya yang hanya mengandalkan foto dan deskripsi singkat.
Akhirnya, hari peluncuran tiba. Aku gugup sekaligus bersemangat. Aku memantau data pengguna, melihat bagaimana algoritma bekerja, mencocokkan satu profil dengan profil lainnya. Awalnya, semua berjalan lancar. Banyak pengguna yang memberikan ulasan positif tentang akurasi dan kemudahan penggunaan aplikasi ini.
Namun, ada satu hal yang mengusikku. Algoritma terus-menerus mencocokkan profilku dengan profil Maya. Awalnya, aku menganggapnya sebagai kesalahan teknis. Mungkin ada bug dalam kodeku. Namun, semakin aku menganalisis data, semakin aku yakin bahwa algoritma itu benar. Profilku dan profil Maya memiliki banyak kesamaan, lebih dari yang aku sadari.
Aku mencoba mengabaikan "kecocokan" ini. Aku takut merusak persahabatan yang sudah terjalin antara aku dan Maya. Lagipula, aku hanyalah seorang programmer cupu yang tidak pantas bersanding dengan wanita secantik dan seceria Maya.
Namun, rasa penasaran terus menghantuiku. Aku mulai memperhatikan Maya lebih seksama. Aku melihat senyumnya yang tulus, perhatiannya yang besar, dan kecerdasannya yang mengagumkan. Aku menyadari bahwa aku tidak hanya mengagumi Maya sebagai rekan kerja, tapi juga sebagai seorang wanita.
Suatu malam, setelah bekerja lembur, aku memberanikan diri mengajak Maya makan malam. Kami memilih restoran Italia sederhana yang tidak jauh dari kantor.
“Terima kasih sudah mengajakku, Ardi. Aku senang sekali,” kata Maya dengan senyum manisnya.
“Aku juga senang bisa makan malam denganmu, Maya,” jawabku gugup.
Malam itu, kami berbicara banyak hal. Tentang pekerjaan, mimpi, dan ketakutan kami. Aku menceritakan tentang Soulmate.AI dan bagaimana algoritma terus-menerus mencocokkan profilku dengan profilnya.
Maya tertawa. “Aku juga menyadarinya, Ardi. Awalnya, aku pikir itu hanya kebetulan. Tapi, semakin lama aku berpikir, mungkin algoritma itu benar.”
Jantungku berdegup kencang. Aku tidak tahu harus berkata apa.
“Aku… aku juga merasakan hal yang sama, Maya,” akhirnya aku berhasil mengeluarkan kata-kata itu.
Maya menatapku lekat-lekat. “Ardi, aku menyukaimu. Aku menyukaimu bukan karena algoritma, tapi karena kamu adalah kamu. Kamu cerdas, pekerja keras, dan sangat perhatian. Aku suka caramu memandang dunia, caramu menyelesaikan masalah, dan caramu tersenyum.”
Air mataku hampir menetes. Aku tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata itu dari Maya.
“Aku… aku juga menyukaimu, Maya. Aku selalu mengagumimu. Kamu membuatku menjadi orang yang lebih baik,” ujarku dengan suara bergetar.
Kami saling berpegangan tangan. Malam itu, di restoran Italia sederhana, kami menemukan cinta yang tidak terduga. Cinta yang mungkin dipicu oleh algoritma, tapi tumbuh karena perasaan yang tulus.
Soulmate.AI menjadi sangat sukses. Banyak orang yang menemukan cinta sejati melalui aplikasi itu. Aku senang bisa membantu orang lain menemukan kebahagiaan. Namun, kebahagiaanku yang terbesar adalah menemukan cinta dalam diri Maya.
Beberapa tahun kemudian, aku dan Maya menikah. Kami membangun rumah tangga yang bahagia dan penuh cinta. Kami sering bercanda tentang bagaimana algoritma telah mempertemukan kami.
“Kamu tahu, Ardi, aku tidak akan pernah percaya pada aplikasi kencan kalau bukan karena Soulmate.AI,” kata Maya suatu malam sambil memelukku.
“Aku juga tidak akan percaya bahwa aku bisa menemukan cinta jika bukan karena kamu, Maya. Kamu adalah algoritma terbaik dalam hidupku,” jawabku sambil mencium keningnya.
Jejak algoritma telah menuntunku menuju hati Maya. Cinta kami adalah bukti bahwa teknologi bisa menjadi jembatan, bukan penghalang, untuk menemukan kebahagiaan. Cinta tanpa batas piksel, sebuah kisah yang dimulai dari baris kode dan berakhir dengan senyuman abadi.