Debu neon masih mengambang di udara setelah pesta peluncuran algoritma empati terbaru, "Aeon". Anya menyesap koktail sintetisnya, matanya tertuju pada kerumunan manusia dan simulakra yang berbaur dengan mulus. Di era singularitas teknologi ini, batas antara nyata dan virtual semakin kabur, dan Anya, sebagai seorang programmer Aeon, berada di garis depan perubahan itu.
Ia melihatnya dari sudut mata. Seorang pria berdiri di dekat jendela panorama, memandang kota yang berkilauan di bawahnya. Rambutnya sedikit berantakan, matanya fokus, dan gesturnya tenang namun memancarkan kekuatan yang menarik. Ia tidak menggunakan implan AR yang populer, sesuatu yang cukup langka di pesta semacam ini. Anya menghampirinya, rasa ingin tahu yang aneh mendorongnya.
"Pemandangan yang luar biasa, bukan?" sapanya, berusaha terdengar santai.
Pria itu menoleh, senyum tipis menghiasi wajahnya. "Memang. Terutama jika kau bisa melihatnya tanpa augmented reality."
"Kau tidak menggunakan implan?" tanya Anya, sedikit terkejut.
"Tidak begitu suka. Terlalu banyak kebisingan," jawabnya. "Nama saya Kai."
"Anya. Saya salah satu programmer Aeon."
Mata Kai berbinar. "Aeon? Algoritma empati yang revolusioner itu? Karya yang luar biasa."
Anya tersipu. "Terima kasih. Tapi saya hanya bagian kecil dari tim."
Mereka terlarut dalam percakapan yang mengalir lancar. Kai ternyata seorang ahli biologi yang mempelajari dampak teknologi pada evolusi manusia. Mereka berdebat tentang etika singularitas, masa depan kesadaran, dan makna menjadi manusia di dunia yang semakin dikendalikan oleh algoritma. Anya merasa terhubung dengan Kai pada tingkat yang dalam, sebuah sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Di hari-hari berikutnya, mereka sering bertemu. Mereka menjelajahi museum virtual, mendaki gunung digital, dan bahkan menghadiri konser holografik seorang komposer legendaris. Anya menemukan bahwa Kai memiliki pandangan yang unik tentang dunia, campuran antara kekaguman dan kecurigaan terhadap teknologi. Ia menghargai kemampuannya untuk melihat melewati hype dan fokus pada inti dari apa yang benar-benar penting.
Anya mulai melihat dunia melalui mata Kai. Ia mulai mempertanyakan apakah Aeon benar-benar membantu orang, atau hanya menciptakan ilusi koneksi. Ia melihat bagaimana orang-orang menjadi semakin bergantung pada algoritma untuk mengatur emosi mereka, kehilangan kemampuan untuk merasakan dan mengekspresikan perasaan mereka sendiri.
Suatu malam, saat mereka duduk di taman rooftop Anya, di bawah bintang-bintang buatan, Kai berkata, "Saya khawatir, Anya. Teknologi ini bisa jadi menyelamatkan kita, atau justru menghancurkan kita. Kita harus berhati-hati."
Anya mengangguk. "Saya tahu. Saya juga khawatir. Tapi saya tidak tahu apa yang bisa saya lakukan."
"Kau punya kekuatan, Anya," kata Kai, menatapnya dengan intens. "Kau yang menciptakan Aeon. Kau bisa mengubahnya."
Kata-kata Kai memicu sesuatu dalam diri Anya. Ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia mulai bekerja secara diam-diam, mengembangkan kode yang bisa mengembalikan otonomi emosional kepada pengguna Aeon. Ia menyebutnya "Liberation".
Namun, tindakannya tidak luput dari perhatian. Perusahaan tempat ia bekerja mencium gelagatnya. Anya dipanggil oleh CEO, seorang pria paruh baya yang dingin dan efisien bernama Mr. Thorne.
"Anya, kami tahu tentang kode Liberationmu," kata Mr. Thorne dengan nada mengancam. "Apa yang kau lakukan adalah pengkhianatan. Kau membahayakan masa depan perusahaan."
"Saya hanya mencoba membantu orang," jawab Anya. "Aeon seharusnya menjadi alat untuk koneksi yang tulus, bukan pengganti emosi."
"Emosi itu tidak efisien, Anya. Efisiensi adalah kunci masa depan," balas Mr. Thorne. "Serahkan kode Liberationmu. Atau kau akan menghadapi konsekuensinya."
Anya menolak. Ia tahu bahwa ia harus melindungi Liberation. Ia melarikan diri dari perusahaan, dibantu oleh Kai. Mereka bersembunyi, menghindari mata-mata perusahaan dan algoritma pengawasan yang omnipresent.
Selama masa pelarian, cinta mereka semakin dalam. Mereka saling mengandalkan, saling mendukung, dan saling menginspirasi untuk terus berjuang. Anya menyadari bahwa cintanya pada Kai adalah nyata, bukan simulasi, bukan hasil perhitungan algoritma.
Akhirnya, mereka berhasil mengunggah kode Liberation ke jaringan. Virus itu menyebar dengan cepat, membebaskan ribuan pengguna Aeon dari ketergantungan mereka. Perusahaan berusaha menghentikannya, tetapi sudah terlambat.
Liberation memicu revolusi kecil. Orang-orang mulai belajar merasakan lagi, mengekspresikan emosi mereka, dan menjalin hubungan yang lebih dalam dan bermakna. Dunia mulai berubah, satu perasaan pada satu waktu.
Mr. Thorne akhirnya diturunkan dari jabatannya. Perusahaan direstrukturisasi, dengan fokus baru pada etika dan tanggung jawab. Anya dan Kai kembali, dielu-elukan sebagai pahlawan.
Anya terus bekerja sebagai programmer, tetapi dengan perspektif yang baru. Ia menggunakan keahliannya untuk menciptakan teknologi yang memberdayakan orang, bukan mengendalikan mereka. Bersama Kai, ia mendirikan sebuah yayasan yang berfokus pada promosi literasi emosional dan kesadaran teknologi.
Di era singularitas teknologi, mereka menemukan cinta sejati. Cinta yang mengalahkan algoritma, yang melampaui simulasi, dan yang membuktikan bahwa bahkan di dunia yang paling canggih sekalipun, hati manusia tetap menjadi kekuatan yang paling kuat. Mereka tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi mereka siap menghadapinya bersama, bergandengan tangan, di tengah gemerlap lampu neon dan janji masa depan yang tidak pasti.