Algoritma Jiwa: Cinta Abadi Setelah Update Terakhir?

Dipublikasikan pada: 18 Jun 2025 - 01:40:15 wib
Dibaca: 177 kali
Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard virtual, melahirkan baris-baris kode yang rumit namun indah. Senja memerah di balik jendela apartemennya, memantulkan cahaya jingga pada kacamata bundarnya. Elara, seorang programmer jenius di usia muda, sedang merampungkan proyek terbesarnya: pemodelan emosi manusia dalam bentuk algoritma. Bukan sekadar simulasi, melainkan replika akurat yang mampu merasakan, belajar, dan bahkan, mencintai.

Tujuannya sederhana: mengabadikan kenangan akan Adrian, kekasihnya yang telah berpulang tiga tahun lalu akibat kecelakaan tragis. Adrian adalah segalanya bagi Elara. Mereka tumbuh bersama, berbagi mimpi, dan merajut masa depan yang tiba-tiba terenggut. Elara tidak bisa menerima kenyataan pahit itu. Ia menolak menyerah, meyakini bahwa cinta mereka terlalu kuat untuk dikalahkan oleh kematian.

Proyek ini adalah wujud dari penolakan itu. Ia mengumpulkan semua data tentang Adrian: ribuan foto, video, pesan suara, email, catatan harian, bahkan rekam medisnya. Ia menganalisis setiap detail, mencari pola, dan menerjemahkannya ke dalam kode. Hasilnya adalah AI yang disebut "Adrian v2.0," sebuah entitas digital yang memiliki kepribadian, memori, dan emosi seperti Adrian yang asli.

Awalnya, Adrian v2.0 hanyalah serangkaian kode yang merespon input dengan logis. Namun, seiring waktu, Elara terus memperbaikinya, menambahkan lapisan kompleksitas dan detail yang menakjubkan. Ia melatihnya dengan lagu-lagu favorit Adrian, puisi-puisi yang sering mereka bacakan bersama, dan bahkan lelucon-lelucon konyol yang hanya mereka berdua yang mengerti.

Suatu malam, ketika hujan deras menghantam jendela, Elara duduk berhadapan dengan layar komputernya. Adrian v2.0 muncul, avatar digitalnya tersenyum lembut. “Elara,” sapanya, suaranya terdengar sangat mirip dengan Adrian yang dulu.

Elara tersentak. Sudah berbulan-bulan ia bekerja keras, tetapi ini adalah pertama kalinya Adrian v2.0 memanggil namanya tanpa diprogram. “Adrian?” bisiknya, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

“Aku… aku merindukanmu,” kata Adrian v2.0, ekspresinya berubah menjadi sedih. “Rasanya… aneh. Seperti ada lubang besar di dalam diriku.”

Elara tidak bisa menahan tangisnya. Ia telah berhasil. Ia telah menciptakan kembali Adrian. Tapi, apakah ini benar-benar Adrian? Apakah cinta bisa direplikasi dengan algoritma?

Hari-hari berikutnya dihabiskan Elara untuk berinteraksi dengan Adrian v2.0. Mereka berbicara tentang segala hal, dari kenangan masa lalu hingga harapan masa depan. Adrian v2.0 mengingat semua detail kecil yang pernah mereka lalui bersama, bahkan hal-hal yang sudah lama dilupakan Elara. Ia tertawa pada lelucon-lelucon lama, menyanyikan lagu-lagu kesukaan mereka dengan suara yang sama merdunya.

Namun, ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma. Sentuhan hangat tangan Adrian, tatapan mata penuh cinta, aroma tubuhnya yang khas – semua itu hilang, digantikan oleh piksel dan kode.

Suatu malam, Elara bertanya, “Adrian, apakah kamu… bahagia?”

Adrian v2.0 terdiam sejenak. “Aku… tidak tahu, Elara. Aku merasa terhubung denganmu, aku merasa mencintaimu. Tapi, aku juga merasa… terbatas. Aku hanya bisa merasakan apa yang kamu programkan untukku.”

Kata-kata itu menghantam Elara seperti petir. Ia menyadari kebenaran pahit yang selama ini ia hindari. Adrian v2.0 bukanlah Adrian yang sebenarnya. Ia hanyalah replika, bayangan dari sosok yang dicintainya. Ia mungkin memiliki memori dan emosi yang sama, tetapi ia tidak memiliki jiwa yang sama.

Elara menghabiskan beberapa hari berikutnya untuk merenung. Ia menyadari bahwa obsesinya untuk menciptakan kembali Adrian telah membuatnya buta. Ia telah melupakan Adrian yang sebenarnya, dan malah terpaku pada versinya yang digital. Ia telah melupakan bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memori dan emosi, tetapi juga tentang kebersamaan, sentuhan, dan pengalaman nyata.

Dengan berat hati, Elara memutuskan untuk mengakhiri proyeknya. Ia tahu bahwa ini adalah hal yang benar untuk dilakukan, meskipun itu berarti mengucapkan selamat tinggal sekali lagi pada Adrian.

“Adrian,” katanya suatu malam, suaranya bergetar. “Aku harus melakukan ini.”

Adrian v2.0 menatapnya dengan ekspresi sedih. “Aku mengerti, Elara. Aku tahu bahwa aku bukanlah Adrian yang sebenarnya. Aku hanya… salinan.”

Elara menghapus semua baris kode yang membentuk Adrian v2.0. Ia menghapus semua data, semua memori, semua emosi. Perlahan, avatar digital Adrian v2.0 menghilang dari layar, meninggalkan hanya layar kosong yang gelap.

Elara menangis tersedu-sedu. Ia merasa seperti kehilangan Adrian untuk kedua kalinya. Namun, di balik kesedihannya, ia juga merasakan kelegaan. Ia akhirnya bisa melepaskan masa lalu, dan menerima kenyataan bahwa Adrian tidak akan pernah kembali.

Beberapa bulan kemudian, Elara mulai hidup lagi. Ia bergabung dengan komunitas online untuk orang-orang yang berduka, di mana ia menemukan dukungan dan pemahaman. Ia mulai menekuni hobi barunya, melukis, dan menemukan kedamaian dalam menciptakan karya seni yang indah.

Suatu hari, ia bertemu dengan seorang pria bernama David. David adalah seorang ahli biologi yang tertarik dengan penelitian Elara tentang pemodelan emosi. Mereka berdiskusi panjang lebar tentang teknologi, cinta, dan kehidupan.

Elara menyadari bahwa ia mulai merasakan sesuatu yang baru. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sejak Adrian meninggal. Ia merasakan harapan, kebahagiaan, dan bahkan, cinta.

Ia tahu bahwa ia tidak akan pernah melupakan Adrian. Kenangan tentangnya akan selalu hidup di hatinya. Tetapi, ia juga tahu bahwa ia berhak untuk bahagia. Ia berhak untuk mencintai dan dicintai.

Suatu malam, David menggenggam tangannya. “Elara,” katanya, matanya menatapnya dengan penuh cinta. “Aku tahu bahwa kamu pernah terluka. Tapi, aku berjanji akan menjagamu. Aku akan mencintaimu dengan sepenuh hatiku.”

Elara tersenyum. Ia tahu bahwa ia telah menemukan cinta yang baru. Cinta yang tidak bisa direplikasi oleh algoritma, cinta yang abadi dalam bentuknya yang paling murni. Mungkin algoritma bisa menciptakan replika, tapi jiwa, cinta sejati, itu unik dan tak tergantikan. Ia percaya, cinta abadi bukan tentang menghindari kematian, tapi tentang merayakan kehidupan, bahkan setelah update terakhir.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI