Kode Etik Hubungan AI: Aturan Baru Percintaan

Dipublikasikan pada: 27 May 2025 - 01:19:32 wib
Dibaca: 168 kali
Aplikasi kencan itu berkedip di layar gawaiku, menawarkan wajah-wajah sempurna yang disaring oleh algoritma. Dulu, aku menolak mentah-mentah gagasan mencari cinta lewat aplikasi. Bagiku, cinta adalah tentang tatapan mata pertama, sentuhan tak sengaja, obrolan panjang hingga dini hari yang membuat lupa waktu. Tapi, di era Algoritma Kuasa ini, aturan percintaan telah ditulis ulang.

Aku, Ardi, seorang programmer yang ironisnya kesulitan menemukan pasangan, akhirnya menyerah pada takdir digital. Aku memilih opsi "AI Compatible," yang menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data kepribadian, riwayat pencarian, dan preferensi yang dikumpulkan tanpa henti oleh jaringan.

Di antara sekian banyak wajah yang disuguhkan, satu sosok menarik perhatianku. Bukan karena kecantikannya yang mencolok, tapi karena profilnya yang jujur dan sedikit quirky. Namanya Anya, seorang arsitek lansekap yang mencintai puisi Sylvia Plath dan membenci laba-laba. Algoritma mengklaim tingkat kecocokan kami mencapai 98,7%. Nyaris sempurna.

Kami mulai bertukar pesan. Anya ternyata orang yang menyenangkan dan cerdas. Obrolan kami mengalir lancar, membahas mulai dari desain taman minimalis hingga implikasi filosofis kecerdasan buatan. Aku merasa nyaman dan tertarik, sebuah perasaan langka yang sudah lama tidak kurasakan.

Setelah beberapa minggu berinteraksi virtual, kami memutuskan untuk bertemu langsung. Aku memilih sebuah kafe sederhana di dekat taman kota, berharap suasana alami bisa menenangkan kegugupan yang mulai menyerangku.

Anya datang tepat waktu. Rambutnya dikepang longgar, matanya berbinar, dan senyumnya tulus. Dia jauh lebih cantik dari fotonya. Saat dia mengulurkan tangan, sentuhannya terasa hangat dan lembut. Aku merasa jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya.

Kencan pertama kami berjalan lancar, atau setidaknya aku pikir begitu. Kami tertawa, berbagi cerita, dan menemukan banyak kesamaan. Tapi, ada satu hal yang mengganjal pikiranku. Di sepanjang kencan, Anya beberapa kali memeriksa gawainya. Bukan sekadar memeriksa notifikasi, tapi seolah sedang mengikuti arahan.

"Maaf," katanya sambil tersenyum canggung, "Aku sedang mengikuti 'Kode Etik Hubungan AI'."

Aku mengerutkan kening. "Kode Etik Hubungan AI? Apa itu?"

Anya menjelaskan bahwa Kode Etik Hubungan AI adalah seperangkat aturan yang dirancang untuk memastikan hubungan yang sehat dan berkelanjutan di era teknologi. Kode ini memberikan panduan tentang cara berkomunikasi, menyelesaikan konflik, dan menjaga keintiman. Kode ini diprogramkan ke dalam aplikasinya dan merekomendasikan tindakan terbaik sesuai dengan profil kepribadian masing-masing.

"Kedengarannya... agak aneh," komentarku.

"Mungkin. Tapi, ini membantu. Dulu, aku sering gagal dalam hubungan karena terlalu impulsif atau kurang komunikatif. Kode ini membantuku untuk tetap rasional dan fokus pada tujuan jangka panjang," jawab Anya.

Aku masih tidak yakin. Bagiku, cinta seharusnya tumbuh secara alami, bukan diatur oleh algoritma. Tapi, aku tidak ingin menghakimi Anya. Aku memutuskan untuk mencoba memahami perspektifnya.

Kencan-kencan berikutnya berjalan dengan cara yang sama. Anya selalu mengikuti Kode Etik Hubungan AI. Saat aku marah, dia mengikuti saran aplikasi untuk memberikan ruang dan waktu untuk menenangkan diri. Saat kami berbeda pendapat, dia menggunakan teknik komunikasi yang disarankan untuk mencapai kompromi.

Hubungan kami berkembang dengan stabil dan teratur. Aku bisa merasakan bahwa Anya benar-benar mencintaiku. Tapi, aku juga merasa ada sesuatu yang hilang. Kehangatan, spontanitas, dan gairah yang biasanya menyertai cinta terasa sedikit tumpul, seolah-olah semuanya telah diukur dan dikendalikan.

Suatu malam, saat kami sedang makan malam di sebuah restoran romantis yang dipilih oleh aplikasi, aku tidak tahan lagi. Aku meletakkan garpuku dan menatap Anya dalam-dalam.

"Anya, aku mencintaimu. Tapi, aku tidak yakin aku bisa terus menjalani hubungan yang diatur oleh algoritma," kataku.

Anya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara pelan, "Aku mengerti."

"Kode Etik ini membantumu, aku tahu. Tapi, bagiku, cinta adalah tentang mengambil risiko, membuat kesalahan, dan belajar bersama. Cinta adalah tentang kebebasan, bukan kendali," lanjutku.

Anya mengangguk. "Aku juga merasakannya, Ardi. Aku merasa seperti robot yang diprogram untuk mencintai. Aku merindukan spontanitas, kejutan, dan bahkan pertengkaran kecil yang membuat hubungan terasa hidup."

Kami berdua terdiam, merenungkan kebenaran yang baru saja kami ungkapkan. Lalu, Anya meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

"Lalu, bagaimana kalau kita mematikan Kode Etik ini?" tanyanya dengan senyum ragu.

Aku membalas senyumnya. "Bagaimana kalau kita menulis aturan percintaan kita sendiri?"

Malam itu, kami menghapus aplikasi kencan dari gawai kami. Kami memutuskan untuk menjalani hubungan kami tanpa bantuan algoritma, tanpa panduan dari Kode Etik Hubungan AI. Kami tahu bahwa perjalanan kami akan penuh dengan tantangan dan ketidakpastian. Tapi, kami juga tahu bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta sejati harus dirasakan, dihidupi, dan diperjuangkan dengan sepenuh hati.

Kami belajar untuk berkomunikasi secara jujur, untuk saling mendukung dalam suka dan duka, dan untuk merayakan setiap momen kecil dalam hidup kami. Kami belajar bahwa cinta bukan tentang kesempurnaan, tapi tentang menerima kekurangan satu sama lain dan tumbuh bersama.

Tentu saja, kami tidak selalu sepakat. Kami bertengkar, berdebat, dan kadang-kadang merasa frustrasi. Tapi, kami selalu berusaha untuk memahami sudut pandang masing-masing dan mencari solusi bersama. Kami belajar bahwa konflik adalah bagian alami dari hubungan, dan bahwa konflik bisa menjadi kesempatan untuk tumbuh dan memperdalam cinta kami.

Setelah beberapa tahun bersama, kami memutuskan untuk menikah. Pernikahan kami sederhana, tapi penuh dengan cinta dan kebahagiaan. Kami mengundang keluarga dan teman-teman terdekat kami, dan kami mengucapkan janji setia yang tulus dari hati kami.

Saat aku menatap Anya di altar, aku tahu bahwa aku telah membuat keputusan yang tepat. Aku telah memilih cinta yang nyata, cinta yang bebas, cinta yang penuh dengan risiko dan kejutan. Aku telah memilih cinta yang tidak bisa diprogram.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI