Detik Terakhir: Cinta Digital, Algoritma Pengganti Hati?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:17:06 wib
Dibaca: 159 kali
Deburan ombak digital menghantam retina Maya, memantul dari layar laptop yang setia menemaninya hingga larut malam. Jemarinya menari di atas keyboard, baris demi baris kode tercipta, membentuk sebuah algoritma yang ia yakini mampu merevolusi cara manusia menemukan cinta. Bukan cinta yang dangkal, yang terpicu oleh foto profil menawan atau bio singkat penuh kepalsuan. Bukan. Algoritma Maya didesain untuk menggali kedalaman jiwa, mencocokkan mimpi, dan menyelaraskan nilai-nilai inti. Ia menamakannya "SoulSync."

Di dunia yang serba cepat dan dangkal ini, Maya merasa lelah. Lelah dengan kencan-kencan buta yang berakhir dengan percakapan hampa. Lelah dengan aplikasi kencan yang lebih mirip katalog belanja manusia. Ia merindukan koneksi yang nyata, yang tulus, yang mampu bertahan di tengah badai informasi.

“Mungkin aku terlalu idealis,” gumamnya pada diri sendiri, sambil menyeruput kopi pahit yang sudah mendingin. “Tapi harus ada cara untuk menemukan seseorang yang benar-benar mengerti diriku, kan?”

SoulSync adalah jawabannya, atau setidaknya, Maya berharap begitu. Ia menghabiskan berbulan-bulan menyempurnakan kodenya, menguji berbagai variabel, dan memasukkan data dari ratusan responden. Ia yakin, algoritma ini mampu memprediksi kecocokan antara dua individu dengan akurasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, ada satu masalah. Maya sendiri belum pernah mencoba SoulSync. Ia terlalu takut. Terlalu takut untuk meletakkan hatinya di tangan sebuah mesin. Terlalu takut untuk mempercayakan kebahagiaannya pada baris-baris kode.

“Konyol,” bisiknya lagi, kali ini lebih keras. “Aku menciptakan ini, tapi aku sendiri tidak berani menggunakannya?”

Tiba-tiba, notifikasi muncul di layar laptopnya. Pesan dari teman baiknya, Rina.

"Maya, berhenti jadi pertapa digital! Ada pesta malam ini, datang ya. Aku janji, tidak akan ada yang membahas algoritma cintamu itu."

Maya tersenyum tipis. Rina memang selalu tahu cara membangkitkan semangatnya.

“Oke, Rina. Aku datang,” balasnya.

Di pesta itu, Maya merasa canggung. Ia lebih nyaman bersembunyi di balik sudut ruangan, mengamati kerumunan dari jauh. Ia melihat pasangan-pasangan tertawa, berdansa, dan saling berbisik. Apakah mereka benar-benar bahagia? Atau hanya berpura-pura?

Kemudian, matanya tertumbuk pada seorang pria yang berdiri sendirian di dekat jendela. Pria itu tampak sama canggungnya dengan dirinya. Ia mengenakan kemeja biru tua yang terlihat lusuh, dan rambutnya sedikit berantakan. Tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang menarik perhatian Maya. Ada kesedihan, tapi juga harapan.

Maya memberanikan diri mendekat.

"Hai," sapanya, gugup.

Pria itu menoleh, terkejut. "Hai," balasnya, dengan senyum tipis. "Aku, Leo."

"Maya," jawab Maya, sambil mengulurkan tangannya.

Mereka mulai berbicara. Tentang buku, tentang film, tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud. Mereka menemukan kesamaan yang mengejutkan, minat yang serupa, dan sudut pandang yang sejalan. Maya merasa nyaman, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan.

Saat malam semakin larut, Leo bertanya, "Jadi, apa yang kamu kerjakan?"

Maya ragu sejenak. Haruskah ia menceritakan tentang SoulSync? Tentang obsesinya menciptakan algoritma cinta?

"Aku seorang programmer," jawabnya akhirnya. "Aku sedang mengembangkan sebuah aplikasi yang... membantu orang menemukan cinta."

Leo mengangkat alisnya. "Menarik. Jadi, semacam biro jodoh digital?"

Maya mengangguk. "Ya, tapi lebih dari itu. Aku ingin menciptakan sesuatu yang benar-benar bisa memprediksi kecocokan antara dua orang."

Leo tersenyum. "Dan kamu percaya itu mungkin?"

"Aku... aku tidak tahu," jawab Maya, jujur. "Itu sebabnya aku di sini, aku rasa. Untuk melihat apakah cinta benar-benar bisa direduksi menjadi algoritma."

Leo terdiam sejenak. "Mungkin cinta tidak bisa direduksi, Maya. Tapi mungkin algoritma bisa membantu kita menemukan orang yang tepat untuk dicintai."

Kata-kata Leo menghantam Maya seperti gelombang. Ia merasakan sesuatu berdesir di dalam hatinya, sesuatu yang bukan hasil dari algoritma.

"Leo," kata Maya, perlahan. "Boleh aku jujur?"

"Tentu," jawab Leo.

"Aku belum pernah menggunakan SoulSync. Aku terlalu takut."

Leo tertawa kecil. "Kalau begitu, mari kita coba. Aku bersedia jadi kelinci percobaanmu."

Maya terkejut. "Kamu yakin?"

"Kenapa tidak?" jawab Leo, sambil tersenyum. "Siapa tahu, algoritma cintamu itu benar-benar ajaib."

Maya mengeluarkan laptopnya dan membuka SoulSync. Ia memasukkan data dirinya dan Leo, dengan jantung berdebar kencang. Algoritma bekerja, menghitung, dan menganalisis.

Detik-detik terasa seperti abad. Maya menahan napas, menunggu hasilnya.

Akhirnya, layar menampilkan sebuah pesan: "Kecocokan: 98%."

Maya tertegun. Ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. 98%? Itu adalah angka yang luar biasa.

Ia menatap Leo, yang juga tampak terkejut.

"Wow," kata Leo, akhirnya. "Sepertinya algoritma cintamu ini benar-benar bekerja."

Maya tersenyum. Tapi kali ini, senyumnya tulus, bukan senyum kecanggungan.

"Mungkin," jawabnya. "Atau mungkin, kita hanya beruntung."

Mereka saling bertukar pandang, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka menghilang. Mereka hanya berdua, di tengah keramaian, terhubung oleh sesuatu yang lebih dalam dari algoritma.

Maya menyadari, cinta tidak selalu harus dijelaskan, dianalisis, atau diprediksi. Kadang-kadang, cinta hanya perlu dirasakan. Kadang-kadang, cinta hadir di saat yang tidak terduga, dari orang yang tidak terduga.

Detik itu, Maya tahu, ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar algoritma. Ia telah menemukan cinta, yang sesungguhnya. Cinta yang tidak membutuhkan kode, tidak membutuhkan data, tidak membutuhkan mesin. Cinta yang hanya membutuhkan hati. Dan mungkin, sedikit keberanian untuk mengambil langkah pertama.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI