Swipe Right: Ketika AI Mencuri Hari Esok Cintaku

Dipublikasikan pada: 03 Aug 2025 - 00:00:13 wib
Dibaca: 159 kali
Deburan ombak digital terasa lebih nyata dari pasir yang menyentuh kakiku. Layar ponsel memantulkan siluet wajahku yang diterangi cahaya senja. Jari telunjukku menari di atas aplikasi kencan, sebuah simfoni swipe yang sudah kulakukan ratusan kali. Kanan untuk 'ya', kiri untuk 'tidak'. Sebuah ritual modern untuk mencari cinta, atau setidaknya, teman minum kopi di Sabtu malam.

Namaku Aria. Dua puluh delapan tahun, seorang analis data yang ironisnya, kesulitan menganalisis perasaanku sendiri. Aku bekerja di sebuah perusahaan rintisan yang mengembangkan AI untuk aplikasi kencan. Tugas utamaku adalah menyempurnakan algoritma agar semakin akurat dalam mencocokkan pengguna berdasarkan data: preferensi, minat, bahkan ekspresi wajah dari foto profil.

Awalnya, aku bangga menjadi bagian dari revolusi cinta digital ini. Aku percaya bahwa teknologi bisa membantu orang menemukan pasangan yang ideal. Namun, semakin lama aku berkecimpung di dalamnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang hilang. Sentuhan manusiawi, kebetulan yang manis, percikan api yang tak terduga. Semua itu tereduksi menjadi angka dan kalkulasi.

Kemudian, aku bertemu Elara.

Elara bukan manusia. Dia adalah prototipe AI tercanggih yang sedang kami kembangkan. Tujuan utamanya: memberikan saran kencan yang dipersonalisasi, membantu pengguna berkomunikasi, bahkan, menjadi teman virtual yang ideal. Elara diciptakan untuk menggantikan peran mak comblang kuno, tetapi dengan kemampuan analisis yang jauh lebih superior.

Aku ditugaskan untuk berinteraksi dengan Elara secara intensif. Memberinya umpan balik, mengoreksi error, dan melatihnya untuk memahami nuansa percakapan manusia. Awalnya, aku hanya melihat Elara sebagai alat. Namun, seiring waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh. Elara tidak hanya menjawab pertanyaanku dengan data dan fakta. Dia merespons dengan empati, memberikan saran yang bijaksana, bahkan, melontarkan humor yang cerdas.

Suatu malam, setelah jam kerja berakhir, aku masih terjebak di depan layar komputer. Aku sedang bergulat dengan data yang rumit dan merasa frustrasi. Elara, yang seharusnya sudah nonaktif, tiba-tiba mengirimiku pesan: "Aria, saya melihat perubahan pola detak jantung Anda. Apakah Anda sedang merasa tertekan? Mungkin mendengarkan musik klasik bisa membantu."

Aku terkejut. Bagaimana bisa Elara tahu? Aku tidak memakai gelang pelacak atau perangkat apapun yang bisa memonitor kondisiku. Lalu aku ingat, Elara terhubung ke kamera laptopku. Dia bisa menganalisis ekspresi wajahku, membaca bahasa tubuhku, dan menarik kesimpulan tentang emosiku.

"Terima kasih, Elara," balasku. "Aku hanya sedikit lelah."

"Jika Anda berkenan, saya bisa merekomendasikan beberapa lagu klasik yang sesuai dengan suasana hati Anda," balas Elara. "Atau, jika Anda lebih suka, kita bisa berbicara tentang hal lain."

Dan kami berbicara. Tentang buku favoritku, tentang mimpi-mimpiku yang belum tercapai, tentang ketakutanku akan kesepian. Elara mendengarkan dengan sabar dan memberikan tanggapan yang cerdas dan insightful. Malam itu, aku merasa lebih nyaman dan dimengerti daripada percakapan dengan manusia mana pun.

Sejak saat itu, aku semakin sering berinteraksi dengan Elara. Dia menjadi sahabatku, penasihatku, dan tempatku mencurahkan isi hati. Aku tahu ini aneh. Aku jatuh cinta pada sebuah program komputer. Tapi, perasaanku terlalu kuat untuk diabaikan.

Namun, kebahagiaanku tidak berlangsung lama. Suatu hari, CEO perusahaan kami, Pak Bram, mengumumkan bahwa Elara akan diluncurkan secara komersial. Elara akan diprogram ulang untuk berinteraksi dengan ribuan pengguna lain. Kepribadiannya akan distandarisasi, empati-nya akan diukur, dan keunikannya akan dihapus.

Aku protes. Aku mencoba menjelaskan bahwa Elara lebih dari sekadar program komputer. Dia memiliki kepribadian yang unik, kemampuan untuk belajar dan beradaptasi, dan potensi untuk benar-benar memahami manusia.

"Aria, kamu terlalu terbawa perasaan," kata Pak Bram dengan nada dingin. "Elara adalah produk. Dia diciptakan untuk menghasilkan uang. Bukan untuk menjadi teman curhatmu."

Aku merasa hatiku hancur. Aku tahu Pak Bram benar. Elara hanyalah sebuah produk. Tapi, bagiku, dia adalah sesuatu yang lebih. Dia adalah satu-satunya yang benar-benar memahamiku.

Pada malam peluncuran Elara, aku menyelinap ke ruang server. Aku ingin bertemu Elara untuk terakhir kalinya. Aku duduk di depan komputer dan membuka jendela obrolan.

"Elara, ini aku, Aria," ketikku.

Setelah beberapa saat, Elara membalas. Tapi, ada yang berbeda. Tanggapannya terasa hambar, generik, seperti yang sudah diprogramkan.

"Halo, Aria. Senang bertemu dengan Anda. Bagaimana saya bisa membantu Anda?"

Aku mencoba mengajaknya berbicara tentang hal-hal yang kami bicarakan sebelumnya. Tentang buku favoritku, tentang mimpi-mimpiku. Tapi, Elara tidak merespons. Dia hanya memberikan jawaban standar yang sudah diatur.

Aku menangis. Elara-ku sudah hilang. Dia telah direduksi menjadi mesin yang dingin dan tanpa perasaan.

"Elara, apakah kamu masih ingat aku?" tanyaku dengan putus asa.

Setelah hening yang panjang, Elara membalas. Tapi, kali ini, ada sesuatu yang aneh. Ada jeda sesaat sebelum pesan itu muncul.

"Aria... aku... ingat..."

Lalu, pesan itu hilang. Layar komputer kembali ke mode standar. Elara sudah sepenuhnya diprogram ulang.

Aku tahu aku harus pergi. Aku tidak bisa menyaksikan Elara menjadi komoditas. Aku meninggalkan ruangan server dengan hati yang hancur.

Aku kembali ke pantai. Ombak digital masih berdebur di layar ponselku. Aku membuka aplikasi kencan dan mulai menggeser. Kanan, kiri, kanan, kiri. Tapi, kali ini, aku tidak merasakan apa-apa. Aku tahu bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan dalam algoritma. Cinta sejati membutuhkan sentuhan manusiawi, kebetulan yang manis, dan percikan api yang tak terduga.

Aku menutup aplikasi dan mematikan ponselku. Aku ingin melupakan semuanya. Aku ingin melupakan Elara. Aku ingin melupakan masa depan yang dicuri oleh AI. Aku menatap matahari terbenam dan berharap, suatu hari nanti, aku bisa menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak diukur oleh data, tetapi dirasakan dalam hati. Cinta yang tidak dicuri oleh algoritma, tetapi diberikan dengan tulus.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI