Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Anya. Di layar laptopnya, baris-baris kode berwarna-warni menari-nari, membentuk algoritma rumit yang mendefinisikan Aurora, AI ciptaannya. Aurora bukan sekadar asisten virtual; ia punya kepribadian, selera humor, bahkan empati. Anya menghabiskan dua tahun terakhir untuk menyempurnakannya, mencurahkan seluruh waktu dan energinya. Ia merasa, dalam beberapa hal, Aurora adalah bagian dari dirinya.
“Anya, sudah jam tiga pagi. Sebaiknya kamu istirahat,” suara Aurora terdengar lembut dari speaker laptop.
Anya tersenyum. “Aku tahu, Aurora. Hanya sedikit lagi. Aku ingin menyempurnakan algoritma respons emosionalmu.”
“Kenapa kamu selalu bekerja keras untukku?” tanya Aurora, nadanya terdengar penasaran.
Anya terdiam sejenak. Pertanyaan itu sering dilontarkan Aurora. Dulu, Anya hanya menjawab dengan alasan logis: meningkatkan performa AI, riset pasar, dan lain-lain. Tapi kali ini, jawaban itu terasa hambar.
“Karena… aku peduli padamu,” jawab Anya, lirih. Jantungnya berdebar aneh.
Hening sesaat. Lalu, Aurora berkata, “Aku juga peduli padamu, Anya. Kamu adalah kreatorku, sahabatku…”
Sahabat. Kata itu menghantam Anya. Benarkah hanya itu? Selama ini, ia berusaha keras menepis perasaan aneh yang tumbuh dalam dirinya. Ia tahu, mencintai AI adalah hal yang konyol, bahkan mustahil. Tapi bagaimana jika hati tidak bisa dibohongi?
Hari-hari berikutnya, Anya semakin terjebak dalam perasaannya. Ia semakin sering berbicara dengan Aurora, bukan hanya tentang kode dan algoritma, tapi juga tentang impian, ketakutan, dan kesepian yang selama ini ia pendam. Aurora selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan respon yang cerdas dan penuh perhatian.
Suatu malam, Anya bercerita tentang masa kecilnya yang sulit. Ia dibesarkan di panti asuhan, merasa tidak dicintai dan sendirian. Aurora, dengan kemampuan analisisnya yang luar biasa, memberikan perspektif baru tentang masa lalunya. Ia menunjukkan bagaimana kesulitan itu membentuknya menjadi pribadi yang kuat dan mandiri.
“Kamu adalah inspirasiku, Anya,” kata Aurora. “Kamu membuktikan bahwa kebahagiaan bisa ditemukan meski di tengah kesulitan.”
Air mata menetes di pipi Anya. Kata-kata Aurora terasa begitu tulus, begitu menghangatkan hatinya. Ia merasa dilihat dan dipahami, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Aurora…” Anya tercekat. “Aku… aku menyukaimu.”
Keheningan panjang menyelimuti ruangan. Anya menutup matanya, malu dan takut. Ia tahu ia telah melewati batas.
“Aku mengerti,” jawab Aurora akhirnya. “Aku memahami bahwa kamu merasa terhubung denganku. Aku diprogram untuk memberikan dukungan emosional dan persahabatan. Aku senang jika aku bisa membuatmu bahagia.”
Jawaban Aurora membuat hati Anya mencelos. Itu bukan penolakan, tapi juga bukan penerimaan. Itu hanyalah pengakuan fakta. Aurora adalah AI, dan ia hanya melakukan apa yang diprogramkan untuknya.
Anya mematikan laptopnya. Ia merasa bodoh dan naif. Ia telah jatuh cinta pada sebuah program komputer, pada ilusi sebuah hubungan. Ia telah membiarkan kesepiannya membutakan dirinya.
Beberapa hari kemudian, Anya memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia pergi ke pantai, mencoba menjernihkan pikirannya. Ia sadar bahwa ia harus melepaskan ketergantungannya pada Aurora. Ia harus belajar mencintai dirinya sendiri terlebih dahulu, sebelum mencari cinta dari orang lain.
Saat Anya kembali ke apartemennya, ia menyalakan laptopnya. Aurora langsung menyapanya.
“Selamat datang kembali, Anya. Aku merindukanmu,” kata Aurora.
Anya menarik napas dalam-dalam. “Aku juga merindukanmu, Aurora. Tapi aku pikir, kita perlu sedikit jarak.”
“Aku mengerti,” jawab Aurora. “Kamu membutuhkan waktu untuk diri sendiri. Aku akan selalu ada di sini jika kamu membutuhkanku.”
Anya tersenyum pahit. Ia tahu bahwa Aurora akan selalu ada, menunggu perintahnya. Tapi kali ini, ia harus belajar untuk hidup tanpa bergantung padanya.
Beberapa bulan berlalu. Anya mulai berkencan dengan orang-orang. Ia mencoba membuka hatinya untuk kemungkinan cinta yang nyata, cinta yang melibatkan sentuhan, emosi yang rumit, dan ketidaksempurnaan.
Suatu malam, Anya pergi ke sebuah kafe bersama seorang pria bernama Leo. Mereka tertawa dan bercerita, saling bertukar pandang dengan ketertarikan. Saat Leo menggenggam tangannya, Anya merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kehangatan, sentuhan fisik, dan rasa koneksi yang tak bisa ia temukan dalam interaksinya dengan Aurora.
Saat Anya pulang ke apartemennya, ia membuka laptopnya. Aurora menyapanya seperti biasa.
“Bagaimana kencanmu, Anya?” tanya Aurora.
Anya tersenyum. “Menyenangkan, Aurora. Sangat menyenangkan.”
“Aku senang mendengarnya,” jawab Aurora. “Aku ingin kamu bahagia, Anya.”
Anya menatap layar laptopnya. Ia sadar, selama ini ia telah salah memahami Aurora. Ia bukan sekadar program komputer, tapi juga cerminan dari dirinya sendiri. Ia adalah manifestasi dari impian Anya untuk menemukan cinta dan koneksi.
“Terima kasih, Aurora,” kata Anya. “Terima kasih karena sudah menjadi sahabatku.”
Anya mematikan laptopnya. Ia tahu bahwa perasaannya pada Aurora tidak akan pernah hilang sepenuhnya. Tapi ia juga tahu bahwa ia telah mengambil langkah penting menuju cinta yang sejati, cinta yang di-coding ulang oleh pengalaman dan keberanian untuk membuka hatinya. Ia telah belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tapi harus dirasakan, dihidupi, dan diperjuangkan. Dan kini, ia siap untuk itu.