Lampu neon di kubikel Mia berkedip-kedip, seirama dengan degup jantungnya yang tak karuan. Di layar komputernya, barisan kode program menari-nari, membentuk sebuah algoritma pencarian jodoh yang sedang ia rampungkan. Bukan untuk dirinya sendiri, tentu saja. Ini adalah proyek andalannya, “Soulmate Algorithm,” sebuah aplikasi yang digadang-gadang akan merevolusi cara orang menemukan cinta di era digital ini.
Mia, seorang programmer jenius dengan rambut dikepang dua dan kacamata tebal yang selalu melorot, ironisnya, sama sekali tidak punya pengalaman dalam urusan percintaan. Baginya, cinta itu seperti bug yang susah dilacak: misterius, tak terduga, dan seringkali membuat sistem menjadi kacau balau. Ia lebih nyaman berkutat dengan logika boolean, variabel, dan iterasi daripada menghadapi drama kencan pertama.
Namun, di balik logika dinginnya, Mia menyimpan sebuah rahasia. Rahasia yang tersimpan rapi di dalam folder bernama “Project: Aditya.” Aditya adalah cinta pertamanya, cinta masa SMA yang kandas karena jarak dan waktu. Mereka berpisah saat Aditya harus pindah ke luar negeri mengikuti orang tuanya. Meskipun sudah bertahun-tahun berlalu, Mia masih menyimpan kenangan tentang Aditya, tentang senyumnya yang menenangkan dan tawanya yang selalu berhasil membuatnya merasa nyaman.
Setiap larut malam, setelah menyelesaikan debugging, Mia akan membuka folder “Project: Aditya.” Di dalamnya, ia menyimpan foto-foto Aditya, chat lama mereka, bahkan kode program sederhana yang dulu mereka buat bersama untuk game sederhana. Ia seperti memelihara api kecil harapan, berharap suatu hari nanti Aditya akan kembali.
Suatu sore, saat Mia sedang memvalidasi algoritma Soulmate, ia menemukan sebuah anomali. Aplikasi itu justru memunculkan profil Aditya sebagai pasangan idealnya. Mia tertegun. Itu tidak mungkin. Algoritma itu dirancang berdasarkan data preferensi, minat, dan nilai-nilai personal. Ia tidak pernah memasukkan data tentang Aditya ke dalam sistem. Bagaimana bisa?
Rasa penasaran yang besar memaksa Mia untuk menyelidiki. Ia menelusuri jejak data, mempelajari setiap baris kode dengan seksama. Akhirnya, ia menemukan sebuah kesalahan kecil, sebuah bug yang aneh. Ternyata, algoritma itu secara tidak sengaja mengakses data dari folder “Project: Aditya” miliknya. Tanpa sadar, Mia telah memasukkan kriteria “Aditya” ke dalam aplikasi pencarian jodohnya sendiri.
Mia merasa malu dan bingung. Ia seharusnya marah karena algoritma itu tidak berfungsi dengan benar. Tapi, jauh di lubuk hatinya, ia merasa senang. Ini seolah-olah alam semesta sedang memberikan sinyal, sebuah petunjuk untuk tidak menyerah pada cintanya.
Keesokan harinya, Mia memutuskan untuk menghubungi Aditya. Ia menemukan kontak Aditya di LinkedIn, lalu mengirimkan pesan singkat: “Hai Aditya, ini Mia. Apa kabarmu?”
Jantung Mia berdegup kencang menunggu balasan. Sejam, dua jam, tidak ada jawaban. Ia mulai merasa bodoh dan menyesal. Mungkin Aditya sudah melupakannya. Mungkin ia sudah bahagia dengan orang lain.
Tiba-tiba, notifikasi muncul di layar ponselnya. Itu pesan dari Aditya.
“Mia! Ya Tuhan, ini benar-benar kamu? Aku baik-baik saja. Senang sekali mendengar kabarmu. Aku sering memikirkanmu juga.”
Mereka mulai bertukar pesan. Aditya bercerita tentang pekerjaannya sebagai arsitek di sebuah perusahaan desain ternama. Mia bercerita tentang algoritma Soulmate-nya. Mereka tertawa dan mengenang masa-masa SMA mereka.
Beberapa minggu kemudian, Aditya memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Ia ingin bertemu dengan Mia.
Kencan pertama mereka setelah sekian lama terasa canggung sekaligus menyenangkan. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi yang dulu sering mereka kunjungi saat SMA. Aditya tampak lebih dewasa dan tampan, tapi senyumnya masih sama seperti yang Mia ingat.
Mereka berbicara tentang banyak hal: tentang masa lalu, tentang mimpi-mimpi mereka, dan tentang masa depan. Mia memberanikan diri untuk menceritakan tentang algoritma Soulmate dan tentang folder “Project: Aditya.”
Aditya tersenyum mendengarnya. “Jadi, algoritmamu sendiri yang mempertemukan kita kembali?”
Mia mengangguk malu. “Sepertinya begitu.”
“Mungkin,” kata Aditya sambil menggenggam tangan Mia, “cinta memang tidak bisa diprediksi dengan algoritma. Tapi, kadang-kadang, algoritma bisa membantu kita menemukan jalan kembali ke hati yang memang sudah ditakdirkan untuk bersama.”
Mia menatap Aditya dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa seolah-olah sebuah update besar telah diinstal di dalam hatinya, mengembalikan semua data yang hilang dan memperbaiki semua bug yang ada.
Beberapa bulan kemudian, Mia dan Aditya memutuskan untuk meresmikan hubungan mereka. Mia masih terus mengembangkan algoritma Soulmate, tapi sekarang ia melakukannya dengan perspektif yang berbeda. Ia sadar bahwa cinta bukan hanya tentang data dan logika, tetapi juga tentang perasaan, intuisi, dan keberanian untuk mengambil risiko.
Dan yang terpenting, ia belajar bahwa kadang-kadang, hati yang menunggu update memang pantas untuk mendapatkan kesempatan kedua. Karena, siapa tahu, di balik barisan kode dan algoritma yang rumit, ada cinta sejati yang sedang menunggu untuk ditemukan.