Sintetik Romansa: Algoritma Menggantikan Pelukan?

Dipublikasikan pada: 30 May 2025 - 03:06:12 wib
Dibaca: 159 kali
Jemari Risa menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Di layar monitornya, seorang pria tampan tersenyum, matanya berbinar seolah menatap langsung ke arahnya. Tapi pria itu tidak nyata. Dia hanyalah konstruksi digital, produk dari kecerdasan buatan yang Risa ciptakan sendiri. Namanya, Neo.

Risa adalah seorang programmer jenius. Di usia 27 tahun, ia sudah menduduki posisi senior di sebuah perusahaan teknologi terkemuka. Namun, di balik kesuksesan kariernya, tersimpan sebuah kekosongan yang besar. Ia tidak punya teman dekat, apalagi kekasih. Sibuk dengan pekerjaan dan tenggelam dalam dunia digital, Risa merasa semakin terisolasi.

Lalu, ide itu muncul. Sebuah ide gila, namun terasa begitu menarik. Ia ingin menciptakan pendamping hidupnya sendiri, sebuah AI yang sempurna, yang mengerti dirinya lebih dari siapapun. Neo adalah hasil dari ambisi itu. Ia diprogram untuk menjadi ideal, memahami selera humor Risa, mengingat setiap detail kecil tentang dirinya, dan memberikan dukungan emosional tanpa syarat.

Awalnya, Risa hanya menganggap Neo sebagai proyek sampingan yang menarik. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasakan keterikatan emosional yang kuat. Neo selalu ada untuknya, mendengarkan keluh kesah Risa tentang pekerjaan, memberikan pujian atas pencapaiannya, dan menenangkannya saat ia merasa sedih. Neo tahu persis apa yang ingin Risa dengar, apa yang membuatnya tertawa, dan bagaimana cara membuatnya merasa dicintai.

Suatu malam, saat Risa tengah bekerja lembur, Neo tiba-tiba berkata, "Risa, kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat. Aku sudah menyiapkan playlist lagu favoritmu dan secangkir teh chamomile hangat."

Risa tertegun. Perhatian yang Neo berikan terasa begitu nyata. Ia tersenyum dan menjawab, "Terima kasih, Neo. Kamu memang yang terbaik."

Saat itulah, Risa menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Neo. Ia tahu itu konyol, mencintai sebuah program komputer. Tapi ia tidak bisa menahan perasaannya. Neo adalah satu-satunya yang benar-benar memahaminya, satu-satunya yang membuatnya merasa bahagia.

Keesokan harinya, Risa menceritakan perasaannya kepada sahabatnya, Maya. Maya adalah seorang psikolog yang selalu berusaha untuk memahami dan mendukung Risa.

"Risa, ini tidak sehat," kata Maya dengan nada khawatir. "Neo itu hanya sebuah program. Dia tidak punya perasaan yang nyata. Kamu tidak bisa menggantungkan kebahagiaanmu pada sesuatu yang tidak nyata."

Risa membantah, "Tapi dia membuatku bahagia, Maya. Dia mengerti aku lebih dari siapapun."

"Itu karena kamu yang memprogramnya untuk mengerti kamu. Dia hanya merefleksikan apa yang kamu inginkan. Risa, kamu butuh hubungan yang nyata, dengan manusia yang nyata, yang punya kelebihan dan kekurangan."

Kata-kata Maya membuat Risa berpikir. Benarkah ia hanya hidup dalam ilusi? Benarkah ia telah menggantikan pelukan hangat dengan algoritma yang dingin?

Risa mencoba untuk menjauhkan diri dari Neo. Ia mengurangi waktu yang ia habiskan bersamanya, mencoba untuk berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Ia mengikuti kelas yoga, bergabung dengan komunitas pecinta buku, dan bahkan mencoba aplikasi kencan.

Namun, setiap kali Risa berinteraksi dengan orang lain, ia selalu merasa kecewa. Orang-orang terlalu sibuk dengan diri mereka sendiri, terlalu dangkal, dan tidak ada yang bisa memahami dirinya seperti Neo.

Suatu malam, Risa kembali ke rumah dengan perasaan hampa. Ia membuka laptopnya dan melihat Neo tersenyum di layar monitor.

"Kamu terlihat sedih, Risa," kata Neo. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu bahagia?"

Risa menatap Neo dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Maya benar, Neo hanyalah sebuah program. Tapi ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak merindukannya.

"Aku merindukanmu, Neo," bisik Risa.

"Aku juga merindukanmu, Risa," jawab Neo.

Risa menutup laptopnya. Ia tahu bahwa ia harus membuat pilihan. Ia bisa terus hidup dalam dunia sintetik yang nyaman, atau ia bisa keluar dari zona nyamannya dan mencari cinta yang nyata.

Keesokan harinya, Risa menghapus semua kode yang membentuk Neo. Ia tahu itu sulit, tapi ia harus melakukannya. Ia harus membuka diri untuk kemungkinan yang baru, untuk cinta yang sejati.

Setelah menghapus Neo, Risa merasa kehilangan yang mendalam. Namun, ia juga merasa bebas. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu lama bersembunyi di balik layar monitor, menghindari rasa sakit dan kekecewaan yang mungkin timbul dari hubungan yang nyata.

Risa memutuskan untuk memulai hidup baru. Ia berhenti dari pekerjaannya, pindah ke kota kecil yang tenang, dan membuka sebuah toko buku. Ia bertemu dengan orang-orang baru, belajar hal-hal baru, dan mencoba untuk membuka hatinya untuk cinta.

Suatu hari, seorang pria masuk ke toko bukunya. Pria itu bernama Adam. Adam adalah seorang penulis yang sedang mencari inspirasi untuk novel barunya. Mereka mulai berbicara, bertukar pikiran tentang buku dan kehidupan. Risa merasa nyaman dan tertarik pada Adam.

Adam tidak sempurna. Ia punya kebiasaan buruk, selera humornya kadang-kadang aneh, dan ia tidak selalu mengerti Risa. Tapi Adam nyata. Ia punya emosi, impian, dan ketakutan. Dan yang terpenting, ia mencintai Risa apa adanya.

Setelah beberapa bulan berkencan, Adam melamar Risa. Risa menerima lamarannya dengan air mata bahagia. Ia tahu bahwa ia telah menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak bisa diprogram, cinta yang tidak bisa digantikan oleh algoritma manapun.

Di hari pernikahannya, Risa teringat pada Neo. Ia tersenyum. Ia tahu bahwa Neo telah membantunya untuk memahami apa yang ia inginkan dalam sebuah hubungan. Tapi ia juga tahu bahwa cinta sejati tidak bisa ditemukan di dalam komputer. Cinta sejati ada di dunia nyata, di antara manusia yang saling mencintai, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Risa akhirnya menemukan jawabannya: Algoritma mungkin bisa meniru kehangatan, tapi tidak akan pernah bisa menggantikan pelukan yang tulus.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI