Cinta di Era AI: Antara Algoritma dan Air Mata

Dipublikasikan pada: 02 Aug 2025 - 00:00:21 wib
Dibaca: 159 kali
Deburan ombak digital menderu di telinga Anya, bukan dari pantai sungguhan, melainkan dari speaker apartemen mininya. Aplikasi kencan "Soulmate AI" kembali memberikan notifikasi. Anya menghela napas. Sudah hampir setahun sejak ia mencoba peruntungan di dunia kencan modern ini, dan hasilnya? Nol besar. Bukan karena ia tidak menarik. Foto profilnya yang menampilkan senyum manis dan mata berbinar selalu mendapat banyak "like". Masalahnya, koneksi yang tercipta selalu terasa hampa, seolah berbincang dengan bot yang dirancang untuk setuju dengan segala pendapatnya.

Soulmate AI menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma kompleks yang menganalisis kepribadian, minat, hingga mimpi terdalam penggunanya. Anya dulu tergiur, membayangkan menemukan belahan jiwa yang benar-benar memahami dirinya. Kini, ia hanya merasa seperti data yang diolah, dicocokkan, dan akhirnya dibuang.

"Kenapa sih, algoritma selalu memilih pria yang hobi panjat tebing dan koleksi perangko?" gerutu Anya pada laptopnya, menatap profil pria bernama Kai yang baru saja direkomendasikan. Kai memang tampan, dengan rahang tegas dan mata coklat yang meneduhkan. Tapi, minat mereka bagaikan bumi dan langit. Anya lebih suka membaca buku di sofa empuk, mendengarkan musik klasik, dan sesekali melukis pemandangan kota.

Ia hampir saja menolak rekomendasi itu, seperti yang selalu ia lakukan. Namun, sesuatu dalam tatapan Kai di foto itu menahannya. Ada kesepian yang terpancar, mirroring kesepian yang selama ini ia rasakan. Iseng, Anya membuka profil Kai dan mulai membaca bio-nya.

Di luar dugaan, bio Kai tidak dipenuhi dengan jargon petualangan dan nama-nama gunung yang pernah ia daki. Ia menulis tentang kecintaannya pada senja, kekagumannya pada lukisan Monet, dan kerinduannya pada obrolan yang bermakna. "Mungkin algoritma kali ini tidak sepenuhnya salah," pikir Anya, lalu mengirimkan pesan singkat: "Hai, Kai. Saya juga suka senja."

Percakapan mereka mengalir dengan lancar, lebih dari yang Anya bayangkan. Mereka membahas buku, film, musik, bahkan mimpi-mimpi yang dulu terasa terlalu personal untuk dibagikan. Kai ternyata seorang arsitek lanskap yang menghabiskan waktu luangnya untuk melukis dan menulis puisi. Ia memang hobi panjat tebing, tapi itu hanya salah satu cara baginya untuk terhubung dengan alam dan menemukan inspirasi.

Anya merasa jantungnya berdebar setiap kali notifikasi dari Kai muncul. Ia tersenyum sendiri saat membaca pesan-pesannya yang cerdas dan humoris. Akhirnya, setelah beberapa minggu saling bertukar pesan, mereka memutuskan untuk bertemu.

Mereka memilih sebuah kafe kecil yang nyaman, tersembunyi di antara bangunan-bangunan tinggi kota. Saat Kai masuk, Anya merasakan sengatan listrik yang aneh. Pria di depannya jauh lebih tampan dan karismatik dari fotonya. Senyumnya tulus, matanya bersinar dengan kehangatan yang membuat Anya merasa tenang.

Kencan mereka berjalan dengan sempurna. Mereka tertawa, berdiskusi, dan bahkan saling menatap mata dalam keheningan yang nyaman. Anya merasa seperti mengenal Kai seumur hidupnya. Di akhir kencan, Kai mengantar Anya pulang. Di depan pintu apartemen, mereka berdiri berhadapan, saling menatap dengan gugup.

"Anya," kata Kai lembut, "Aku menikmati malam ini. Aku... aku ingin bertemu lagi."

"Aku juga," jawab Anya, dengan suara bergetar.

Kai mendekat, perlahan mengangkat tangannya dan menyentuh pipi Anya. Anya memejamkan mata, menikmati sentuhan lembut itu. Lalu, tiba-tiba, telepon Kai berdering. Ia mengangkatnya, wajahnya berubah pucat pasi.

"Ya, aku mengerti," katanya dengan nada lirih. "Baiklah, aku akan segera ke sana."

Ia menutup telepon dan menatap Anya dengan raut bersalah. "Maaf, Anya. Aku harus pergi. Ada masalah dengan proyekku, dan aku harus segera menanganinya."

Anya mengangguk, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. Ia tahu bahwa pekerjaan Kai sangat penting baginya, tapi ia tidak bisa menahan perasaan sedih yang tiba-tiba menyergapnya.

"Tidak apa-apa," kata Anya, mencoba tersenyum. "Hati-hati di jalan."

Kai memeluk Anya sekilas lalu bergegas pergi. Anya berdiri terpaku di depan pintu, menatap punggung Kai yang menjauh. Saat ia berbalik dan masuk ke apartemen, notifikasi dari Soulmate AI muncul di layar ponselnya: "Kai telah menghapus profilnya. Kami berharap Anda menemukan cinta sejati."

Anya tertegun. Kai menghapus profilnya? Setelah semua yang terjadi? Apakah ini pertanda buruk? Apakah ia terlalu berharap?

Ia mencoba menelepon Kai, tapi tidak ada jawaban. Ia mengirimkan pesan, tapi tidak ada balasan. Hari-hari berlalu, dan Kai menghilang tanpa jejak. Anya merasa hancur. Ia kembali merasa seperti data yang diolah dan dibuang.

Anya mencoba untuk melupakan Kai, tapi tidak bisa. Ia terus memikirkan senyumnya, tawanya, dan tatapan matanya yang hangat. Ia mulai meragukan algoritma Soulmate AI. Apakah cinta sejati benar-benar bisa ditemukan melalui formula matematika? Ataukah cinta adalah sesuatu yang lebih kompleks, sesuatu yang tidak bisa diprediksi atau diukur?

Suatu malam, Anya tidak bisa tidur. Ia membuka laptopnya dan mencari informasi tentang Kai. Ia menemukan sebuah artikel tentang proyek arsitektur lanskap yang sedang dikerjakan Kai, sebuah taman memorial untuk para korban bencana alam. Di artikel itu, tertulis alamat email dan nomor telepon kantor Kai.

Anya ragu sejenak, lalu memutuskan untuk mengirimkan email. Ia menulis tentang perasaannya yang sebenarnya, tentang betapa berartinya pertemuan mereka, dan tentang betapa ia merindukannya. Ia juga meminta maaf jika ia terlalu lancang, dan mengatakan bahwa ia mengerti jika Kai tidak ingin berhubungan lagi dengannya.

Keesokan harinya, Anya menerima balasan dari Kai. Ia menjelaskan bahwa alasan ia menghilang adalah karena proyek taman memorial itu mengalami masalah serius. Ada kesalahan desain yang bisa membahayakan keselamatan pengunjung. Ia harus fokus sepenuhnya untuk menyelesaikan masalah itu, dan ia tidak ingin melibatkan Anya dalam masalahnya.

"Aku tahu ini terdengar egois," tulis Kai, "tapi aku tidak ingin kehilanganmu karena pekerjaanku. Aku ingin bisa memberikanmu waktu dan perhatian yang layak kamu dapatkan. Aku janji, setelah proyek ini selesai, aku akan menghubungimu."

Anya membaca email itu berulang-ulang, air mata mengalir di pipinya. Bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kelegaan dan harapan. Ia menyadari bahwa cinta tidak selalu berjalan mulus. Ada rintangan, ada tantangan, dan ada pengorbanan yang harus dilakukan. Tapi, jika cinta itu tulus, cinta itu akan bertahan.

Anya membalas email Kai, mengatakan bahwa ia mengerti dan akan menunggu. Ia juga menambahkan, "Algoritma mungkin bisa mempertemukan kita, tapi hati kitalah yang memutuskan untuk tetap bersama."

Anya menutup laptopnya dan menatap langit malam. Bulan bersinar terang, menerangi kota dengan cahayanya yang lembut. Ia tersenyum, merasa damai dan bahagia. Ia tahu bahwa perjalanan cintanya masih panjang dan penuh dengan ketidakpastian. Tapi, ia yakin, dengan kesabaran, kepercayaan, dan sedikit keberanian, ia akan menemukan kebahagiaan yang ia impikan. Cinta, di era AI ini, ternyata bukan hanya tentang algoritma, tapi juga tentang air mata, harapan, dan kekuatan hati untuk saling terhubung.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI