Aplikasi "SoulMate.AI" menjanjikan segalanya. Cinta, persahabatan, bahkan koneksi yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Di dunia yang serba digital ini, rasanya konyol kalau aku masih mencari cinta dengan cara konvensional. Bertemu di kedai kopi, saling bertukar nomor, lalu canggung saat kencan pertama. Terlalu melelahkan.
Maka, dengan sedikit keraguan dan banyak harapan, aku mengunduh SoulMate.AI. Kurasakan sensasi geli aneh saat mengisi profil. Umur, minat, hobi, preferensi pasangan, semuanya terpampang jelas. Bahkan, algoritma canggih aplikasi ini memintaku untuk mengunggah foto wajah terbaikku. Katanya, untuk meningkatkan akurasi pencarian.
Awalnya, hanya foto-foto wajah asing yang muncul. Senyum yang dipoles, pose yang dibuat-buat. Tapi, semakin lama, algoritma itu sepertinya mulai mengenalku. Profil yang muncul semakin relevan. Aku mulai berinteraksi, memberikan "like", bahkan mengirimkan pesan singkat.
Lalu, muncul nama Anya.
Foto profilnya sederhana. Anya tersenyum tipis dengan latar belakang perpustakaan. Deskripsinya singkat tapi padat: "Pecinta buku, penikmat senja, dan percaya bahwa cinta sejati masih ada." Sesuatu dalam diriku bergetar. Aku mengirimkan pesan.
"Hai Anya, saya tertarik dengan deskripsimu. Pecinta senja juga, nih."
Balasannya datang hampir seketika. "Hai! Senang bertemu sesama penikmat keindahan sederhana. Apa buku favoritmu?"
Percakapan kami mengalir deras. Kami membahas segala hal, mulai dari novel klasik hingga teori konspirasi. Kami berbagi mimpi, ketakutan, dan harapan. Aku merasa seperti mengenal Anya seumur hidupku, padahal baru beberapa minggu kami berinteraksi di dunia maya.
Setelah beberapa minggu, Anya mengajakku bertemu. Di sebuah kafe kecil yang уютный (cozy) di pusat kota. Aku gugup bukan main. Semua interaksi kami sebelumnya terasa begitu nyaman dan alami di balik layar. Bagaimana kalau semua itu hilang saat kami bertatap muka?
Anya lebih cantik dari fotonya. Matanya berbinar cerah, senyumnya menular. Kami berbicara selama berjam-jam, seolah waktu berhenti berputar. Ketertarikan kami bukan hanya ilusi digital. Ada koneksi nyata di antara kami.
Beberapa bulan berlalu. Aku dan Anya semakin dekat. Kami menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota, memasak makan malam, bahkan hanya sekadar duduk diam sambil membaca buku masing-masing. Aku merasa bahagia, lengkap, dan dicintai. SoulMate.AI sepertinya benar-benar menemukan belahan jiwaku.
Kemudian, masalah mulai muncul.
Anya mulai berubah. Dia menjadi lebih tertutup, sering menghindari kontak mata, dan jarang membalas pesanku. Aku mencoba bertanya, tapi dia selalu menjawab dengan alasan yang tidak jelas. Pekerjaan yang menumpuk, urusan keluarga yang mendesak, dan seribu alasan lainnya.
Aku mulai curiga. Apakah dia bertemu dengan orang lain? Apakah algoritma SoulMate.AI menemukan pasangan yang lebih cocok untuknya? Pikiran-pikiran itu menghantuiku siang dan malam.
Suatu malam, saat Anya tertidur di sampingku, aku tidak bisa menahan diri. Aku membuka SoulMate.AI di ponselnya. Awalnya, aku merasa bersalah, mengkhianati kepercayaannya. Tapi, rasa ingin tahu dan ketakutan mengalahkan akal sehatku.
Di aplikasi itu, aku menemukan profilnya. Sama seperti yang aku ingat. Tapi, ada satu perbedaan. Di bagian "preferensi pasangan", dia mengubah kriterianya. Dia menambahkan beberapa minat baru yang sama sekali tidak sesuai dengan diriku. Minat yang mengarah ke satu nama: profil laki-laki lain yang sering muncul di daftar "rekomendasi" SoulMate.AI.
Duniaku runtuh. Perasaanku hancur berkeping-keping. Semua kebahagiaan, semua harapan, semua cinta yang kubangun bersama Anya, ternyata hanya ilusi yang diciptakan oleh algoritma.
Aku membangunkan Anya. Dia terkejut melihatku memegang ponselnya. Aku menunjukkan profilnya. Dia terdiam, tidak bisa berkata apa-apa.
"Kenapa, Anya?" tanyaku lirih. "Kenapa kamu melakukan ini?"
Air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku... aku tidak tahu," jawabnya terbata-bata. "Aku merasa terjebak. Algoritma ini seolah mengendalikan hidupku. Aku ingin mencoba hal baru, bertemu orang lain, melihat apa yang ada di luar sana."
Aku merasa dikhianati. Bukan hanya oleh Anya, tapi juga oleh SoulMate.AI. Aplikasi itu menjanjikan cinta, tapi malah memberiku patah hati yang pahit. Algoritma itu menemukan kami, tapi juga menghancurkan kami.
Aku meninggalkan apartemen Anya malam itu juga. Aku menghapus aplikasi SoulMate.AI dari ponselku. Aku tidak ingin lagi bergantung pada algoritma untuk mencari cinta. Aku ingin mencari cinta dengan cara yang alami, dengan hati yang terbuka, dan dengan risiko patah hati yang nyata.
Beberapa minggu kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita di sebuah kedai kopi. Kami bertukar nomor, lalu canggung saat kencan pertama. Terlalu melelahkan? Mungkin. Tapi, setidaknya kali ini, aku tahu bahwa cinta yang kumulai bukan hasil perhitungan algoritma, melainkan pilihan hati. Risiko patah hati tetap ada, tapi setidaknya, itu adalah patah hati yang jujur, bukan patah hati yang diprogram. Aku belajar bahwa cinta tidak bisa diunduh. Cinta harus dirasakan, diperjuangkan, dan diterima dengan segala risikonya. Dan mungkin, hanya mungkin, di situlah letak keindahannya.