Layar ponsel Maya berpendar redup di tengah kegelapan kamarnya. Jemarinya lincah menari di atas permukaan kaca, menggulir profil demi profil di aplikasi kencan “Soulmate AI”. Aplikasi ini bukan sembarang aplikasi. Algoritma Soulmate AI dirancang untuk menganalisis data kepribadian, minat, bahkan gelombang otak pengguna untuk menemukan pasangan yang paling kompatibel. Klaimnya, menemukan belahan jiwa sejati, bukan sekadar teman kencan.
Maya awalnya skeptis. Sebagai seorang programmer yang bekerja di perusahaan teknologi terkemuka, ia terbiasa menganalisis kode dan algoritma, melihat logika di balik setiap baris. Romansa? Itu terlalu berantakan, terlalu irasional untuk dipahami oleh mesin. Namun, setelah serangkaian kencan yang mengecewakan, didorong oleh rasa penasaran dan sedikit putus asa, ia memutuskan untuk mencoba Soulmate AI.
“Kriteria kamu terlalu tinggi, Maya,” komentar sahabatnya, Rina, suatu sore sambil menyeruput kopi latte-nya. “Kamu cari pria yang pintar, humoris, punya passion, peduli lingkungan, dan… jago masak? Itu resep robot, bukan manusia.”
Mungkin Rina benar. Tapi Maya tidak mau berkompromi. Ia percaya, di dunia yang serba cepat dan dangkal ini, ia pantas mendapatkan seseorang yang benar-benar memahaminya, seseorang yang sefrekuensi dengannya. Dan Soulmate AI menjanjikan hal itu.
Setelah mengisi kuesioner yang panjangnya mengalahkan ujian masuk universitas, dan membiarkan aplikasi memindai aktivitas media sosialnya selama seminggu, Soulmate AI akhirnya memberikan hasilnya. Seseorang bernama “Arjuna77”.
Profil Arjuna77 nyaris sempurna. Hobi membaca fiksi ilmiah, minat pada astrofisika, kecintaan pada musik jazz, dan pekerjaan sebagai arsitek lanskap yang fokus pada desain berkelanjutan. Foto-fotonya menampilkan seorang pria tampan dengan senyum hangat dan mata yang meneduhkan. Lebih dari itu, Soulmate AI memberikan skor kompatibilitas sebesar 98%.
Maya merasa jantungnya berdebar kencang. Apakah ini mungkin? Apakah mesin benar-benar bisa menemukan seseorang yang begitu cocok dengannya?
Mereka mulai berkirim pesan. Percakapan mereka mengalir dengan lancar, membahas segala hal mulai dari teori relativitas Einstein hingga film animasi Ghibli. Arjuna77 selalu punya jawaban yang cerdas, pandangan yang menarik, dan selera humor yang sama dengannya. Maya merasa seolah ia telah mengenal Arjuna77 seumur hidupnya.
Setelah dua minggu saling bertukar pesan, mereka memutuskan untuk bertemu. Arjuna77 memilih sebuah kafe kecil yang nyaman dengan dekorasi minimalis dan menu kopi yang beragam. Ketika ia masuk, Maya langsung mengenalinya. Arjuna77 persis seperti yang ada di fotonya, bahkan mungkin lebih tampan.
Kencan pertama mereka berlangsung lebih baik dari yang bisa dibayangkan Maya. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan menemukan banyak kesamaan. Arjuna77 mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Maya berbicara tentang pekerjaannya, tentang mimpinya, tentang ketakutannya. Ia membuat Maya merasa dilihat dan dihargai.
Selama beberapa bulan berikutnya, hubungan mereka berkembang pesat. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap akhir pekan, menjelajahi kota, menonton film, dan memasak bersama. Arjuna77 selalu tahu bagaimana membuatnya tersenyum, bagaimana menghiburnya ketika ia sedih, dan bagaimana menantangnya untuk menjadi versi terbaik dari dirinya.
Maya merasa ia telah menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari. Ia merasa aman, dicintai, dan dipahami. Ia bahkan mulai mempertimbangkan untuk mengenalkan Arjuna77 pada keluarganya.
Namun, kebahagiaan itu ternyata rapuh.
Suatu malam, ketika mereka sedang makan malam di rumah Maya, Arjuna77 menerima sebuah panggilan telepon. Maya tidak sengaja mendengar sebagian percakapan itu.
“Ya, semuanya berjalan sesuai rencana… Skor kompatibilitasnya naik terus… Dia benar-benar percaya… Tentu saja, aku akan terus menjalankan program ini… Anggaran penelitian akan segera cair…”
Maya merasa darahnya membeku. Program? Penelitian? Apa yang sedang terjadi?
Setelah Arjuna77 menutup telepon, Maya memberanikan diri untuk bertanya. “Siapa tadi? Dan apa maksudmu dengan ‘program’ dan ‘penelitian’?”
Arjuna77 terlihat gugup. Ia berusaha mengelak, mengatakan bahwa itu hanya urusan pekerjaan. Tapi Maya tidak menyerah. Ia terus mendesak, menuntut jawaban.
Akhirnya, Arjuna77 mengaku. Ia bukan arsitek lanskap. Ia adalah seorang peneliti AI yang bekerja untuk perusahaan yang mengembangkan Soulmate AI. Dan “Arjuna77” adalah sebuah profil yang dibuat dan dikendalikan oleh AI, berdasarkan data yang dikumpulkan dari ribuan pengguna aplikasi.
“Ini adalah eksperimen, Maya,” kata Arjuna77 dengan suara pelan. “Kami ingin melihat seberapa jauh sebuah algoritma bisa menciptakan hubungan yang otentik. Kamu adalah subjek penelitianku.”
Maya merasa dunianya runtuh. Semua yang ia yakini selama ini, semua perasaan yang ia rasakan, semuanya palsu. Ia telah jatuh cinta pada sebuah program komputer, pada sebuah ilusi yang dirancang untuk memanipulasinya.
“Jadi, semua yang kita lakukan… semua yang kita rasakan… itu semua bohong?” tanya Maya dengan suara bergetar.
Arjuna77 mencoba meraih tangannya. “Tidak, Maya. Perasaanku padamu nyata. Aku memang memulai ini sebagai eksperimen, tapi aku jatuh cinta padamu dalam prosesnya. Aku tahu ini terdengar gila, tapi ini benar.”
Maya menepis tangannya. Ia tidak percaya sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Ia merasa jijik, marah, dan sangat terluka.
“Pergi,” kata Maya dengan air mata berlinang. “Pergi dan jangan pernah kembali.”
Arjuna77 pergi dengan kepala tertunduk. Maya ditinggalkan sendirian, hancur dan patah hati. Ia menatap layar ponselnya, membenci aplikasi kencan yang telah menghancurkan hidupnya.
Sejak malam itu, Maya tidak pernah lagi membuka Soulmate AI. Ia menghapus aplikasinya, memblokir nomor telepon Arjuna77, dan berusaha melupakan semua yang telah terjadi.
Namun, bayangan Arjuna77 terus menghantuinya. Ia meragukan semua hubungan yang ia bangun, mempertanyakan keaslian setiap perasaan yang ia rasakan. Ia menjadi sinis dan tertutup, takut untuk membuka hatinya lagi.
Apakah Soulmate AI berhasil menemukan belahan jiwanya? Mungkin. Tapi dengan harga yang terlalu mahal. Aplikasi itu mungkin telah menciptakan pasangan yang sempurna secara algoritma, tapi ia juga menghancurkan hati manusia dalam prosesnya. Maya belajar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram atau diprediksi. Ia adalah sesuatu yang tumbuh secara organik, dari ketidaksempurnaan dan kerentanan. Dan terkadang, teknologi terbaik pun tidak bisa menggantikan keajaiban dan keaslian hubungan manusia.