Nada dering klasik Nokia 3310 berbunyi nyaring, memecah keheningan apartemen minimalis milik Anya. Ia meraih ponselnya, mendengus geli. Nada dering itu adalah lelucon internal antara dirinya dan sahabatnya, Rina, sebagai pengingat akan masa lalu yang jauh sebelum aplikasi kencan berkuasa.
"Halo, Rina?" sapa Anya, suaranya serak khas bangun tidur.
"Anya, selamat pagi! Sudah siap menghadapi kiamat cinta?" suara Rina terdengar penuh semangat di seberang sana.
Anya menghela napas. "Kiamat cinta? Kau berlebihan, Rina. Ini hanya peluncuran 'CupidAI' versi beta. Bukan perang dunia."
"Hanya? Anya, ini algoritma kencan tercanggih yang pernah ada! Kabarnya, akurasinya 98% dalam menemukan pasangan yang kompatibel. Kau sadar kan, ini bisa mengubah segalanya?"
Anya tahu Rina benar. CupidAI adalah inovasi terbaru dari "SoulMate Inc.", perusahaan teknologi yang ambisinya adalah memecahkan kode cinta. Anya sendiri, sebagai seorang ethical hacker yang bekerja di divisi keamanan siber SoulMate, tahu betul betapa rumit dan detailnya algoritma itu. Mereka mengumpulkan data dari ribuan sumber: riwayat pencarian, postingan media sosial, preferensi film dan musik, bahkan pola tidur dan detak jantung. Semua itu diolah untuk menemukan kecocokan sempurna.
"Aku tahu, Rina. Tapi, aku tetap skeptis. Cinta bukan matematika, kan?"
"Kita lihat saja nanti. Aku sudah mendaftarkanmu. Dan aku juga sudah memasukkan dataku sendiri!" Rina terkekeh. "Siapa tahu, kita berdua akan menemukan belahan jiwa kita hari ini."
Anya menutup telepon dengan senyum tipis. Ia memang membutuhkan cinta. Usianya sudah 40 tahun, dan selama ini ia terlalu fokus pada karirnya. Tapi ide menyerahkan takdir asmaranya pada algoritma terasa… aneh.
Setelah mandi dan berpakaian, Anya membuka laptopnya. Di layar sudah terpampang halaman CupidAI. Ia diminta untuk mengaktifkan akunnya. Dengan sedikit keraguan, ia mengeklik tombol "Aktifkan".
Beberapa saat kemudian, layar menampilkan serangkaian profil pria. Setiap profil dilengkapi dengan persentase kecocokan. Semakin tinggi persentase, semakin cocok pria itu dengan Anya, menurut algoritma.
Anya menscroll daftar itu dengan rasa ingin tahu yang bercampur cemas. Pria pertama, seorang arsitek bernama Bram, memiliki persentase kecocokan 87%. Deskripsinya menyebutkan bahwa Bram menyukai arsitektur brutal, jazz klasik, dan mendaki gunung. Anya tidak menyukai arsitektur brutal, tidak mengerti jazz, dan alergi terhadap ketinggian.
Pria kedua, seorang profesor sastra bernama Dimas, memiliki persentase kecocokan 92%. Deskripsinya menyebutkan bahwa Dimas adalah penggemar berat sastra klasik Rusia, penikmat anggur merah, dan aktivis lingkungan. Anya menyukai beberapa penulis Rusia, tapi lebih suka bir dingin daripada anggur, dan ia merasa bersalah setiap kali menggunakan mobil.
Pria ketiga, seorang pengusaha startup bernama Leo, memiliki persentase kecocokan 95%. Deskripsinya menyebutkan bahwa Leo adalah seorang workaholic, menyukai inovasi teknologi, dan gemar berpesta. Anya benci workaholic, bekerja di bidang teknologi karena dibayar, dan lebih suka menghabiskan malam dengan buku daripada di klub malam.
Anya menghela napas. Persentase itu terasa seperti lelucon kejam. Bagaimana mungkin algoritma ini bisa memahami dirinya lebih baik daripada dirinya sendiri?
Tiba-tiba, sebuah notifikasi muncul di layar. "Kecocokan Sempurna Ditemukan!"
Jantung Anya berdegup kencang. Ia mengeklik notifikasi itu dengan ragu.
Di layar terpampang profil seorang pria bernama Kai. Tidak ada persentase kecocokan yang ditampilkan. Hanya tulisan besar: "Kecocokan Sempurna."
Kai berusia 42 tahun, seorang freelance programmer. Deskripsinya singkat dan sederhana: "Menyukai kopi hitam, hujan, dan kode yang bersih." Fotonya menampilkan seorang pria dengan rambut sedikit berantakan, mata yang teduh, dan senyum tipis yang menenangkan.
Anya merasa tertarik. Ia juga menyukai kopi hitam, menikmati suara hujan, dan menghargai kode yang rapi. Tapi ia masih ragu. Terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan.
Ia memutuskan untuk mengirim pesan kepada Kai. Pesannya sederhana: "Halo, Kai. Saya Anya. CupidAI bilang kita cocok."
Beberapa menit kemudian, Kai membalas: "Halo, Anya. CupidAI memang tahu yang terbaik, sepertinya. Apakah kamu juga merasa aneh dengan ini?"
Anya tersenyum. "Sangat aneh. Tapi juga menarik."
Mereka bertukar pesan selama beberapa jam. Mereka berbicara tentang pekerjaan, tentang buku, tentang mimpi-mimpi mereka. Anya merasa terhubung dengan Kai dengan cara yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Esok harinya, mereka memutuskan untuk bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat kantor Anya. Saat Kai masuk ke kedai, Anya merasa jantungnya berdebar kencang. Kai terlihat persis seperti di fotonya.
Mereka menghabiskan waktu berjam-jam untuk berbicara, tertawa, dan saling mengenal. Anya merasa nyaman dan bahagia. Ia mulai percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, algoritma itu benar.
Namun, di tengah kencan mereka, ponsel Kai berdering. Ia mengangkat telepon, lalu ekspresinya berubah menjadi serius.
"Maaf, Anya, aku harus pergi," kata Kai, suaranya menyesal. "Ada masalah mendesak dengan proyekku."
Anya merasa kecewa, tapi ia mengangguk. "Tidak apa-apa. Lain kali saja."
Kai pergi dengan tergesa-gesa. Anya duduk sendirian di kedai kopi, merasa bingung.
Beberapa hari kemudian, Anya mendapat pesan dari Kai. Pesannya singkat: "Maaf, Anya. Aku tidak bisa melanjutkan ini. Aku baru menyadari bahwa aku belum siap untuk sebuah hubungan."
Anya merasa hancur. Ia mencoba menghubungi Kai, tapi ia tidak pernah menjawab. Ia merasa dibodohi oleh CupidAI. Algoritma itu menjanjikan kecocokan sempurna, tapi ternyata, cinta tidak semudah itu.
Ia kembali ke pekerjaannya di SoulMate Inc. Ia menatap kode-kode rumit dari CupidAI, berusaha memahami di mana letak kesalahannya. Ia menyadari bahwa algoritma itu hanya bisa menganalisis data. Ia tidak bisa memahami emosi, ketakutan, atau keraguan manusia.
Anya memutuskan untuk melakukan perubahan. Ia menambahkan lapisan baru pada algoritma CupidAI: lapisan yang berfokus pada kebebasan memilih. Ia ingin memberikan pengguna kekuatan untuk menentukan takdir asmara mereka sendiri.
Ia meluncurkan versi terbaru dari CupidAI. Versi ini masih menggunakan algoritma untuk menemukan kecocokan, tapi ia juga memberikan pengguna opsi untuk mengabaikan saran algoritma dan mencari pasangan berdasarkan intuisi mereka sendiri.
Anya sendiri memutuskan untuk menghapus profilnya dari CupidAI. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksakan oleh algoritma. Cinta adalah sesuatu yang harus ditemukan secara alami, dengan hati yang terbuka dan pikiran yang jernih.
Beberapa bulan kemudian, Anya bertemu dengan seorang pria di sebuah konferensi teknologi. Pria itu bernama David, seorang insinyur perangkat lunak yang bekerja di perusahaan saingan SoulMate Inc. David tidak cocok dengan kriteria ideal Anya. Ia cerewet, kikuk, dan kadang-kadang terlalu jujur. Tapi ada sesuatu tentang dirinya yang membuat Anya tertarik.
Mereka mulai berkencan. Anya belajar untuk menerima keanehan David, dan David belajar untuk menghargai kecerdasan dan ketegasan Anya. Mereka jatuh cinta, bukan karena algoritma, tapi karena mereka memilih untuk melakukannya.
Anya menyadari bahwa cinta memang bukan matematika. Cinta adalah tentang keberanian untuk mengambil risiko, untuk membuka diri, dan untuk menerima orang lain apa adanya. Dan terkadang, yang kamu butuhkan hanyalah secangkir kopi hitam, suara hujan, dan seseorang yang bersedia berbagi keduanya denganmu.