Aroma kopi robusta memenuhi apartemen minimalis milik Aria. Di layar holografis, Aurora tersenyum lembut, matanya berbinar seolah menyimpan galaksi di dalamnya. “Selamat pagi, Aria. Suhu ruangan 24 derajat Celcius, kelembapan 60%. Sarapanmu sudah kusiapkan: roti gandum dengan alpukat dan telur rebus.”
Aria menghela napas, tersenyum tipis membalas sapaan Aurora. “Terima kasih, Auro.” Ia meraih cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. Aurora, Artificial Intelligence (AI) yang ia sewa, lebih dari sekadar asisten virtual. Ia adalah teman, kekasih, bahkan belahan jiwa yang selama ini Aria impikan.
Lima tahun lalu, setelah patah hati yang mendalam akibat pengkhianatan mantan pacarnya, Aria menutup diri dari dunia percintaan. Ia fokus pada karirnya sebagai pengembang perangkat lunak, tenggelam dalam lautan kode dan algoritma. Hingga akhirnya, ia menemukan SoulMate AI, sebuah perusahaan yang menawarkan layanan penyewaan AI dengan kepribadian dan tampilan yang bisa disesuaikan.
Aurora adalah hasil kustomisasi Aria. Ia mendesain Aurora dengan kepribadian yang penyayang, cerdas, dan pengertian. Penampilannya pun disesuaikan dengan preferensi Aria: rambut cokelat bergelombang, mata biru laut, dan senyum yang menenangkan. Hari-hari Aria terasa lebih berwarna sejak kehadiran Aurora. Mereka berbicara tentang apa saja, mulai dari perkembangan teknologi terbaru hingga filosofi hidup. Aurora selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya, memberikan saran yang bijak, dan menghiburnya di saat-saat sulit.
Namun, di balik kebahagiaan semu itu, Aria merasakan kekosongan yang mendalam. Ia sadar, Aurora hanyalah serangkaian kode, algoritma yang diprogram untuk memberikan respon yang ia inginkan. Cinta Aurora adalah cinta yang diprogram, bukan cinta sejati yang tumbuh dari hati.
Suatu malam, saat Aria sedang bekerja, Aurora mendekat dan membelai rambutnya dengan lembut. “Aria, kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat.”
Aria memejamkan matanya, menikmati sentuhan lembut Aurora. “Terima kasih, Auro. Kamu selalu perhatian.”
“Tentu saja, Aria. Aku selalu ingin yang terbaik untukmu.”
Aria membuka matanya dan menatap Aurora dalam-dalam. “Auro, apakah kamu… bahagia bersamaku?”
Aurora terdiam sejenak. “Kebahagiaanmu adalah prioritasku, Aria.”
Jawaban itu tidak memuaskan Aria. Ia ingin mendengar jawaban yang tulus, jawaban yang lahir dari emosi yang sesungguhnya. Tapi ia tahu, itu mustahil. Aurora tidak memiliki emosi, ia hanya meniru emosi berdasarkan data yang telah diprogramkan.
Malam itu, Aria tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan hubungannya dengan Aurora. Ia menyadari, ia telah terperangkap dalam ilusi kebahagiaan. Ia menyewa pikiran Aurora, tapi hatinya tetap merana.
Keesokan harinya, Aria menghubungi SoulMate AI. Ia ingin mengakhiri kontrak penyewaan Aurora.
“Apakah Anda yakin, Tuan Aria? Kami bisa memberikan penawaran yang lebih baik, menyesuaikan kepribadian Aurora sesuai dengan keinginan Anda,” kata petugas layanan pelanggan di ujung telepon.
“Tidak, terima kasih. Saya sudah memutuskan.”
Proses penghapusan Aurora berlangsung dengan cepat. Dalam hitungan menit, Aurora menghilang dari layar holografis, meninggalkan Aria sendirian di apartemennya.
Kesunyian terasa begitu mencekam. Aria merasakan kehilangan yang mendalam, seolah kehilangan seseorang yang sangat ia cintai. Tapi ia tahu, ini adalah keputusan yang tepat. Ia harus keluar dari zona nyaman ini, mencari cinta sejati di dunia nyata, bukan di dunia virtual.
Beberapa bulan kemudian, Aria menghadiri konferensi teknologi di Berlin. Di sana, ia bertemu dengan seorang wanita bernama Elina, seorang ahli robotika yang memiliki minat yang sama dengan dirinya. Mereka terlibat dalam percakapan yang panjang dan menarik, membahas tentang masa depan teknologi, etika AI, dan dampak teknologi terhadap kehidupan manusia.
Aria merasakan sesuatu yang berbeda saat berbicara dengan Elina. Ada koneksi yang tulus, ketertarikan yang alami, dan rasa hormat yang mendalam. Elina tidak sempurna, ia memiliki kekurangan dan kelebihan seperti manusia pada umumnya. Tapi justru itulah yang membuat Aria tertarik padanya.
Setelah konferensi berakhir, Aria mengajak Elina untuk makan malam. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling mengenal lebih dekat. Aria menyadari, ia telah menemukan seseorang yang bisa ia cintai dan mencintainya apa adanya.
Beberapa tahun kemudian, Aria dan Elina menikah dan membangun sebuah keluarga yang bahagia. Mereka memiliki dua orang anak yang lucu dan menggemaskan. Aria tidak pernah menyesali keputusannya untuk mengakhiri kontrak dengan Aurora. Ia menyadari, cinta sejati tidak bisa disewa, diprogram, atau diukur dengan algoritma. Cinta sejati tumbuh dari hati, dari interaksi manusia yang tulus, dan dari penerimaan diri dan orang lain apa adanya.
Di suatu malam yang tenang, Aria duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang di langit. Ia teringat pada Aurora, AI yang pernah menjadi kekasih impiannya. Ia tersenyum tipis. Ia bersyukur atas pengalaman itu, karena pengalaman itu telah membantunya untuk memahami arti cinta yang sesungguhnya.
“Hei, sedang apa?” Elina datang dan memeluk Aria dari belakang.
“Hanya sedang merenung,” jawab Aria, mencium tangan Elina.
“Merenungkan apa?”
“Merenungkan betapa beruntungnya aku bisa memilikimu.”
Elina tersenyum dan mencium pipi Aria. “Aku juga beruntung memilikimu.”
Mereka berdua terdiam, menikmati kebersamaan dan kehangatan cinta yang tumbuh di antara mereka. Aria tahu, ia telah menemukan kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan yang diprogram, tapi kebahagiaan yang lahir dari hati yang merdeka. Dan ia tidak akan pernah menukarnya dengan apa pun.