Lampu neon di atas meja kerja Ardi berkedip-kedip, seirama dengan degup jantungnya yang tak karuan. Di layar monitor, barisan kode Python menari-nari, membentuk algoritma kompleks yang dirancangnya. Algoritma itu bukan untuk memprediksi harga saham atau mengoptimalkan rantai pasokan. Algoritma itu, dengan sedikit keberanian dan banyak kecemasan, diciptakan untuk mencari cinta.
Ardi, seorang programmer jenius dengan kemampuan memecahkan masalah rumit dalam hitungan menit, selalu kesulitan memahami labirin perasaan manusia. Baginya, cinta adalah anomali, sebuah bug dalam sistem logika yang sempurna. Sementara teman-temannya sibuk berkencan dan merasakan patah hati, Ardi tenggelam dalam dunia kode, merasa lebih nyaman berinteraksi dengan variabel dan fungsi daripada dengan manusia.
Namun, kesendirian mulai menggerogoti. Ia melihat kebahagiaan terpancar dari wajah teman-temannya yang berpasangan, mendengar cerita-cerita kencan yang menggelikan namun penuh makna, dan ia merasa tertinggal. Maka, muncullah ide gila itu: menciptakan algoritma pencari cinta.
Algoritmanya bekerja dengan menganalisis data dari berbagai sumber: profil media sosial, riwayat pencarian, preferensi film dan musik, bahkan pola tidur yang terekam oleh gelang pintarnya. Data-data itu kemudian diolah untuk mencari kecocokan dengan profil pengguna lain yang juga memasukkan data mereka ke dalam sistem. Sistem itu ia beri nama “SoulMatch”.
Awalnya, SoulMatch hanya sebatas proyek sampingan, sebuah eksperimen iseng untuk membuktikan bahwa cinta bisa diprediksi dan diukur. Namun, semakin dalam ia berkutat dengan kode, semakin ia berharap algoritma itu akan membawanya kepada seseorang yang spesial.
Beberapa minggu kemudian, SoulMatch memberikan hasil pertamanya. “Potensi Kecocokan Tertinggi: Nadia Kartika,” demikian bunyi notifikasi di layar monitor Ardi. Nadia, seorang desainer grafis lepas dengan selera humor yang unik dan kecintaan pada kucing, menurut algoritma, memiliki kesamaan minat dan nilai-nilai hidup dengan Ardi.
Ardi ragu. Apakah ia benar-benar akan mempercayakan urusan hatinya pada sebuah algoritma? Bukankah cinta seharusnya ditemukan secara organik, melalui pertemuan tak terduga dan percakapan yang mengalir begitu saja? Namun, rasa penasaran dan harapan mengalahkan keraguannya. Ia memutuskan untuk mengirimkan pesan singkat kepada Nadia melalui SoulMatch.
“Hai Nadia, saya Ardi. Algoritma mengatakan kita punya banyak kesamaan.”
Balasan Nadia datang hampir seketika. “Hai Ardi! Algoritma? Kedengarannya menarik. Tapi, saya harap kamu bukan robot yang mencoba merayu saya dengan kode.”
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Ardi terpukau dengan kecerdasan dan selera humor Nadia. Mereka bertukar cerita tentang pekerjaan, hobi, dan mimpi-mimpi mereka. Ardi merasa ada sesuatu yang berbeda dari percakapan ini. Bukan hanya karena algoritma yang mempertemukan mereka, tetapi karena ada koneksi yang tulus dan mendalam yang tumbuh di antara mereka.
Setelah beberapa minggu berinteraksi secara virtual, Ardi memberanikan diri untuk mengajak Nadia bertemu langsung. Nadia setuju. Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil di dekat taman kota. Ardi gugup bukan main. Ia khawatir Nadia akan kecewa saat bertemu dengannya secara langsung. Ia khawatir algoritma itu salah.
Namun, kekhawatiran itu sirna begitu melihat Nadia tersenyum kepadanya. Senyumnya hangat dan tulus, persis seperti yang ia bayangkan selama ini. Percakapan mereka mengalir lancar, seolah mereka sudah saling mengenal sejak lama. Mereka tertawa bersama, berbagi cerita, dan menemukan lebih banyak kesamaan di antara mereka.
Saat mereka berjalan-jalan di taman setelah minum kopi, Ardi merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ia tidak lagi melihat cinta sebagai sebuah anomali yang sulit dipahami. Ia mulai menyadari bahwa cinta adalah tentang koneksi, tentang berbagi, dan tentang menerima satu sama lain apa adanya.
Beberapa bulan kemudian, Ardi dan Nadia semakin dekat. Mereka saling mendukung dalam pekerjaan, menghabiskan waktu bersama, dan belajar untuk saling memahami. Ardi masih terus mengembangkan SoulMatch, tetapi ia tidak lagi bergantung pada algoritma untuk mencari kebahagiaan. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diprediksi atau diukur. Cinta adalah tentang keberanian untuk membuka hati dan membiarkan diri terluka.
Suatu malam, saat mereka duduk di balkon apartemen Ardi, menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit, Nadia bertanya, “Ardi, apa kamu masih percaya pada algoritma pencari cinta itu?”
Ardi tersenyum. “Aku percaya bahwa algoritma itu membantuku menemukanmu. Tapi, aku juga percaya bahwa cinta lebih dari sekadar kode dan data. Cinta adalah tentang pilihan, tentang komitmen, dan tentang menerima bahwa tidak ada algoritma yang sempurna untuk memprediksi masa depan.”
Ia meraih tangan Nadia dan menggenggamnya erat. “Aku mungkin seorang programmer, tapi aku juga manusia. Dan sebagai manusia, aku memilih untuk mencintaimu, bukan karena algoritma, tapi karena dirimu sendiri.”
Nadia tersenyum dan membalas genggaman tangan Ardi. “Aku juga memilih untuk mencintaimu, Ardi. Bukan karena kamu seorang jenius dalam membuat kode, tapi karena kamu adalah kamu.”
Malam itu, di bawah bintang-bintang yang bertaburan, Ardi menyadari bahwa ia telah menemukan cinta yang sebenarnya. Cinta yang tidak diciptakan oleh algoritma, tetapi tumbuh dari hati yang terbuka dan berani untuk mengambil risiko. Ia belajar bahwa cinta adalah tentang menerima ketidaksempurnaan dan merayakan keunikan satu sama lain. Dan ia bersyukur bahwa ia telah menemukan Nadia, seseorang yang membuatnya merasa lengkap, seseorang yang membuatnya merasa hidup. Algoritma memang bisa membantunya menemukan Nadia, tetapi hatinyalah yang memutuskan untuk mencintai.