Jemari Aina menari di atas layar virtual, menghapus satu per satu foto Kenzo dari album kenangan digitalnya. Setiap usapan seolah mencabut duri tajam dari hatinya yang berdenyut nyeri. Senyum Kenzo di foto-foto itu begitu menawan, dulu. Sekarang, hanya terasa seperti hinaan bisu. Dua tahun. Dua tahun yang terasa seperti mimpi indah yang kini berubah menjadi mimpi buruk tanpa akhir.
"Kau yakin, Aina?" Suara Maya, sahabatnya, terdengar ragu dari seberang meja. Mereka duduk di kafe favorit mereka, aroma kopi yang biasanya menenangkan kini terasa pahit di lidah Aina.
Aina mengangguk, tanpa menatap Maya. Matanya terpaku pada layar, menghapus video-video pendek yang penuh canda tawa mereka berdua. "Harus, Maya. Tidak ada gunanya menyimpan kenangan yang menyakitkan."
"Tapi... menghapus semuanya? Bukankah itu sama saja dengan menyangkal apa yang pernah ada?"
"Apa yang 'ada' sudah tidak ada lagi, Maya. Kenzo memilih Luna. Bukan aku." Suara Aina bergetar. Luna. Nama itu terasa seperti racun yang membakar kerongkongannya. Luna, kolega Kenzo di perusahaan teknologi tempat mereka bekerja. Luna, yang lebih cerdas, lebih ambisius, dan tampaknya, lebih menarik di mata Kenzo.
Maya menghela napas. Ia tahu betul bagaimana hancurnya Aina. Ia sudah menyaksikan sahabatnya itu jatuh cinta dengan begitu dalam pada Kenzo, merajut mimpi-mimpi indah tentang masa depan bersama. Dan kini, semua itu hancur berkeping-keping hanya karena sebuah algoritma yang salah, menurut Aina.
"Kau masih menyalahkan Algoritma Cinta, Aina?" tanya Maya lembut.
Aina mendongak, menatap Maya dengan mata merahnya. "Tentu saja! Kalau bukan karena Algoritma Cinta itu, aku tidak akan pernah bertemu Kenzo! Algoritma itu yang menjodohkan kami! Algoritma itu yang bilang kami cocok! Ternyata semua itu bohong!"
Algoritma Cinta. Sebuah platform kencan revolusioner yang didasarkan pada analisis data pribadi, riwayat internet, preferensi, dan bahkan gelombang otak. Algoritma itu diklaim mampu menemukan pasangan yang paling kompatibel, dengan tingkat akurasi yang hampir sempurna. Aina dan Kenzo adalah salah satu pasangan sukses yang lahir dari Algoritma Cinta. Setidaknya, itulah yang mereka pikirkan.
"Aina, itu hanya sebuah alat. Kenzo yang memilih untuk pergi. Bukan algoritmanya," kata Maya, mencoba menenangkan.
"Tapi algoritma itu menanamkan harapan palsu! Algoritma itu membuatku percaya bahwa kami ditakdirkan bersama! Kalau saja aku tidak pernah menggunakan Algoritma Cinta, mungkin aku tidak akan sesakit ini!" Aina menumpahkan semua kekesalannya.
Setelah menghapus semua jejak digital Kenzo, Aina memutuskan untuk mengambil cuti dari pekerjaannya. Ia butuh waktu untuk menjernihkan pikiran dan menyembuhkan hatinya. Ia pergi ke sebuah vila terpencil di pegunungan, menjauh dari hiruk pikuk kota dan semua pengingat tentang Kenzo.
Di sana, ia mencoba untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada teknologi. Ia mematikan ponselnya, membaca buku-buku cetak, berjalan-jalan di hutan, dan mencoba untuk merasakan kembali keindahan dunia tanpa filter digital.
Namun, bayangan Kenzo tetap menghantuinya. Setiap sudut vila mengingatkannya pada momen-momen indah mereka berdua. Setiap aroma pinus mengingatkannya pada parfum Kenzo. Aina merasa terjebak dalam labirin kenangan yang ia ciptakan sendiri.
Suatu malam, Aina tidak bisa tidur. Ia keluar dari vila dan berjalan-jalan di bawah bintang-bintang. Langit malam yang luas dan sunyi membuatnya merasa kecil dan tidak berarti. Ia mulai mempertanyakan semua yang ia yakini selama ini.
Apakah cinta benar-benar bisa diukur dan diprediksi oleh sebuah algoritma? Apakah kebahagiaan sejati bisa ditemukan melalui aplikasi kencan? Ataukah ia selama ini terlalu bergantung pada teknologi dan melupakan esensi dari hubungan manusia yang sebenarnya?
Tiba-tiba, Aina melihat sebuah cahaya di kejauhan. Ia mendekat dan menemukan seorang lelaki tua sedang duduk di depan perapian di sebuah gubuk kecil. Lelaki itu tersenyum ramah dan mempersilakan Aina masuk.
Lelaki tua itu bernama Pak Surya. Ia adalah seorang pensiunan astronom yang memilih untuk menghabiskan masa tuanya di pegunungan. Ia menceritakan kisah-kisah tentang alam semesta, tentang bintang-bintang yang berjarak jutaan tahun cahaya, dan tentang keajaiban kehidupan yang tidak bisa dijelaskan oleh sains.
"Nak, algoritma itu hanya alat. Seperti teleskop. Ia bisa membantu kita melihat lebih jauh, tapi ia tidak bisa menentukan apa yang harus kita lihat," kata Pak Surya bijak. "Cinta itu seperti bintang. Ia bersinar dengan caranya sendiri, dan kita tidak bisa memaksanya untuk bersinar lebih terang atau lebih redup."
Kata-kata Pak Surya menenangkan hati Aina. Ia menyadari bahwa ia telah menyalahkan Algoritma Cinta atas kegagalannya. Ia telah lupa bahwa cinta adalah sebuah pilihan, sebuah komitmen, dan sebuah perjalanan yang penuh dengan kejutan dan tantangan.
Keesokan harinya, Aina kembali ke kota. Ia tidak menghapus aplikasi Algoritma Cinta dari ponselnya. Ia membiarkan foto-foto Kenzo tetap ada di album kenangannya. Ia tidak ingin menyangkal apa yang pernah ada. Ia hanya ingin belajar dari pengalaman itu dan membuka hatinya untuk kemungkinan-kemungkinan baru.
Beberapa bulan kemudian, Aina kembali bekerja. Ia bertemu dengan seorang lelaki baru di kantor. Namanya Rian. Ia seorang programmer yang bekerja di divisi yang berbeda. Rian tidak tahu apa-apa tentang Algoritma Cinta atau tentang masa lalu Aina dengan Kenzo. Ia hanya melihat Aina sebagai seorang wanita yang cerdas, cantik, dan menarik.
Rian tidak mencoba untuk menggantikan Kenzo. Ia tidak mencoba untuk memenuhi ekspektasi Aina yang telah dibangun oleh Algoritma Cinta. Ia hanya menjadi dirinya sendiri. Ia mengajak Aina untuk berjalan-jalan di taman, menonton film-film klasik, dan berbicara tentang mimpi-mimpi mereka.
Aina perlahan-lahan mulai jatuh cinta pada Rian. Ia menyadari bahwa cinta tidak harus sempurna. Cinta tidak harus diprediksi. Cinta hanya perlu dirasakan.
Suatu malam, Rian mengajak Aina makan malam di sebuah restoran romantis. Setelah makan malam, mereka berjalan-jalan di tepi sungai. Rian berhenti dan menatap Aina dengan mata yang penuh cinta.
"Aina, aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku ingin jujur padamu. Aku mencintaimu," kata Rian.
Aina tersenyum. "Aku juga mencintaimu, Rian."
Rian memeluk Aina dengan erat. Di bawah cahaya bulan, Aina merasa bahwa ia telah menemukan cinta yang sejati. Cinta yang tidak ditentukan oleh algoritma, tetapi oleh hati. Cinta yang tidak dihapus oleh waktu, tetapi digenggam erat selamanya. Cinta yang tumbuh di atas puing-puing masa lalu, menjadi lebih kuat dan lebih indah.