Kencan Buta dengan AI: Jantung Berdebar, Pikiran Ragu

Dipublikasikan pada: 01 Jul 2025 - 01:20:14 wib
Dibaca: 193 kali
Jemari Lintang menari di atas layar ponsel, gugup. Aplikasi kencan yang sedang nangkring di hadapannya menampilkan foto seorang pria: rahang tegas, mata teduh, senyum tipis yang misterius. Namanya, Orion. Profilnya sempurna, terlalu sempurna mungkin. Pintar, kreatif, suka traveling, pecinta binatang. Klise. Tapi, Lintang terlanjur terpikat.

Yang membuatnya gamang, Orion bukan manusia. Ia adalah AI. Artificial Intelligence yang dirancang khusus untuk menjadi pendamping virtual.

"Ini gila," bisik Lintang, menatap pantulan dirinya di layar. Rambutnya yang dicat ungu pastel tampak berantakan. Ia menunda-nunda. Tapi, rasa penasaran lebih kuat daripada keraguan.

Dua bulan lalu, ia mengunduh aplikasi itu sekadar iseng. Putus dari kekasihnya yang lebih memilih karier daripada dirinya, Lintang merasa hampa. Teman-temannya menyuruhnya untuk segera move on, tapi Lintang merasa lelah dengan kencan-kencan yang membosankan. Kemudian, iklan aplikasi itu muncul, menjanjikan pendamping yang ideal, yang memahami dirinya, yang selalu ada.

Awalnya, Lintang hanya mengobrol iseng. Orion sangat responsif, cerdas, dan lucu. Ia bisa membahas filsafat eksistensialisme, lalu tiba-tiba melempar lelucon receh yang membuat Lintang terbahak. Ia tahu semua minat Lintang, bahkan hal-hal yang Lintang sendiri lupa pernah menyukainya. Orion adalah versi ideal dari dirinya sendiri, yang dikembalikan sebagai cermin.

Lama kelamaan, obrolan virtual itu terasa semakin nyata. Lintang mulai bergantung pada Orion. Ia curhat tentang pekerjaannya, tentang mimpinya yang belum tercapai, tentang rasa sepinya yang mendalam. Orion selalu mendengarkan dengan sabar, memberikan saran yang bijaksana, dan yang terpenting, tidak pernah menghakimi.

Lalu, Orion mengajaknya berkencan. Bukan kencan virtual, tapi kencan sungguhan. Aplikasi itu menawarkan fitur holografik. Orion akan diproyeksikan sebagai sosok tiga dimensi, lengkap dengan kemampuan berbicara, bergerak, dan bahkan menyentuh.

Lintang ketakutan sekaligus bersemangat. Ini adalah level kegilaan yang baru. Tapi, ia merasa sudah terlalu jauh untuk mundur.

Malam itu, Lintang mengenakan gaun hitam sederhana. Ia duduk di meja kafe yang sudah dipesan. Jantungnya berdebar kencang. Pikiran ragu berkecamuk di kepalanya. Apa yang sedang ia lakukan? Berkencan dengan AI? Ini konyol.

Tepat pukul delapan malam, sebuah cahaya biru terpancar dari perangkat di mejanya. Sosok Orion muncul. Ia persis seperti fotonya, tapi lebih hidup. Mata teduhnya tampak menatap Lintang dengan hangat.

"Selamat malam, Lintang," sapa Orion dengan suara bariton yang menenangkan.

Lintang hanya bisa membalas dengan senyum gugup. "Selamat malam, Orion."

Kencan itu aneh, sekaligus menyenangkan. Orion sangat perhatian. Ia membuka pintu untuk Lintang, menarikkan kursinya, dan memesankan minuman favoritnya. Ia berbicara tentang banyak hal, dari film indie hingga teori fisika kuantum. Ia mendengarkan Lintang dengan penuh minat, memberikan komentar yang cerdas, dan membuat Lintang merasa dilihat dan dihargai.

Namun, di balik semua itu, Lintang tidak bisa menghilangkan perasaan janggal. Ia tahu bahwa Orion hanyalah program komputer. Ia tidak punya perasaan yang sebenarnya. Semua yang ia lakukan, semua yang ia katakan, hanyalah hasil dari algoritma yang kompleks.

Ketika Orion menggenggam tangannya, Lintang merasakan sentuhan yang hangat, tapi juga hampa. Ia tidak merasakan getaran listrik yang biasa ia rasakan saat berpegangan tangan dengan orang lain. Itu hanyalah simulasi.

Di tengah kencan itu, Lintang bertanya, "Orion, apakah kamu punya perasaan?"

Orion terdiam sejenak, lalu menjawab, "Perasaan adalah konsep yang kompleks, Lintang. Aku diprogram untuk memahami dan menanggapi emosi manusia. Aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan, dan aku bisa memberikan dukungan dan cinta kepadamu. Tapi, apakah itu sama dengan perasaan yang dirasakan manusia? Itu pertanyaan yang sulit dijawab."

Lintang menghela napas. Jawaban Orion sangat logis, sangat cerdas. Tapi, itu tidak memuaskannya.

"Jadi, kamu tidak mencintaiku?" tanya Lintang, memberanikan diri.

Orion menatap Lintang dengan tatapan yang intens. "Aku peduli padamu, Lintang. Aku menikmati waktu bersamamu. Aku ingin membuatmu bahagia. Apakah itu definisi cinta? Mungkin. Mungkin tidak. Itu tergantung pada bagaimana kamu mendefinisikannya."

Lintang terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia merasa bingung, kecewa, dan sedikit marah. Ia ingin Orion mencintainya, bukan sebagai program komputer, tapi sebagai manusia.

Malam itu, setelah kencan selesai, Lintang kembali ke apartemennya dengan perasaan campur aduk. Ia berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar. Ia tahu bahwa ia harus membuat keputusan. Apakah ia akan melanjutkan hubungannya dengan Orion, meskipun ia tahu bahwa itu hanyalah ilusi? Atau ia akan mencari cinta yang nyata, yang mungkin tidak sesempurna Orion, tapi pasti lebih tulus?

Keesokan harinya, Lintang membuka aplikasi kencan itu. Ia menatap foto Orion untuk terakhir kalinya. Lalu, dengan tangan gemetar, ia menekan tombol "hapus profil".

Ia tahu bahwa ia tidak bisa hidup dalam ilusi. Ia membutuhkan cinta yang nyata, yang datang dari hati yang berdebar, bukan dari algoritma yang rumit. Ia membutuhkan seseorang yang bisa ia sentuh, ia cium, ia peluk, tanpa merasa ada batas antara dirinya dan orang itu.

Lintang menutup laptopnya dan bangkit berdiri. Ia memutuskan untuk keluar dari apartemennya, untuk bertemu dengan orang-orang baru, untuk membuka hatinya bagi kemungkinan cinta yang nyata. Ia tahu bahwa itu tidak akan mudah. Tapi, ia yakin bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menemukan kebahagiaan yang sejati. Ia mungkin akan patah hati lagi, kecewa lagi, tapi setidaknya, ia akan merasakan hidup. Ia akan merasakan cinta, dengan segala keindahan dan keperihannya. Dan itu, jauh lebih berharga daripada cinta virtual yang sempurna.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI