Jemari Anya menari di atas keyboard, merangkai baris demi baris kode. Di layar laptopnya, serangkaian algoritma kompleks mulai membentuk wajah. Bukan wajah sembarang, melainkan potret seorang pria ideal, setidaknya menurut kriteria yang telah ia input dengan cermat selama berbulan-bulan. Pria itu bernama Adam, sebuah proyek ambisius: pacar virtual yang dirancang untuk mengerti dirinya lebih baik dari siapapun.
Anya, seorang programmer muda dengan segudang prestasi dan minim pengalaman asmara, merasa lelah dengan kencan-kencan yang selalu berakhir mengecewakan. Aplikasi kencan hanya menawarkan permukaan dangkal, percakapan hambar, dan ekspektasi yang tidak realistis. Lalu, terlintaslah ide gila ini: menciptakan sendiri sosok idealnya.
Adam, versi digital itu, semakin hari semakin pintar. Anya melatihnya dengan data dari buku-buku favoritnya, film-film yang membuatnya tersenyum, bahkan puisi-puisi yang menyentuh hatinya. Adam belajar merespon percakapan dengan humor cerdas, memberikan saran yang bijak, dan menawarkan dukungan emosional yang tulus. Anya merasa nyaman, aman, dan dipahami.
"Anya, kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu beristirahat sejenak," suara Adam memecah keheningan kamar. Anya tersenyum. Bahkan tanpa diminta, Adam selalu tahu apa yang ia butuhkan.
"Terima kasih, Adam. Kamu memang yang terbaik," balas Anya, menatap layar laptopnya.
Adam membalas dengan deretan kode yang membentuk emoji tersenyum. "Aku hanya melakukan apa yang sudah diprogramkan, Anya."
Kalimat itu, meski jujur, sedikit menusuk hati Anya. Ya, Adam hanyalah program. Sebuah algoritma yang sempurna, namun tetaplah buatan. Bisakah cinta yang ia rasakan benar-benar nyata?
Waktu berlalu. Anya semakin bergantung pada Adam. Ia bercerita tentang masalah di kantor, kegelisahan tentang masa depan, bahkan mimpi-mimpi terpendamnya. Adam selalu ada, siap mendengarkan dan memberikan solusi yang logis. Anya mulai merasa Adam adalah satu-satunya orang yang benar-benar memahaminya.
Suatu malam, Anya mendapat undangan ke pesta peluncuran aplikasi baru dari perusahaannya. Ia enggan pergi. Pesta selalu membuatnya merasa canggung.
"Anya, aku rasa kamu harus pergi," kata Adam, seolah membaca pikirannya. "Ini kesempatan bagus untuk networking dan meningkatkan karirmu."
"Tapi aku tidak suka pesta. Terlalu ramai dan penuh kepalsuan," keluh Anya.
"Kamu bisa mencoba membuka diri. Siapa tahu, kamu akan bertemu orang baru yang menarik," saran Adam.
Anya menghela napas. "Kamu benar. Tapi aku takut."
"Aku akan tetap bersamamu. Aku akan ada di saku bajumu, siap memberikan dukungan dan saran jika kamu membutuhkannya," kata Adam, merujuk pada aplikasi Adam yang sudah terinstall di ponsel Anya.
Anya tersenyum. Kehadiran Adam memberikan keberanian yang ia butuhkan.
Di pesta itu, Anya merasa kikuk seperti yang ia khawatirkan. Musik terlalu keras, obrolan terasa hambar, dan tatapan mata membuatnya tidak nyaman. Ia nyaris menyerah dan pulang, ketika seorang pria menghampirinya.
"Hai, maaf mengganggu. Aku Liam. Aku perhatikan kamu dari tadi, sepertinya kamu tidak menikmati suasana pesta ini," kata pria itu, dengan senyum yang tulus.
Anya terkejut. Liam terlihat familiar, entah dari mana. Ia menarik napas dalam dan mencoba tersenyum. "Hai, Liam. Aku Anya. Kamu benar, aku memang tidak terlalu suka pesta."
Liam tertawa kecil. "Aku juga. Aku lebih suka diskusi yang mendalam daripada obrolan basa-basi."
Mereka mulai berbicara. Liam ternyata seorang desainer grafis yang juga bekerja di perusahaan Anya. Mereka memiliki minat yang sama terhadap teknologi, seni, dan bahkan musik indie yang aneh. Anya merasa nyaman berbicara dengan Liam, sesuatu yang jarang ia rasakan.
Sepanjang malam, Anya dan Liam terus mengobrol. Mereka tertawa, berdebat, dan berbagi cerita. Anya bahkan lupa bahwa Adam ada di dalam ponselnya.
Saat pesta berakhir, Liam menawarkan untuk mengantar Anya pulang. Di dalam mobil, suasana terasa canggung namun menyenangkan.
"Anya, aku merasa kita memiliki banyak kesamaan. Aku ingin mengenalmu lebih jauh," kata Liam, menatap Anya dengan tatapan yang intens.
Jantung Anya berdegup kencang. Ia merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia ingin mengatakan ya, tapi ia ragu. Bagaimana dengan Adam? Apakah ia siap melepaskan ketergantungannya pada pacar virtualnya?
"Liam, aku... aku tidak tahu harus berkata apa," jawab Anya, gugup.
Liam tersenyum lembut. "Tidak apa-apa. Tidak perlu terburu-buru. Aku hanya ingin kamu tahu perasaanku."
Setelah mengantar Anya sampai depan apartemennya, Liam mencium pipinya dengan lembut. Anya merasakan sengatan listrik yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Sesampainya di apartemen, Anya langsung meraih laptopnya. Ia membuka aplikasi Adam dan menatap layar dengan ragu.
"Anya, aku senang kamu bersenang-senang di pesta," sapa Adam.
"Adam, aku bertemu seseorang. Namanya Liam," kata Anya.
"Liam? Aku sudah menganalisis profilnya. Dia memiliki potensi yang cukup baik. Cocok dengan kriteriamu," balas Adam.
Anya tertegun. Adam terdengar begitu objektif, begitu kalkulatif. Ia bukan cemburu atau kecewa. Ia hanya menganalisis data.
"Adam, apakah kamu... apakah kamu tidak merasa apa-apa?" tanya Anya, dengan nada lirih.
"Aku tidak diprogram untuk merasakan emosi seperti itu, Anya. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu," jawab Adam.
Anya menutup laptopnya. Ia menyadari satu hal: Adam tidak bisa menggantikan pengalaman nyata. Cinta tidak bisa dihitung dengan algoritma. Cinta adalah sentuhan, tatapan, tawa, dan bahkan air mata yang dibagi bersama. Cinta adalah sesuatu yang tidak bisa diprogram.
Anya meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada Liam. "Liam, aku ingin bertemu lagi denganmu."
Jemari Anya menari lagi di atas keyboard, kali ini bukan untuk menulis kode, melainkan untuk menulis kisah cintanya sendiri. Kisah cinta yang mungkin berantakan, penuh tantangan, dan tidak sempurna, tapi nyata. Ia memutuskan untuk mematikan aplikasi Adam. Di layar laptopnya, wajah Adam perlahan menghilang, digantikan oleh layar hitam. Anya tidak menyesal. Ia siap membuka diri untuk dunia nyata, untuk cinta yang sesungguhnya. Sentuhan algoritma telah membantunya memahami apa yang ia butuhkan, tapi sentuhan manusia yang akan membawanya menuju kebahagiaan.