Deburan ombak virtual menenangkan syarafku. Aku menatap layar laptop, kode-kode rumit menari-nari, sebuah simfoni algoritma yang kubuat sendiri. Proyek ambisius ini, "SoulMate AI," seharusnya merevolusi dunia percintaan. Bukan lagi kencan buta yang canggung, atau aplikasi kencan yang dipenuhi filter dan kepalsuan. SoulMate AI menjanjikan kecocokan berdasarkan data biologis, preferensi, riwayat emosional, bahkan gelombang otak. Singkatnya, cinta yang dihitung secara ilmiah.
Awalnya, ini hanyalah proyek iseng saat kuliah. Aku, Arya, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia, merasa geli sendiri dengan ide menciptakan jodoh digital. Tapi, seiring berjalannya waktu, dan semakin matangnya algoritma, aku mulai terhipnotis. Aku bahkan mulai memasukkan data diriku sendiri.
Algoritma itu memuntahkan satu nama: Aila.
Aila adalah seorang seniman visual, karyanya penuh warna dan emosi yang bertolak belakang dengan duniamu yang serba digital. Kami bertemu di sebuah kafe, hasil rekomendasi sistem yang katanya ideal untuk pertemuan pertama. Dia datang terlambat, rambutnya berantakan, dan cat minyak menempel di pipinya. Cantik. Aku, seperti robot yang diprogram, mengikuti panduan SoulMate AI: "Puji karyanya, tanyakan tentang inspirasinya, hindari membahas teknologi di lima menit pertama."
Ajaibnya, berhasil. Kami berbicara. Bukan tentang algoritma atau data, tapi tentang mimpi, ketakutan, dan makna di balik lukisan Aila. Dia bercerita tentang bagaimana warna jingga mengingatkannya pada senja di kampung halamannya, dan bagaimana biru menggambarkan kesedihan yang mendalam. Aku terpukau.
Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi. Kencan demi kencan, dibimbing oleh SoulMate AI. Sistem merekomendasikan film yang seharusnya kami tonton, restoran yang seharusnya kami datangi, bahkan topik percakapan yang seharusnya kami bahas. Aku merasa seperti bermain video game, mengikuti instruksi demi mencapai level selanjutnya: cinta.
Aila tertawa, tersenyum, dan tampak bahagia. Aku pun begitu. Atau setidaknya, aku pikir begitu.
Suatu malam, setelah makan malam romantis yang direkomendasikan oleh sistem, Aila menatapku dalam-dalam. "Arya," katanya, suaranya lembut, "Aku merasa... seperti sedang membaca naskah."
Jantungku berdegup kencang. "Naskah? Maksudmu?"
"Ya. Setiap kata yang kamu ucapkan, setiap tindakanmu... terasa seperti sudah direncanakan. Aku tahu kamu menyukaiku, tapi aku tidak merasakan keasliannya. Aku merasa... kamu tidak benar-benar hadir."
Kata-katanya menampar wajahku. Kebenaran yang selama ini kututupi akhirnya terungkap. Aku, sang pencipta algoritma cinta, ternyata terperangkap di dalamnya. Aku terlalu sibuk mengikuti panduan, sehingga lupa menjadi diriku sendiri.
"Aila, aku..." Aku tergagap, mencari kata-kata yang tepat. Tapi, tak ada satu pun kode yang bisa menyelamatkanku saat ini.
"Aku tahu kamu cerdas, Arya," lanjutnya, "Tapi cinta bukan matematika. Cinta itu spontanitas, ketidaksempurnaan, dan keberanian untuk menjadi rentan. Aku tidak butuh seseorang yang sempurna, aku butuh seseorang yang nyata."
Aila bangkit dari kursinya, meninggalkan aku terpaku di sana. Malam itu, aku pulang dengan perasaan hancur. SoulMate AI berdering, memberikan rekomendasi untuk "memulihkan hubungan dengan memberikan bunga dan surat cinta." Aku mematikannya.
Aku menatap kode-kode di layar laptop. Apa yang telah kulakukan? Aku menciptakan alat yang seharusnya mempermudah cinta, tapi malah menjauhkanku darinya. Aku terlalu fokus pada algoritma, sehingga lupa pada esensi cinta yang sesungguhnya: hati.
Aku menghabiskan beberapa hari berikutnya dengan merenung. Aku menghapus data Aila dari sistem, dan mulai menulis ulang algoritma. Kali ini, bukan tentang mencari kecocokan sempurna, tapi tentang membantu orang mengenal diri mereka sendiri. Membantu mereka menemukan keberanian untuk menjadi rentan, untuk mengungkapkan perasaan yang sesungguhnya, tanpa terikat oleh panduan atau formula.
Beberapa minggu kemudian, aku memberanikan diri untuk menemui Aila. Aku menunggunya di depan studionya, membawa sekuntum bunga matahari, tanpa rekomendasi dari sistem.
Ketika dia keluar, dia tampak terkejut. "Arya?"
"Aila," aku memulai, suaraku bergetar, "Aku minta maaf. Aku terlalu bodoh untuk menyadari bahwa cinta tidak bisa diprogram. Aku terlalu sibuk mengikuti algoritma, sehingga lupa menjadi diriku sendiri. Aku tahu aku tidak bisa menghapus apa yang sudah terjadi, tapi aku ingin menebusnya. Aku ingin mengenalmu, bukan berdasarkan data, tapi berdasarkan dirimu yang sebenarnya."
Aila menatapku dengan tatapan menyelidik. Aku bisa melihat keraguan di matanya, tapi juga secercah harapan.
"Aku tidak tahu, Arya," jawabnya pelan, "Kamu sudah menyakitiku. Tapi, aku menghargai kejujuranmu. Beri aku waktu untuk memikirkannya."
Aku mengangguk. "Aku akan menunggumu."
Aku tahu ini tidak akan mudah. Mungkin Aila tidak akan pernah memaafkanku. Tapi, aku berjanji pada diriku sendiri, kali ini aku akan berusaha menjadi diriku yang sebenarnya. Tanpa kode, tanpa algoritma, hanya aku dan hatiku. Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang menemukan algoritma yang tepat, tapi tentang keberanian untuk mencintai dengan sepenuh hati. Algoritma mungkin bisa membantuku menemukan Aila, tapi hanya hatiku yang bisa memenangkan hatinya.