Jari-jariku menari di atas keyboard, menyelesaikan baris terakhir kode. Layar laptop memantulkan cahaya redup ke wajahku yang lelah. "Selesai!" gumamku, meregangkan otot-otot yang terasa kaku. "Proyek 'Cinta Berbasis Data' siap diluncurkan."
Proyek ini bukan sekadar aplikasi kencan biasa. Aku, seorang programmer yang lebih akrab dengan algoritma daripada interaksi sosial, menciptakan sebuah sistem yang konon mampu menemukan pasangan paling kompatibel berdasarkan data perilaku, preferensi, dan bahkan gelombang otak. Idenya sederhana: cinta, seperti segala sesuatu di dunia ini, dapat diukur dan dianalisis.
Beberapa teman mencibir. "Kamu gila, Reyhan! Cinta itu buta, tidak bisa dihitung!" kata Lisa, teman sekantorku yang selalu mengandalkan insting dalam urusan hati. Tapi aku yakin, dengan data yang cukup, aku bisa membuktikan sebaliknya.
Aplikasi itu kuberi nama "Algoritma Cinta". Selama beberapa bulan terakhir, aku menghabiskan waktu untuk menyempurnakan algoritma, memasukkan data dari berbagai sumber, mulai dari survei psikologi hingga kebiasaan belanja online. Aku bahkan bekerja sama dengan seorang ahli saraf untuk menganalisis gelombang otak dan mencari pola ketertarikan.
Setelah melalui berbagai uji coba, Algoritma Cinta siap diluncurkan. Aku sendiri yang akan menjadi pengguna pertamanya. Ini adalah tes terakhir, ujian terberat. Jika algoritma ini berhasil menemukan pasangan yang tepat untukku, maka aku akan tahu bahwa teoriku benar.
Aku mengisi profil dengan jujur, bahkan lebih jujur dari biasanya. Aku menulis tentang kecintaanku pada coding, kekuranganku dalam bersosialisasi, dan kerinduanku akan seseorang yang bisa memahami duniaku yang kompleks. Kemudian, aku menyerahkan kendali pada Algoritma Cinta.
Prosesnya memakan waktu hampir seminggu. Setiap hari, aku memeriksa aplikasi, menunggu hasilnya. Kegelisahan mencengkeramku. Aku takut algoritma ini akan gagal, atau lebih buruk lagi, menemukan seseorang yang tidak sesuai dengan harapanku.
Akhirnya, notifikasi muncul di layar ponselku. "Kandidat Pasangan Ideal Ditemukan!" jantungku berdegup kencang. Aku membuka aplikasi dengan tangan gemetar.
Di layar, muncul foto seorang wanita. Namanya Anya. Deskripsi profilnya singkat, padat, dan entah kenapa, membuatku tertarik. Anya adalah seorang arsitek, menyukai musik klasik, dan memiliki minat yang sama denganku dalam sains fiksi. Persentase kecocokan kami: 98,7%.
Terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, pikirku. Apakah Algoritma Cinta benar-benar berhasil? Apakah mungkin menemukan seseorang yang begitu sempurna hanya berdasarkan data?
Aku memberanikan diri untuk mengirim Anya pesan. Kami mulai berbicara, pertama melalui teks, kemudian melalui panggilan video. Semakin aku mengenalnya, semakin aku terpesona. Anya cerdas, lucu, dan memiliki pemikiran yang mendalam tentang banyak hal. Kami berdua merasa nyaman satu sama lain, seolah sudah saling kenal sejak lama.
Setelah beberapa minggu, aku memutuskan untuk mengajaknya bertemu langsung. Kami bertemu di sebuah kafe kecil yang nyaman. Begitu melihatnya, aku tahu Algoritma Cinta tidak berbohong. Anya bahkan lebih cantik dari fotonya.
Malam itu, kami berbicara selama berjam-jam. Kami membahas pekerjaan, impian, dan ketakutan kami. Kami tertawa, berbagi cerita, dan saling mendengarkan. Aku merasa seperti menemukan seseorang yang selama ini kucari.
Hubungan kami berkembang dengan cepat. Kami menghabiskan waktu bersama setiap hari, menjelajahi kota, menonton film, dan hanya menikmati kebersamaan satu sama lain. Aku merasa bahagia, lebih bahagia dari yang pernah kubayangkan.
Namun, di tengah kebahagiaanku, muncul keraguan. Apakah cinta kami ini nyata, atau hanya hasil perhitungan algoritma? Apakah aku benar-benar mencintai Anya, atau hanya mencintai profil yang diciptakan oleh data?
Pertanyaan-pertanyaan ini terus menghantuiku. Aku mulai mengamati Anya lebih dekat, mencari celah, mencari bukti bahwa hubungan kami ini palsu. Aku bahkan mencoba memanipulasi Algoritma Cinta, mengubah beberapa data di profilku untuk melihat apakah akan memengaruhi persentase kecocokan kami.
Anya menyadari perubahan sikapku. Dia bertanya apa yang salah. Aku mencoba menghindar, tapi dia terus mendesak. Akhirnya, aku mengaku. Aku menceritakan tentang Algoritma Cinta, tentang keraguanku, dan tentang ketakutanku bahwa cinta kami ini tidak nyata.
Anya mendengarkan dengan sabar. Ketika aku selesai berbicara, dia meraih tanganku dan menatapku dengan mata yang penuh kasih.
"Reyhan," katanya lembut, "aku tahu kamu adalah seorang programmer, dan kamu percaya pada data. Tapi cinta itu lebih dari sekadar angka dan algoritma. Cinta itu tentang koneksi, tentang kepercayaan, tentang saling menerima apa adanya."
Dia melanjutkan, "Aku tahu kamu menciptakan Algoritma Cinta untuk menemukan seseorang yang cocok denganmu. Tapi kamu tidak bisa mengontrol bagaimana perasaanmu. Kamu memilih untuk bersamaku, bukan karena algoritma, tapi karena kamu ingin. Dan aku, memilihmu karena aku melihat hatimu, bukan profilmu."
Kata-katanya menyentuh hatiku. Aku sadar, aku telah terlalu terpaku pada data, sehingga melupakan esensi cinta yang sebenarnya. Cinta memang bisa diukur dan dianalisis, tapi tidak bisa diprediksi atau dipaksakan. Cinta adalah misteri, sebuah keajaiban yang tidak bisa dijelaskan dengan logika.
Aku memeluk Anya erat-erat. "Maafkan aku," bisikku. "Aku bodoh."
Anya tersenyum. "Tidak apa-apa," katanya. "Yang penting, kamu sudah tahu yang sebenarnya."
Sejak saat itu, aku berhenti meragukan cinta kami. Aku belajar untuk percaya pada perasaanku, untuk menghargai kebersamaan kami, dan untuk menikmati setiap momen bersamanya. Aku tetap seorang programmer, dan aku tetap percaya pada kekuatan data. Tapi aku juga belajar bahwa cinta adalah sesuatu yang istimewa, sesuatu yang tidak bisa digantikan oleh algoritma apa pun.
Algoritma Cinta memang membawaku kepada Anya, tetapi yang membuat kami tetap bersama adalah cinta itu sendiri. Dan ya, mungkin algoritma bisa saja berbohong, tapi hati tidak pernah.