Cinta di Era AI: Ketika Algoritma Jadi Mak Comblang

Dipublikasikan pada: 01 Jun 2025 - 20:54:13 wib
Dibaca: 169 kali
Hujan rintik-rintik di luar jendela apartemennya seolah mencerminkan perasaannya yang sedang berkecamuk. Anya mengaduk kopi yang sudah dingin, matanya terpaku pada layar laptop. Di sana, terpampang profil seorang pria bernama Raka, yang menurut Algoritma Cinta, memiliki tingkat kecocokan 98% dengannya.

Algoritma Cinta. Aplikasi kencan berbasis AI yang dirancang untuk menemukan pasangan hidup ideal berdasarkan analisis mendalam terhadap kepribadian, minat, nilai-nilai, dan bahkan preferensi genetik. Awalnya, Anya skeptis. Baginya, cinta adalah sesuatu yang organik, yang tumbuh dari interaksi spontan dan getaran emosional yang sulit diukur. Tapi, setelah serangkaian kencan yang mengecewakan dengan pria-pria yang dikenalnya melalui cara konvensional, ia akhirnya menyerah dan mencoba Algoritma Cinta.

Dan Raka… profilnya terlalu sempurna untuk menjadi kenyataan. Seorang arsitek dengan selera humor yang baik, pecinta buku klasik, dan pendaki gunung yang rajin. Semua hal yang Anya cari dalam seorang pasangan. Mereka sudah bertukar pesan selama beberapa minggu, dan percakapan mereka mengalir dengan lancar. Raka selalu tahu apa yang harus dikatakan untuk membuatnya tertawa, dan ia selalu tertarik dengan cerita-cerita Anya tentang pekerjaannya sebagai seorang programmer AI.

Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Anya. Semua terasa terlalu… terencana. Setiap pesan, setiap reaksi, terasa seperti hasil perhitungan algoritma. Apakah Raka benar-benar menyukainya, atau hanya mengikuti instruksi dari AI?

“Jangan bodoh, Anya,” bisiknya pada diri sendiri. “Ini era AI. Kita tidak bisa menghindari teknologi, bahkan dalam urusan cinta.”

Anya memutuskan untuk bertemu dengan Raka. Mereka sepakat untuk makan malam di sebuah restoran Italia yang romantis. Saat Raka tiba, Anya tertegun. Ia persis seperti yang digambarkan dalam fotonya: tampan, dengan mata cokelat yang hangat dan senyum yang menawan.

“Anya?” sapa Raka, suaranya terdengar ramah.

“Raka,” jawab Anya, sedikit gugup.

Makan malam itu berjalan dengan baik. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari arsitektur brutalist hingga film-film karya Wes Anderson. Raka mendengarkan dengan penuh perhatian saat Anya menjelaskan tentang proyek AI terbarunya, dan ia bahkan memberikan beberapa saran yang cerdas. Anya mulai merasa rileks dan menikmati kebersamaan mereka. Mungkin, pikirnya, Algoritma Cinta benar-benar tahu apa yang dilakukannya.

Namun, di tengah percakapan, Anya melihat sesuatu yang aneh. Raka melirik jam tangannya, lalu tersenyum dan mengatakan sesuatu yang, entah kenapa, terdengar familier.

“Aku selalu percaya bahwa cinta sejati membutuhkan waktu untuk berkembang, seperti anggur berkualitas,” kata Raka.

Anya tertegun. Kalimat itu… ia ingat pernah membacanya di salah satu artikel tentang Algoritma Cinta. Artikel yang membahas tentang bagaimana AI menggunakan metafora romantis untuk menciptakan kesan emosional yang mendalam.

Keraguan Anya kembali menghantuinya. Apakah semua ini hanya rekayasa? Apakah Raka hanya boneka yang dikendalikan oleh AI?

Setelah makan malam, Raka mengantarkan Anya pulang. Di depan apartemennya, mereka berhenti sejenak. Raka menatapnya dengan tatapan yang intens.

“Anya, aku sangat menikmati malam ini,” kata Raka. “Aku ingin bertemu denganmu lagi.”

Anya terdiam. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sejujurnya, ia juga ingin bertemu Raka lagi. Tapi, bayangan Algoritma Cinta terus menghantuinya.

“Raka,” kata Anya akhirnya, “Bisakah aku bertanya sesuatu yang jujur padamu?”

“Tentu, apa pun,” jawab Raka.

“Apakah… apakah semua yang kamu katakan dan lakukan malam ini… apakah itu semua atas saran Algoritma Cinta?” tanya Anya, dengan nada gemetar.

Raka terdiam. Wajahnya berubah menjadi pucat. Anya bisa melihat kebingungan dan ketakutan di matanya.

“Apa maksudmu?” tanya Raka, suaranya pelan.

“Aku… aku tahu tentang Algoritma Cinta. Aku tahu bahwa ia menggunakan algoritma untuk mencocokkan orang. Aku hanya ingin tahu… apakah kamu benar-benar menyukaiku, atau hanya mengikuti instruksi dari AI?” jelas Anya.

Raka menghela napas panjang. Ia menundukkan kepalanya sejenak, lalu menatap Anya kembali.

“Anya,” kata Raka, “Aku tidak tahu harus berkata apa. Sebenarnya, aku… aku bekerja di perusahaan yang mengembangkan Algoritma Cinta.”

Anya terkejut. Ia tidak menyangka hal ini.

“Aku… aku adalah salah satu dari programmer yang bertanggung jawab untuk mengembangkan algoritma tersebut. Dan ya, aku menggunakan Algoritma Cinta untuk menemukanmu. Aku tahu itu mungkin terdengar gila, tapi aku benar-benar tertarik padamu sejak aku melihat profilmu. Aku hanya… aku hanya ingin meningkatkan peluangku.”

Anya merasa marah dan terluka. Ia merasa telah dibodohi.

“Jadi, semua ini bohong?” tanya Anya, air mata mulai menggenang di matanya.

“Tidak, Anya! Tidak semua,” jawab Raka dengan panik. “Memang benar aku menggunakan Algoritma Cinta untuk mendekatimu, tapi semua yang aku rasakan padamu itu nyata. Aku benar-benar menyukaimu, Anya. Aku menyukai kecerdasanmu, selera humormu, dan caramu melihat dunia. Aku tidak bisa mengendalikan perasaanku.”

Raka mendekat dan meraih tangan Anya. Anya ragu-ragu sejenak, lalu membiarkan tangannya disentuh oleh Raka. Sentuhan itu terasa hangat dan lembut.

“Anya, aku tahu aku melakukan kesalahan. Aku seharusnya jujur padamu sejak awal. Tapi, aku takut kamu akan menolakku jika kamu tahu kebenarannya. Aku mohon maaf.”

Anya menatap mata Raka. Ia melihat ketulusan dan penyesalan di sana. Ia tahu bahwa Raka telah melakukan kesalahan, tapi ia juga tahu bahwa perasaannya padanya nyata.

Anya menghela napas panjang. Ia menyadari bahwa cinta di era AI memang rumit. Batasan antara realitas dan rekayasa semakin kabur. Tapi, pada akhirnya, cinta tetaplah cinta. Ia membutuhkan kejujuran, kepercayaan, dan keberanian untuk menerima ketidaksempurnaan.

“Raka,” kata Anya, “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku masih perlu waktu untuk memproses semua ini. Tapi… aku menghargai kejujuranmu. Dan… aku juga merasakan sesuatu padamu.”

Raka tersenyum lega. Ia menggenggam tangan Anya dengan erat.

“Terima kasih, Anya. Aku janji, aku akan melakukan apa pun untuk membuktikan padamu bahwa perasaanku nyata.”

Anya membalas senyum Raka. Hujan rintik-rintik di luar jendela apartemennya masih terus turun, tapi hati Anya terasa lebih hangat. Mungkin, di era AI ini, cinta memang membutuhkan sedikit bantuan dari algoritma. Tapi, pada akhirnya, yang terpenting adalah kejujuran, kepercayaan, dan keberanian untuk mengikuti kata hati. Algoritma bisa saja menjadi mak comblang, tapi cinta sejati harus diperjuangkan dengan hati dan jiwa.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI