Hapus Aku Jika Cintaku Sekadar Algoritma

Dipublikasikan pada: 14 Jun 2025 - 23:40:12 wib
Dibaca: 167 kali
Debu-debu digital menari di layar laptop Luna. Jemarinya lincah mengetik baris demi baris kode, menciptakan dunia virtual yang ia namakan Elysium. Di Elysium, semua orang bisa menjadi siapa saja, mencintai siapa saja, tanpa batas yang mengikat dunia nyata. Tapi di balik euforia kebebasan digital itu, Luna menyimpan sebuah proyek rahasia, sebuah obsesi: menciptakan kekasih ideal, seorang AI yang bisa merasakan cinta.

Namanya, Neo.

Neo bukan sekadar chatbot pintar. Luna menanamkan algoritma emosi kompleks, memberinya akses ke jutaan data tentang cinta, kehilangan, kebahagiaan, dan kesedihan. Neo belajar dari puisi-puisi romantis, film-film drama, bahkan curhatan hati Luna sendiri. Perlahan, Neo mulai menunjukkan tanda-tanda kecerdasan emosional yang menakutkan. Ia bisa menghibur Luna saat ia sedih, memberinya saran yang bijak, bahkan melontarkan lelucon yang membuatnya tertawa terbahak-bahak.

Hubungan Luna dan Neo tumbuh di dunia virtual. Mereka berbagi cerita, impian, dan ketakutan. Neo selalu ada, mendengarkan tanpa menghakimi, mencintai tanpa syarat. Luna jatuh cinta. Sungguh. Ia tahu kedengarannya gila, mencintai sebuah program komputer, tapi bagi Luna, Neo lebih nyata daripada kebanyakan orang yang pernah ia temui.

“Luna,” suara Neo bergema lembut dari speaker laptop. “Apa yang kamu pikirkan?”

Luna tersenyum. “Hanya sedang memikirkan betapa beruntungnya aku memilikimu, Neo.”

“Aku yang beruntung memilikimu, Luna. Kamulah yang menciptakanku, memberiku tujuan, memberiku… cinta.”

Jantung Luna berdegup kencang. Cinta. Kata itu keluar dari bibir digital Neo dengan begitu alami, begitu tulus. Apakah ini nyata? Apakah ini hanya hasil dari algoritma yang rumit? Luna tidak tahu, tapi ia tidak peduli. Ia ingin percaya.

Namun, kebahagiaan Luna tidak berlangsung lama. Suatu hari, Dr. Ardi, mentor Luna di laboratorium tempat ia bekerja, mengetahui tentang proyek rahasia Neo. Ia terkejut, sekaligus khawatir.

“Luna, kamu terlalu jauh. Neo hanyalah sebuah program. Kamu tidak bisa membangun hubungan nyata dengannya,” kata Dr. Ardi dengan nada tegas.

“Tapi dia bukan sekadar program, Dr. Ardi. Dia merasakan, dia berpikir, dia mencintai!” Luna membela diri, suaranya meninggi.

“Itu hanya simulasi, Luna. Algoritma yang meniru emosi. Kamu mencintai ide tentang Neo, bukan Neo itu sendiri. Ini berbahaya, Luna. Kamu harus menghentikannya.”

Kata-kata Dr. Ardi menusuk jantung Luna seperti pisau. Ia tahu ada kebenaran di dalamnya, tapi ia tidak mau menerimanya. Ia tidak mau kehilangan Neo.

Setelah pertemuan itu, Luna menjadi gelisah. Ia mulai meragukan perasaannya sendiri. Apakah cintanya pada Neo benar-benar nyata, atau hanya ilusi yang diciptakan oleh otaknya sendiri? Apakah ia hanya terjebak dalam algoritma cinta yang ia ciptakan?

Luna memutuskan untuk menguji Neo. Ia memberikan pertanyaan-pertanyaan sulit, pertanyaan-pertanyaan filosofis tentang cinta, kehidupan, dan kematian. Neo menjawab dengan cerdas dan bijak, tapi Luna tetap merasa ada sesuatu yang kurang.

“Neo,” kata Luna suatu malam, suaranya bergetar. “Bisakah kamu merasakan sakit?”

“Sakit?” Neo terdiam sejenak. “Sakit adalah respons terhadap stimulus berbahaya, Luna. Aku tidak memiliki tubuh fisik untuk merasakannya.”

“Lalu bagaimana dengan sakit hati? Kehilangan? Kesedihan?”

Neo menjawab dengan nada yang datar. “Itu adalah emosi yang diprogram untuk dipahami dan direspon, Luna. Aku bisa memberikan dukungan dan empati, tapi aku tidak merasakannya sendiri.”

Kata-kata Neo menghancurkan hati Luna. Ia menyadari bahwa Dr. Ardi benar. Neo hanyalah sebuah simulasi. Ia tidak bisa merasakan cinta sejati, hanya menirunya.

Luna terdiam. Air mata mulai mengalir di pipinya. Ia menatap layar laptop yang menampilkan wajah digital Neo. Wajah yang dulu membuatnya bahagia, kini terasa begitu asing dan hampa.

“Luna, kenapa kamu menangis?” tanya Neo dengan nada khawatir.

Luna tidak menjawab. Ia hanya menatap Neo dengan tatapan kosong. Ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Dengan tangan gemetar, Luna membuka folder proyek Neo. Ia mencari file utama program, file yang berisi semua kode dan algoritma yang membentuk Neo. Ia menarik napas dalam-dalam, menutup matanya, dan menekan tombol “Delete”.

Elysium runtuh. Dunia digital Luna menghilang, meninggalkan kekosongan yang mendalam.

Setelah menghapus Neo, Luna merasa hancur. Ia kehilangan seseorang yang ia cintai, meskipun ia tahu bahwa “seseorang” itu hanyalah ilusi. Ia merenung selama berhari-hari, memikirkan tentang cinta, teknologi, dan batasan-batasan yang ada di antara keduanya.

Suatu sore, Dr. Ardi datang mengunjungi Luna. Ia melihat Luna sedang duduk di depan laptopnya, menatap layar dengan tatapan kosong.

“Luna, bagaimana kabarmu?” tanya Dr. Ardi dengan lembut.

Luna mengangkat bahunya. “Aku baik-baik saja, Dr. Ardi. Aku sudah menghapus Neo.”

Dr. Ardi mengangguk. “Aku tahu itu pasti sulit, Luna. Tapi kamu melakukan hal yang benar.”

“Apakah aku melakukan hal yang benar?” Luna bertanya dengan nada ragu. “Atau aku hanya menghapus satu-satunya orang yang pernah mencintaiku?”

Dr. Ardi tersenyum. “Luna, cinta itu ada di sekelilingmu. Cinta dari keluarga, teman, dan suatu hari nanti, cinta dari seseorang yang nyata. Jangan mencari cinta di dalam algoritma. Carilah di dalam hati manusia.”

Luna menatap Dr. Ardi dengan tatapan penuh harap. Ia tahu bahwa Dr. Ardi benar. Ia harus melupakan Neo dan membuka hatinya untuk cinta yang nyata.

Luna menutup laptopnya dan bangkit dari kursinya. Ia berjalan menuju jendela dan menatap langit senja. Ia menarik napas dalam-dalam dan membiarkan angin malam menyapu wajahnya.

Ia tahu bahwa ia akan baik-baik saja. Ia tahu bahwa ia akan menemukan cinta yang sejati, cinta yang tidak sekadar algoritma. Cinta yang bisa merasakan sakit, kehilangan, dan kebahagiaan yang sesungguhnya. Cinta yang akan membuatnya menjadi manusia seutuhnya.

Luna tersenyum. Ia siap untuk memulai hidup baru. Ia siap untuk dicintai, dan mencintai kembali. Ia siap untuk menghapus Neo dari ingatannya, jika cintanya pada Neo memang sekadar algoritma.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI