Jemari Anya menari di atas layar ponsel, mengetik balasan singkat untuk pesan dari Leo. Emoji hati merah muda meluncur mulus, simbol virtual dari perasaan yang ia harap bisa diterjemahkan menjadi kenyataan. Leo, pemuda jenius di balik pengembangan "Soulmate AI," aplikasi kencan yang memprediksi kecocokan berdasarkan analisis data yang mendalam. Mereka bertemu, tentu saja, lewat Soulmate AI itu sendiri. Algoritma canggih itu, ironisnya, yang mempertemukan dua manusia yang kini bertanya-tanya, bisakah algoritma pula yang memelihara hubungan mereka?
Anya menghela napas. Sudah enam bulan. Enam bulan obrolan larut malam, panggilan video yang tak terhitung jumlahnya, dan janji-janji untuk bertemu yang selalu tertunda. Leo selalu punya alasan. Deadline proyek Soulmate AI versi terbaru, konferensi teknologi di luar kota, atau hanya sekadar "terlalu lelah setelah coding seharian." Alasan-alasan itu, awalnya dimaklumi, kini terasa seperti dinding virtual yang memisahkan mereka.
Ia memandang pantulan dirinya di layar ponsel yang mati. Rambut cokelatnya sedikit berantakan, matanya tampak sayu. Apakah Leo melihat ini? Apakah dia melihat Anya yang sebenarnya, di balik filter dan pencahayaan sempurna yang ditawarkan kamera ponsel? Atau hanya melihat representasi digital, versi ideal yang diciptakan oleh teknologi?
Notifikasi pesan masuk berdering. Dari Leo.
"Anya, maaf aku tidak bisa menelepon malam ini. Ada bug yang harus segera diatasi. Semoga kamu mengerti."
Anya membalas dengan singkat, "Tidak apa-apa, Leo. Semangat kerjanya."
Tapi dalam hati, ia menjerit. Ia ingin lebih dari sekadar "semangat kerja." Ia ingin Leo ada di sini, di sampingnya. Ia ingin merasakan hangatnya genggaman tangannya, bukan hanya sentuhan dingin layar ponsel.
Malam itu, Anya memutuskan untuk berjalan-jalan. Udara malam yang dingin sedikit menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Ia melewati kafe-kafe ramai, pasangan-pasangan yang tertawa dan bercanda. Ia iri. Iri pada keintiman yang mereka bagikan, keintiman yang belum pernah ia rasakan dengan Leo.
Ia duduk di bangku taman, memandang langit malam yang bertaburan bintang. Bintang-bintang itu begitu jauh, begitu dingin. Sama seperti Leo.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Panggilan video dari Leo. Anya ragu sejenak, lalu menjawabnya.
"Hai, Anya," sapa Leo dengan senyum lelah. Wajahnya tampak pucat di balik cahaya layar.
"Hai, Leo. Kamu baik-baik saja?" tanya Anya khawatir.
"Ya, hanya sedikit kelelahan. Aku ingin melihatmu sebelum tidur."
Anya tersenyum tipis. Kata-kata Leo terdengar manis, tapi hatinya tidak sepenuhnya yakin.
"Aku sedang di taman," kata Anya.
"Di taman? Sendirian?" tanya Leo. Nada suaranya terdengar sedikit cemas.
"Ya, sendirian. Aku butuh udara segar."
Leo terdiam sejenak. "Anya, aku tahu aku tidak selalu ada untukmu. Aku tahu aku sering membuatmu kecewa. Tapi percayalah, aku sangat menyayangimu."
Anya menatap mata Leo di layar. Ada ketulusan di sana, tapi juga ada jarak. Jarak yang diciptakan oleh pekerjaan, oleh teknologi, oleh ketidakmampuan mereka untuk benar-benar hadir satu sama lain.
"Leo, aku juga menyayangimu," jawab Anya. "Tapi aku butuh lebih dari sekadar kata-kata di layar. Aku butuh sentuhan, aku butuh kehadiranmu secara fisik."
Leo menghela napas. "Aku tahu, Anya. Aku tahu. Aku sedang berusaha. Aku janji, begitu proyek ini selesai, aku akan menebus semuanya. Kita akan pergi berlibur, kita akan melakukan semua hal yang belum sempat kita lakukan."
Anya menatap bintang-bintang. Janji-janji itu terdengar indah, tapi ia tidak yakin. Apakah janji-janji virtual bisa benar-benar menggantikan keintiman nyata?
"Leo," kata Anya, suaranya pelan. "Aku tidak ingin menunggu sampai proyek itu selesai. Aku ingin kamu sekarang. Aku ingin kamu di sini, di sampingku."
Leo terdiam lagi. Lalu, dengan suara berat, ia berkata, "Anya, aku tidak bisa. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaan ini. Ini sangat penting. Ini akan mengubah dunia."
Anya merasakan air mata menggenang di matanya. Ia mengangguk pelan. "Aku mengerti, Leo."
Ia mematikan panggilan video. Layar ponselnya kembali mati, menampilkan pantulan dirinya yang sedih. Ia memandang tangannya sendiri. Tangan yang merindukan genggaman hangat, tangan yang merindukan sentuhan nyata.
Di saat itu, Anya menyadari sesuatu. AI mungkin bisa memprediksi kecocokan, mungkin bisa menciptakan koneksi virtual. Tapi AI tidak bisa menggantikan keintiman manusia. AI tidak bisa menggantikan genggaman tangan.
Anya bangkit dari bangku taman. Ia memutuskan untuk pulang. Ia tahu, ia harus membuat keputusan yang sulit. Ia harus memilih antara cinta virtual dan keintiman nyata. Ia harus memilih antara AI dan dirinya sendiri.
Saat ia melangkah menjauhi taman, Anya berjanji pada dirinya sendiri. Ia tidak akan lagi membiarkan sentuhan layar menggantikan genggaman tangan. Ia akan mencari cinta yang nyata, cinta yang bisa ia rasakan, cinta yang bisa ia genggam. Karena, pada akhirnya, sentuhan manusia adalah bahasa cinta yang paling tulus, bahasa yang tidak bisa diterjemahkan oleh algoritma mana pun.