Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Arya, berpadu dengan dengung halus dari server kecil di sudut ruangan. Jari-jarinya lincah menari di atas keyboard, baris kode berwarna-warni berkelebat di layar. Ia sedang berburu bug, bukan serangga, melainkan cacat dalam Aplikasi Hati, ciptaan jeniusnya yang kontroversial.
Aplikasi Hati menjanjikan solusi bagi para jomblo abadi: mencocokkan kepribadian, minat, bahkan ekspektasi romantis dengan akurasi algoritmik yang nyaris sempurna. Janji yang terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, kata para skeptis. Tapi Arya percaya, cinta bisa diprogram, kebahagiaan bisa di-debug.
"Jam segini masih berkutat dengan kode, Arya?" suara serak seorang wanita membuyarkan konsentrasinya.
Arya menoleh, menampilkan senyum lelah. "Hai, Risa. Maaf ganggu. Ada beberapa glitch kecil yang perlu diatasi sebelum peluncuran resmi."
Risa, teman sekamar sekaligus beta tester setia Aplikasi Hati, mendengus geli. "Glitch kecil? Terakhir kali 'glitch kecil' membuat sistem merekomendasikan seorang ahli fisika kuantum untuk seorang penata rias."
Arya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Oke, mungkin agak besar. Tapi aku janji, versi final ini akan sempurna."
Risa mendekat, menyentuh bahu Arya lembut. "Arya, aku tahu kau berambisi. Tapi jangan lupa, cinta bukan sekadar algoritma. Ada hal-hal yang tak bisa diukur, seperti chemistry, insting, bahkan kebodohan-kebodohan kecil yang membuat hubungan jadi berwarna."
Arya terdiam, kata-kata Risa menusuk jantungnya. Ia memang terlalu fokus pada aspek teknis, melupakan esensi kemanusiaan dalam cinta. Ia merancang Aplikasi Hati untuk orang lain, tapi ia sendiri? Ia terlalu sibuk berkutat dengan kode hingga melupakan kehidupan asmaranya sendiri.
"Kau benar," akhirnya Arya mengakui. "Mungkin aku perlu berhenti sejenak dan... keluar rumah."
Risa tersenyum. "Bagus. Bagaimana kalau kita mencoba kafe baru di seberang jalan? Kudengar kopi mereka enak."
Arya mengangguk. "Ide bagus."
Di kafe yang ramai, Arya dan Risa menikmati kopi dan obrolan ringan. Arya memperhatikan Risa dengan seksama. Ia selalu ada untuknya, mendukungnya, bahkan mengkritiknya demi kebaikannya. Ia merasa nyaman dan tenang bersamanya, perasaan yang belum pernah ia rasakan dengan orang lain.
Tiba-tiba, notifikasi berdering di ponsel Arya. Seorang pengguna Aplikasi Hati, seorang penulis novel fantasi bernama Elara, memberikan ulasan positif. "Aplikasi Hati menakjubkan! Saya bertemu dengan seseorang yang benar-benar mengerti dunia imajinasi saya. Terima kasih, Arya!"
Arya tersenyum lega. Setidaknya, karyanya bermanfaat bagi orang lain. Tapi kemudian, pikirannya kembali pada Risa. Apakah ia terlalu bodoh untuk menyadari bahwa cinta yang ia cari selama ini ada di depannya, bukan di dalam algoritma?
Malam itu, Arya kembali ke apartemen dengan perasaan campur aduk. Ia duduk di depan komputernya, menatap baris kode yang kini terasa hambar. Ia menghapus beberapa baris kode, menambahkan beberapa yang baru. Ia mengubah beberapa parameter, menyesuaikan beberapa variabel.
Risa masuk ke ruangan, membawa dua cangkir teh chamomile. "Kau tidak tidur?"
Arya menggeleng. "Aku sedang mem-debug sesuatu yang penting."
Risa duduk di sebelahnya, menyerahkan secangkir teh. "Apa yang kau debug?"
Arya menarik napas dalam-dalam. "Diriku sendiri."
Ia menoleh ke arah Risa, menatap matanya dalam-dalam. "Risa, selama ini aku terlalu sibuk mencari cinta yang ideal, hingga aku lupa menghargai apa yang ada di depanku. Kau adalah sahabat terbaikku, pendukung setia, dan... mungkin lebih dari itu."
Risa terdiam, matanya berkaca-kaca. "Arya..."
"Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, setelah semua yang kukatakan tentang algoritma dan program," lanjut Arya. "Tapi aku sadar, cinta sejati tidak bisa diprogram. Cinta itu tentang koneksi, tentang keintiman, tentang menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing."
"Kau baru menyadarinya?" tanya Risa, dengan nada bercanda.
Arya tersenyum. "Aku memang agak lambat. Tapi aku serius, Risa. Aku ingin... mencoba."
Risa meletakkan cangkirnya dan meraih tangan Arya. "Aku juga, Arya. Aku juga."
Arya membalas genggaman Risa, merasakan kehangatan yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Ia tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai. Akan ada tantangan, akan ada kesalahan, akan ada bug yang perlu diatasi. Tapi kali ini, ia tidak akan menghadapinya sendirian.
Arya menutup laptopnya, menatap Risa dengan penuh cinta. "Ayo tidur. Besok kita mulai mem-debug kebahagiaan kita bersama."
Risa tertawa kecil, lalu bersandar di bahu Arya. "Kedengarannya seperti program yang sempurna."
Arya tersenyum. Mungkin Risa benar. Mungkin cinta memang tidak bisa diprogram, tapi kebahagiaan bisa di-debug, bersama-sama. Dan mungkin, Aplikasi Hati telah berhasil, bukan untuk orang lain, tapi untuk dirinya sendiri. Ia telah menemukan cinta, bukan di dalam algoritma, melainkan di dalam hati seorang sahabat. Dan itu, baginya, adalah kebahagiaan yang paling sempurna.