Algoritma Menggoda, Hati Bertanya: Dia Siapa?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 17:24:37 wib
Dibaca: 170 kali
Aplikasi kencan itu berdengung lembut di pergelangan tanganku, getaran halus yang kini sudah jadi bagian dari rutinitasku. Sebuah notifikasi: "Kecocokan baru!" Aku mendengus, sedikit lelah dengan janji-janji algoritma. Sudah berapa kandidat yang disodorkan padaku? Puluhan. Semuanya, di atas kertas, tampak sempurna. Hobi sama, minat serupa, bahkan selera film pun sejalan. Tapi tetap saja, ada sesuatu yang hilang. Percikan itu, keajaiban yang tak bisa dikalkulasi oleh kode biner.

Aku membuka aplikasi itu dengan malas. Foto profil yang muncul adalah seorang pria yang sedang tersenyum di depan rak buku tinggi menjulang. Wajahnya teduh, dengan mata yang seolah menyiratkan banyak cerita. Di bawahnya tertulis: "Arsenio - Penulis & Pengembang AI."

Penulis dan pengembang AI? Kombinasi yang menarik. Biasanya, orang dengan minat yang sama denganku – sastra dan teknologi – cenderung memilih salah satu. Jarang ada yang menyeimbangkan keduanya. Aku membaca profilnya lebih lanjut. Arsenio menulis puisi, membuat aplikasi edukasi untuk anak-anak, dan tergila-gila pada kopi tubruk. Hal-hal yang aku sukai. Algoritma ini benar-benar melakukan pekerjaannya.

"Hai, Arsenio," ketikku, berusaha terdengar santai. "Penulis dan pengembang AI? Itu perpaduan yang unik."

Balasannya datang hampir seketika. "Hai! Memang agak membingungkan, ya? Tapi aku percaya bahwa teknologi dan seni bisa saling melengkapi. Bagaimana menurutmu?"

Percakapan kami mengalir lancar. Kami bertukar pendapat tentang buku, film, dan perkembangan AI. Aku terkejut betapa nyamannya obrolan ini. Tidak ada basa-basi klise, tidak ada pertanyaan-pertanyaan membosankan tentang pekerjaan atau rencana masa depan. Hanya percakapan yang jujur dan menggugah pikiran. Aku mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya Arsenio ini?

Hari demi hari berlalu, dan kami terus bertukar pesan. Aku menantikan notifikasi darinya setiap pagi. Senyumku mengembang tanpa sadar setiap kali namanya muncul di layar. Algoritma mungkin telah menemukan kecocokan di antara kami, tapi ada sesuatu yang lebih dalam yang kurasakan. Rasa ingin tahu yang membara, keinginan untuk mengenalnya lebih jauh.

Suatu sore, Arsenio mengirimiku pesan: "Aku sedang di kedai kopi dekat kantormu. Kebetulan. Mungkin kamu mau mampir?"

Jantungku berdegup kencang. Kebetulan? Atau algoritma yang bekerja terlalu keras? Aku menggigit bibir, ragu. Apakah aku siap untuk bertemu dengannya di dunia nyata? Apakah dia akan sama menariknya dengan yang ada di layar ponselku?

"Aku sedang banyak pekerjaan," balasku, berusaha menenangkan diri. "Mungkin lain kali."

Arsenio membalas dengan emoji sedih. "Sayang sekali. Tapi tidak apa-apa. Lain kali, ya?"

Aku menyesal mengatakan tidak. Sepanjang sisa hari itu, aku tidak bisa fokus pada pekerjaanku. Bayangan Arsenio dan rak bukunya terus menghantuiku. Aku terus bertanya pada diri sendiri, apa yang aku takutkan?

Keesokan harinya, aku memberanikan diri mengiriminya pesan: "Maaf soal kemarin. Aku benar-benar sibuk. Tapi, bagaimana kalau kita bertemu akhir pekan ini?"

Arsenio langsung membalas dengan antusias. "Tentu saja! Aku punya ide tempat yang bagus. Ada taman baca di dekat rumahku. Kita bisa ngobrol sambil menikmati udara segar."

Sabtu itu, aku berdandan lebih dari biasanya. Aku memilih gaun favoritku dan menyemprotkan parfum yang selalu membuatku merasa percaya diri. Saat aku tiba di taman baca, aku melihat Arsenio sudah menungguku.

Dia tampak persis seperti di fotonya, hanya saja lebih hidup. Senyumnya tulus, dan matanya bersinar dengan kehangatan. Saat dia menyambutku, aku merasakan sesuatu yang aneh – getaran yang sama yang kurasakan saat aplikasi kencan itu memberiku notifikasi, tapi kali ini jauh lebih kuat.

Kami berjalan-jalan di taman, membaca kutipan-kutipan yang tertempel di pohon, dan tertawa bersama. Arsenio menceritakan tentang proyek AI terbarunya, sebuah program yang bisa menghasilkan puisi berdasarkan emosi manusia. Aku terpukau dengan kecerdasannya, tapi yang lebih membuatku terkesan adalah semangatnya. Dia benar-benar mencintai apa yang dia lakukan.

Saat matahari mulai terbenam, kami duduk di bangku taman dan menikmati keheningan. Aku memberanikan diri bertanya, "Apa yang membuatmu tertarik padaku?"

Arsenio tersenyum. "Awalnya, algoritma. Tapi kemudian, percakapan kita. Kamu cerdas, lucu, dan memiliki rasa ingin tahu yang sama denganku. Aku merasa kita bisa saling belajar banyak hal."

"Aku juga," balasku. "Tapi aku masih bingung. Bagaimana mungkin algoritma bisa menemukan seseorang yang cocok denganku? Bukankah cinta itu lebih dari sekadar data dan statistik?"

Arsenio mengangguk. "Benar. Algoritma hanya bisa membantu kita menemukan orang yang memiliki potensi untuk menjadi pasangan kita. Tapi selebihnya, itu tergantung pada kita sendiri. Apakah kita bersedia membuka hati, berkomunikasi dengan jujur, dan menerima perbedaan."

Dia meraih tanganku. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku ingin mencoba. Aku ingin mengenalmu lebih jauh."

Aku menatap matanya dan melihat kejujuran di sana. Aku merasa aman, nyaman, dan bersemangat. Mungkin algoritma memang bisa menggoda, tapi hati yang memilih. Aku menggenggam tangannya erat-erat.

"Aku juga," jawabku. "Aku juga ingin mencoba."

Malam itu, saat aku kembali ke rumah, aku merasa berbeda. Aplikasi kencan itu masih berdengung di pergelanganku, tapi kali ini getarannya terasa lebih bermakna. Algoritma mungkin telah mempertemukanku dengan Arsenio, tapi hati yang akan menentukan arah hubungan ini. Dan hatiku, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, merasa penuh harapan. Hati bertanya, "Dia siapa?" dan jawabannya adalah: "Seseorang yang ingin aku kenal lebih jauh." Seseorang yang mungkin, suatu saat nanti, akan menjadi bagian dari algoritmaku sendiri.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI