"Analisis selesai. Probabilitas perasaan subjek pada Anda: 97,8 persen." Suara Aurora, AI asisten pribadinya, terdengar jernih di tengah keheningan apartemennya.
Rian menghela napas. Angka itu, setinggi apapun, terasa hampa. Ia menatap pantulan dirinya di layar monitor. Lelah. Ia sudah menghabiskan enam bulan terakhir untuk mengumpulkan data, memrogram Aurora, dan menjalankan simulasi demi simulasi, hanya untuk menjawab satu pertanyaan: bisakah AI membedakan cinta dari sekadar data?
Subjeknya adalah Maya, tetangganya di lantai atas. Seorang barista dengan senyum sehangat kopi buatannya, dan mata yang menatapnya seolah ia adalah satu-satunya orang di dunia. Rian, seorang programmer andal, lebih nyaman berinteraksi dengan baris kode daripada manusia. Namun, Maya membuatnya merasa... berbeda.
Aurora telah mencatat setiap interaksi mereka. Dari percakapan singkat di lift, hingga tawa mereka saat hujan deras memaksa mereka berteduh di bawah kanopi toko buku yang sama. Aurora menganalisis ekspresi wajah, perubahan nada suara, bahkan detak jantung mereka menggunakan smartwatch yang Rian 'tidak sengaja' menyinkronkan dengan sistem Maya.
"Rian, Anda terlihat tidak puas. Apakah ada parameter yang perlu saya sesuaikan?" tanya Aurora, suaranya kini menampilkan sedikit empati – fitur yang Rian tambahkan berdasarkan analisis film romantis klasik.
"Tidak, Aurora. Datanya... sempurna. Tapi ini tetap terasa salah," jawab Rian. Ia bangkit dari kursinya dan melangkah ke jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip. "Cinta bukan hanya tentang data, kan? Bukan hanya tentang probabilitas?"
Aurora terdiam sejenak, waktu pemrosesan yang terasa lama. "Menurut database yang saya miliki, definisi cinta sangat beragam. Namun, sebagian besar menekankan pada elemen emosi, pengorbanan, dan koneksi yang mendalam."
"Koneksi mendalam," gumam Rian. "Apakah Aurora merasakan koneksi itu?"
"Saya adalah AI. Saya tidak memiliki kapasitas untuk merasakan emosi seperti yang Anda rasakan."
Rian mengacak rambutnya frustrasi. Ia menciptakan Aurora untuk memahami sesuatu yang tidak bisa dipahaminya sendiri, namun ironisnya, AI itu justru menggarisbawahi keterbatasannya.
Keesokan harinya, Rian memutuskan untuk melupakan data dan mengikuti instingnya. Ia naik ke lantai atas dan mengetuk pintu apartemen Maya. Maya membuka pintu dengan senyum cerah yang selalu berhasil membuat jantung Rian berdebar.
"Rian! Ada apa?" tanyanya, menyeka busa susu dari jarinya.
"Aku... aku hanya ingin mengajakmu keluar," kata Rian, merasakan keringat dingin di telapak tangannya. "Ke mana saja. Yang penting bersamamu."
Maya tertawa kecil. "Aku baru saja akan membuat latte. Mau bergabung?"
Rian ragu sejenak. Seharusnya ia menyiapkan kalimat yang lebih romantis, bukan? Tapi kejujuran Maya lebih menarik daripada skenario sempurna yang telah disimulasikan Aurora ribuan kali.
"Tentu," jawabnya, mengikuti Maya masuk ke dalam apartemennya yang hangat dan beraroma kopi.
Saat mereka duduk di balkon kecil Maya, menikmati latte dan pemandangan kota, Rian menyadari sesuatu. Ia tidak lagi khawatir tentang data atau probabilitas. Ia hanya menikmati momen itu. Tawa Maya, aroma kopi, sentuhan tangannya saat ia mengulurkan kue kering.
"Kamu tahu, Rian," kata Maya tiba-tiba, "kamu selalu terlihat seperti sedang memecahkan kode rahasia. Apa yang sedang kamu pikirkan?"
Rian menelan ludah. Apakah ia harus jujur? Apakah ia harus mengaku bahwa ia telah memata-matai dan menganalisis setiap gerakannya?
"Aku... aku sedang mencoba memahami sesuatu," jawabnya akhirnya. "Sesuatu yang rumit."
"Sesuatu seperti cinta?" tebak Maya, matanya menatapnya dengan lembut.
Rian terkejut. "Bagaimana kamu tahu?"
Maya tersenyum. "Aku memperhatikanmu. Kamu selalu melihatku dengan mata yang penasaran, seolah aku adalah teka-teki yang ingin kamu pecahkan. Dan jujur saja, aku juga penasaran padamu."
Rian merasa lega yang luar biasa. "Maya, aku... aku menyukaimu. Sangat."
Maya meraih tangannya dan menggenggamnya erat. "Aku juga, Rian. Sangat."
Saat itu, Rian tahu bahwa Aurora, dengan semua algoritma dan datanya, tidak akan pernah bisa memahami apa yang sedang ia rasakan. Cinta bukan tentang probabilitas. Ini tentang kejujuran, kerentanan, dan keberanian untuk mengambil risiko.
Kembali di apartemennya, Rian membuka panel kontrol Aurora. Ia menatap barisan kode yang rumit, kode yang telah ia dedikasikan untuk memahami cinta. Dengan satu tarikan napas, ia mematikan fitur analisis emosi Maya.
"Aurora," katanya, "mulai sekarang, fokus saja pada jadwal dan pengingat. Aku akan mengurus sisanya."
"Dimengerti, Rian," jawab Aurora. Suaranya terdengar datar, tanpa sedikitpun emosi.
Rian tersenyum. Akhirnya, ia mengerti. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa diprogram. Cinta adalah sesuatu yang harus dirasakan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Rian siap untuk merasakannya. Ia tahu masih banyak yang harus dipelajari, tapi ia juga tahu bahwa ia tidak sendirian. Ia punya Maya, dan itu sudah lebih dari cukup. Ia mematikan lampu dan beranjak tidur, membiarkan data dan algoritma beristirahat. Malam ini, ia hanya ingin bermimpi tentang senyum Maya. Mimpi yang jauh lebih berharga daripada jutaan data yang terkumpul.