Jari-jemarinya menari lincah di atas layar. Notifikasi demi notifikasi bermunculan, masing-masing membawa janji interaksi, validasi, dan mungkin… cinta. Anya tersenyum tipis, membalas komentar-komentar dengan stiker lucu dan emoji hati. Dunia digital adalah panggungnya, dan dia adalah bintangnya. Lima tahun terakhir, ia membangun persona online yang sempurna: Anya, seorang programmer muda, cantik, independen, dan memiliki selera humor yang tinggi. Pengikutnya mencapai ratusan ribu.
Di balik gemerlap layar, Anya hanyalah seorang perempuan dua puluh delapan tahun yang kesepian. Ia benci mengakui itu, tapi kebenaran pahit itu seringkali menyelinap masuk di antara deretan kode dan algoritma yang ia susun setiap hari. Ia bekerja di sebuah perusahaan startup yang mengembangkan aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan. Ironis, bukan? Menciptakan algoritma untuk menemukan cinta, sementara dirinya sendiri berjuang untuk merasakannya.
Aplikasi bernama "SoulMate AI" itu menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan data: preferensi, hobi, nilai-nilai, bahkan pola tidur. Anya adalah salah satu otak di baliknya, memastikan algoritma bekerja dengan akurat dan efisien. Ia bangga dengan pekerjaannya, namun juga skeptis. Apakah cinta bisa direduksi menjadi sekumpulan angka dan persamaan?
Suatu malam, saat ia sedang lembur, seorang rekan kerjanya, Riko, mendekatinya. Riko adalah kepala divisi desain, seorang pria yang selalu berpenampilan rapi dengan senyum yang tulus. “Anya, kamu belum pulang?” tanyanya dengan nada khawatir.
Anya menggeleng. “Masih ada bug yang harus diperbaiki. Algoritma perjodohan untuk pengguna dengan preferensi ‘pecinta kopi’ tampaknya agak kacau.”
Riko terkekeh. “Mungkin karena definisi ‘pecinta kopi’ terlalu luas. Apakah harus minum kopi hitam tanpa gula setiap hari? Atau cukup sesekali menikmati latte dengan seni di atasnya?”
Mereka berdua tertawa. Percakapan ringan itu berlanjut, membahas tentang kopi, musik, film, dan hal-hal remeh lainnya. Anya menyadari bahwa ia menikmati obrolan itu. Riko tidak berusaha membuatnya terkesan dengan pencapaiannya di dunia maya, ia hanya tertarik pada Anya sebagai seorang manusia.
Sejak malam itu, interaksi mereka semakin sering. Mereka makan siang bersama, bertukar pesan singkat, dan bahkan sesekali berjalan-jalan setelah jam kerja. Anya merasa nyaman di dekat Riko, ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus khawatir tentang jumlah like atau komentar.
Namun, bayang-bayang “SoulMate AI” selalu menghantui pikirannya. Ia tahu bahwa algoritma yang ia ciptakan tidak akan pernah merekomendasikan Riko sebagai pasangan yang cocok untuknya. Riko tidak memiliki minat yang sama terhadap pemrograman, ia tidak aktif di media sosial, dan selera musik mereka pun berbeda jauh. Menurut algoritma, mereka adalah dua orang yang tidak mungkin bersatu.
Anya terjebak dalam dilema. Ia ingin mempercayai perasaannya, namun ia juga terpengaruh oleh validasi yang ia dapatkan dari dunia digital. Ia takut bahwa apa yang ia rasakan untuk Riko hanyalah ilusi, sebuah pelarian sementara dari kesepiannya.
Suatu hari, Riko mengajaknya berkencan. Anya gugup, ia tahu bahwa ini adalah titik balik dalam hubungan mereka. Ia memutuskan untuk jujur tentang perasaannya yang campur aduk.
“Riko, aku… aku suka kamu,” ucap Anya dengan suara gemetar. “Tapi aku juga bingung. Aku selalu mencari validasi di dunia digital, dan aku takut bahwa perasaanku padamu tidak nyata.”
Riko tersenyum lembut. “Anya, validasi dari dunia digital itu penting, tapi itu bukanlah segalanya. Yang penting adalah apa yang kamu rasakan di dalam hatimu. Aku juga suka kamu, Anya. Dan aku tidak peduli apakah algoritma setuju atau tidak.”
Kata-kata Riko menenangkan hatinya. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu terpaku pada angka dan algoritma, sehingga melupakan esensi dari cinta yang sebenarnya: koneksi emosional, kepercayaan, dan penerimaan.
Ia mengambil napas dalam-dalam dan menjawab, “Aku ingin mencobanya, Riko. Aku ingin mempercayai perasaanku dan melupakan algoritma.”
Kencan mereka berjalan lancar. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling mengenal lebih dalam. Anya merasa bahagia dan damai, seolah-olah ia telah menemukan rumahnya.
Setelah beberapa bulan berpacaran, Riko melamarnya. Anya menerima lamarannya dengan air mata bahagia. Ia tahu bahwa hidup bersamanya tidak akan selalu mudah, tetapi ia yakin bahwa cinta mereka akan mampu mengatasi segala rintangan.
Pada hari pernikahan mereka, Anya memposting foto dirinya dan Riko di media sosial. Foto itu mendapatkan ribuan like dan komentar positif. Namun, Anya tidak lagi terlalu peduli dengan angka-angka itu. Ia tahu bahwa validasi yang paling penting berasal dari hatinya sendiri dan dari cinta yang ia bagikan dengan Riko.
Ia akhirnya mengerti bahwa cinta digital hanyalah sebuah alat, sebuah sarana untuk terhubung dengan orang lain. Namun, cinta sejati tumbuh di luar layar, di antara sentuhan, tatapan mata, dan percakapan yang jujur. Cinta sejati membutuhkan keberanian untuk melupakan algoritma dan mengikuti kata hati. Dan Anya, akhirnya, telah menemukan keberanian itu. Ia menemukan cinta bukan di antara kode dan algoritma, tetapi di dalam hati seorang pria yang mencintainya apa adanya.