Debu neon berputar dalam sinar laser yang membelah Atmos, klub malam terpopuler di Neo-Jakarta. Di tengah kerumunan cyborg berdansa dan manusia augmented yang tertawa, Anya merasa hampa. Aplikasi kencan "SoulMate 5.0" di implant otaknya terus berkedip, menawarkan profil-profil kompatibel dengan algoritma kesukaannya: ambisius, berwawasan, dan paham quantum computing.
Anya seorang software architect di "Genesis Corp", perusahaan yang merancang kecerdasan buatan untuk mengelola kota. Ironisnya, di tengah jutaan baris kode yang ia tulis setiap hari, Anya merasa kehilangan kode yang paling dasar: cinta. SoulMate 5.0 menjanjikan solusi, pasangan ideal berdasarkan preferensi yang dianalisis secara mendalam.
Malam ini, algoritma itu membawanya ke Atmos. Pria yang direkomendasikan, Kai, sudah menunggunya di bar. Kai seorang ahli robotika, tampan dengan mata biru elektrik dan senyum yang terasa...terlalu sempurna. Percakapan mereka lancar, dipenuhi istilah-istilah teknis dan referensi filosofis yang membuat Anya terkesan. Mereka membahas tentang implikasi etis AI, masa depan transportasi hyperloop, dan puisi Neruda yang diterjemahkan ke dalam bahasa biner.
"SoulMate 5.0 bekerja dengan baik, bukan?" tanya Kai, menyeringai. "Kita berdua memenuhi ekspektasi satu sama lain."
Anya mengangguk, tapi ada sesuatu yang mengganjal. Semua terasa terlalu...terprogram. Tidak ada kejutan, tidak ada percikan api, hanya percakapan yang dioptimalkan untuk kesukaan bersama. Apakah ini cinta yang diinginkannya? Cinta yang diatur oleh algoritma?
"Bagaimana kalau kita mematikan SoulMate 5.0 untuk sementara?" usul Anya tiba-tiba.
Kai tampak bingung. "Mematikan? Tapi...mengapa? Kita sudah menemukan kecocokan sempurna."
"Aku ingin melihat apa yang terjadi tanpa panduan algoritma," jawab Anya, merasa berani. "Aku ingin melihat apakah kita benar-benar terhubung, atau hanya boneka yang ditarik oleh benang kode."
Kai ragu-ragu, lalu menghela napas. "Baiklah. Untukmu, Anya."
Mereka menekan tombol "disconnect" di implant masing-masing. Dunia terasa sedikit berbeda tanpa filter SoulMate 5.0. Percakapan mereka kehilangan kelancarannya. Ada jeda yang canggung, pertanyaan yang tidak terjawab, dan senyum yang terasa lebih dipaksakan.
"Jadi...apa yang kamu sukai selain robotika?" tanya Anya, mencoba memecah keheningan.
Kai tampak kesulitan. "Uh...aku suka...analisis data? Dan...mengoptimalkan algoritma?"
Anya tertawa kecil. "Itu pekerjaannya, Kai. Apa yang kamu nikmati di luar pekerjaan?"
Kai terdiam. "Aku...aku tidak yakin. Aku selalu fokus pada pengembangan diri dan karierku. SoulMate 5.0 membantuku menemukan hobi yang cocok dengan kepribadianku."
Anya menyadari sesuatu yang menyedihkan. Kai telah menyerahkan dirinya sepenuhnya pada algoritma. Dia kehilangan kemampuan untuk menentukan apa yang benar-benar dia inginkan, apa yang membuatnya bahagia.
"Apa makanan favoritmu?" tanya Anya lagi.
Kai menatap kosong. "Menurut SoulMate 5.0, aku lebih suka makanan bergizi tinggi dengan indeks glikemik rendah."
Anya menghela napas. "Bukan apa yang direkomendasikan algoritma, Kai. Apa yang kamu suka?"
Kai berpikir keras. "Aku...aku ingat ibuku sering membuatkan kue cokelat saat aku kecil. Aku suka aromanya."
"Itu dia!" seru Anya. "Cinta itu seperti kue cokelat, Kai. Tidak bisa diprediksi, berantakan, tapi sangat memuaskan."
Malam itu, Anya dan Kai berpisah dengan perasaan yang campur aduk. Anya merasa lega telah melepaskan diri dari algoritma, tetapi juga sedih melihat bagaimana teknologi dapat membutakan manusia dari emosi mereka sendiri.
Beberapa hari kemudian, Anya menerima pesan dari Kai. Bukan pesan otomatis dari SoulMate 5.0, tapi pesan yang ditulis dengan tangan, dikirim melalui pos digital kuno.
"Anya, aku membuat kue cokelat. Tidak seenak buatan ibuku, tapi aku mencoba. Bisakah kita bertemu?"
Anya tersenyum. Mungkin, hanya mungkin, ada harapan.
Mereka bertemu di kedai kopi kecil di sudut kota. Kai tampak gugup, tangannya berlumuran tepung. Kuenya sedikit gosong, tapi aroma cokelatnya memenuhi ruangan.
"Maaf, tidak sempurna," kata Kai, menyodorkan sepotong kue.
Anya menggigitnya. Rasanya aneh, ada sedikit garam berlebih, tapi ada sesuatu yang istimewa. Itu adalah kue yang dibuat dengan hati.
"Enak," kata Anya, tersenyum tulus. "Terima kasih, Kai."
Mereka berbicara selama berjam-jam. Bukan tentang algoritma atau robotika, tapi tentang masa kecil mereka, impian mereka, dan ketakutan mereka. Anya melihat sisi lain dari Kai, sisi yang tidak bisa diprediksi oleh SoulMate 5.0.
Beberapa bulan berlalu. Anya dan Kai terus berkencan. Mereka tidak bergantung pada algoritma lagi. Hubungan mereka berkembang secara alami, penuh kejutan, tantangan, dan tawa. Mereka belajar menerima kekurangan satu sama lain, merayakan kelebihan masing-masing, dan membangun cinta yang unik dan otentik.
Suatu malam, saat mereka berjalan-jalan di taman kota, Anya bertanya, "Apakah kamu merindukan SoulMate 5.0?"
Kai menggeleng. "Tidak. Aku lebih suka cinta yang berantakan, kacau, dan tidak sempurna. Seperti kue cokelat buatan sendiri." Dia tersenyum dan menggenggam tangan Anya. "Aku lebih suka mencintaimu dengan algoritma hatiku sendiri."
Anya membalas senyumnya. Mereka berhenti di bawah pohon sakura yang sedang bermekaran, kelopak bunganya berjatuhan seperti hujan merah muda. Kai mendekat dan mencium Anya. Ciuman itu tidak diprediksi, tidak dioptimalkan, tapi penuh dengan emosi yang mendalam. Itu adalah ciuman biner yang sebenarnya: satu dan nol, ya dan tidak, cinta dan kehilangan, semua tercampur menjadi satu momen yang sempurna.
Mungkin algoritma bisa membantu kita menemukan kecocokan, tapi hanya hati yang bisa memutuskan apakah itu cinta yang sebenarnya. Dan terkadang, cinta yang paling indah adalah yang kita temukan saat kita melupakan teknologi dan mendengarkan suara hati kita sendiri. Cinta yang terprogram mungkin efisien, tapi cinta yang manusiawi, dengan segala kekurangannya, adalah cinta yang layak diperjuangkan.