Algoritma Rindu: Unduh Cinta ataukah Luka Permanen?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 17:23:56 wib
Dibaca: 165 kali
Debu neon berpendar di balik lensa kacamatanya, memantulkan cahaya layar laptop yang menampilkan barisan kode rumit. Elara, seorang programmer jenius di usia 25 tahun, nyaris tidak berkedip. Jemarinya menari di atas keyboard, merajut algoritma yang menurutnya bisa mendefinisikan – atau setidaknya memprediksi – cinta. Ia menyebutnya "Algoritma Rindu."

Gagasan ini berawal dari rasa frustasinya sendiri. Elara, yang terbiasa dengan logika pasti dan terukur, selalu gagal memahami logika cinta yang serba irasional. Ia melihat teman-temannya berkencan, jatuh cinta, patah hati, dan kemudian mengulangi siklus itu lagi. Ia merasa seperti mengamati serangga yang menabrakkan diri ke lampu, berulang kali, tanpa belajar.

"Harusnya ada cara untuk memprediksi kecocokan," gumamnya pada diri sendiri, menyeruput kopi hitam yang sudah dingin. "Data tidak pernah berbohong. Pola selalu ada."

Algoritma Rindu miliknya mengumpulkan data dari berbagai sumber: riwayat media sosial, preferensi musik dan film, pola tidur, bahkan data detak jantung dari smartwatch pengguna. Kemudian, dengan menggunakan kombinasi machine learning dan analisis data, algoritma itu akan menghasilkan skor kecocokan dengan calon pasangan yang potensial. Semakin tinggi skornya, semakin besar kemungkinan cinta akan bersemi.

Awalnya, ini hanya proyek iseng, sekadar hiburan di sela-sela pekerjaannya yang lebih serius. Tapi, semakin dalam ia menyelam ke dalam data, semakin terobsesi ia. Ia mulai memikirkan bagaimana algoritma ini bisa membantu orang lain menemukan kebahagiaan, menghindari patah hati yang tak perlu, dan mengoptimalkan proses pencarian cinta.

Di sisi lain, Elara juga menyadari ironi dari apa yang dilakukannya. Ia menciptakan sebuah alat untuk memprediksi cinta, sementara ia sendiri belum pernah merasakannya. Ia tenggelam dalam kode, menghindari interaksi sosial, dan lebih memilih ditemani oleh deretan angka dan simbol daripada manusia.

Suatu malam, setelah berminggu-minggu tidak tidur dan hanya makan makanan instan, Algoritma Rindu akhirnya selesai. Dengan gugup, Elara menjalankan program tersebut. Ia memasukkan datanya sendiri, berharap melihat hasil yang menjanjikan.

Layar laptopnya berputar-putar, menampilkan animasi loading yang membuatnya semakin tegang. Akhirnya, muncul sebuah nama, lengkap dengan foto dan skor kecocokan: 98%.

Orang itu adalah Adrian, tetangga barunya yang bekerja sebagai seorang ilustrator. Elara hanya pernah berpapasan dengannya beberapa kali di lift, dan ia tidak pernah benar-benar memperhatikannya. Ia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri untuk menyadari keberadaan pria yang tampan dan ramah itu.

Elara merasa aneh. Algoritma buatannya sendiri menyuruhnya untuk mengejar cinta? Ia tidak yakin apakah ini lelucon alam semesta ataukah sebuah kebetulan yang luar biasa.

Ia memutuskan untuk mengabaikan Algoritma Rindu. Cinta bukan sesuatu yang bisa diprediksi atau diukur, pikirnya. Itu adalah sesuatu yang alami, yang muncul begitu saja, tanpa campur tangan algoritma atau analisis data.

Namun, semakin ia berusaha mengabaikannya, semakin sering ia memikirkan Adrian. Ia mulai memperhatikan hal-hal kecil tentangnya: cara Adrian tersenyum, bagaimana ia selalu memegangi pintu lift untuknya, dan bagaimana ia selalu menyapanya dengan suara yang ramah.

Suatu hari, Elara memberanikan diri untuk menyapa Adrian di lift. Mereka mulai berbicara, membahas cuaca, pekerjaan, dan hal-hal remeh lainnya. Elara terkejut betapa mudahnya ia merasa nyaman di dekat Adrian. Ia tertawa mendengar leluconnya, dan ia merasa tertarik dengan pandangannya tentang dunia.

Setelah beberapa minggu, Adrian mengajaknya berkencan. Elara ragu-ragu. Ia merasa bersalah, seolah-olah ia berkencan dengan Adrian hanya karena algoritmanya menyuruhnya. Tapi, ia juga tidak bisa menolak perasaan ketertarikan yang tumbuh di dalam dirinya.

Kencan pertama mereka berjalan dengan lancar. Mereka berbicara selama berjam-jam, menemukan banyak kesamaan, dan saling memahami. Elara merasa seperti telah mengenal Adrian seumur hidup.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, Elara tidak bisa menghilangkan keraguannya. Apakah perasaannya terhadap Adrian benar-benar tulus, ataukah itu hanya hasil dari algoritma yang telah mengarahkannya? Apakah ia benar-benar mencintai Adrian, ataukah ia hanya mencintai skor 98% yang muncul di layar laptopnya?

Ia memutuskan untuk jujur kepada Adrian. Ia menceritakan tentang Algoritma Rindu, tentang obsesinya dengan data, dan tentang keraguannya tentang perasaannya sendiri.

Adrian mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong pembicaraannya. Ketika Elara selesai, ia tersenyum.

"Elara," katanya, "aku tidak peduli tentang algoritma atau skor. Aku hanya tahu bahwa aku menikmati waktu yang kuhabiskan bersamamu. Aku merasa nyaman di dekatmu, dan aku merasa tertarik padamu."

Ia melanjutkan, "Mungkin algoritma itu membantumu menyadari keberadaanku, tapi itu tidak berarti bahwa perasaanmu tidak tulus. Perasaanmu adalah milikmu sendiri. Kamu yang memutuskan apakah kamu ingin mencintaiku atau tidak."

Kata-kata Adrian menenangkan hati Elara. Ia menyadari bahwa ia terlalu fokus pada data dan logika, sehingga ia lupa untuk mendengarkan hatinya sendiri.

Ia memutuskan untuk membuang keraguannya dan membiarkan dirinya jatuh cinta. Ia belajar untuk mempercayai perasaannya sendiri, dan ia menyadari bahwa cinta tidak selalu harus rasional atau logis. Kadang-kadang, cinta hanya ada, seperti bintang-bintang di langit malam, tanpa bisa dijelaskan atau diukur.

Beberapa bulan kemudian, Elara dan Adrian masih bersama. Mereka bahagia, saling mencintai, dan saling mendukung. Elara tidak lagi terobsesi dengan Algoritma Rindu. Ia menyadari bahwa algoritma hanyalah alat, bukan penentu takdir.

Suatu malam, Elara duduk di samping Adrian di balkon apartemen mereka, menatap langit malam yang bertaburan bintang.

"Adrian," katanya, "apa menurutmu algoritma bisa benar-benar memprediksi cinta?"

Adrian tersenyum. "Mungkin saja," jawabnya. "Tapi, menurutku yang paling penting adalah keberanian untuk membuka hati dan membiarkan cinta itu masuk, terlepas dari apa yang dikatakan algoritma."

Elara tersenyum dan menyandarkan kepalanya di bahu Adrian. Ia tahu bahwa cinta tidak selalu mudah, dan kadang-kadang bisa menyakitkan. Tapi, ia juga tahu bahwa cinta adalah salah satu hal terindah dalam hidup, dan ia beruntung bisa merasakannya.

Algoritma Rindu mungkin telah membantunya menemukan Adrian, tapi cinta mereka adalah hasil dari pilihan dan keberanian mereka sendiri. Dan, itu adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan angka atau diprediksi dengan kode. Itu adalah sesuatu yang lebih dalam, lebih berarti, dan lebih abadi. Unduh cinta atau luka permanen? Elara memilih yang pertama, dan ia tidak pernah menyesalinya.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI