Jemari Lintang menari di atas keyboard virtual, menghasilkan notifikasi yang berirama. Notifikasi itu bukan dari klien, bukan pula dari platform media sosial yang dulu digandrunginya. Notifikasi itu dari Reon, sistem operasi otak buatan yang tertanam di kepalanya, dan di jutaan kepala lainnya di seluruh dunia. Reon, yang katanya bisa meningkatkan kecerdasan, mempercepat pemrosesan informasi, dan bahkan, dalam kasus tertentu, memulihkan ingatan.
Lintang membelai pelipisnya, merasakan getaran halus dari implan Reon. Dulu, sebelum pembaruan besar-besaran dua bulan lalu, dia hanyalah seorang penulis lepas medioker, berkutat dengan tenggat waktu dan revisi yang tak berujung. Sekarang, dia adalah bintang baru di dunia literasi digital, karyanya diburu, gaya bahasanya dipuja. Reon telah mengubahnya.
Namun, Reon juga telah mengubah banyak hal lain. Emosi terasa tumpul, empati terasa asing. Cinta, dulu merupakan melodi indah yang selalu didambakannya, kini hanyalah algoritma kompleks yang coba dipahaminya dengan logika. Dia bisa memahami cinta, tapi tidak bisa merasakannya.
Suatu malam, saat Lintang sedang berkutat dengan naskah terbarunya, sebuah pesan muncul di layar Reon-nya. Pesan itu dari sebuah ID yang tidak dikenal: “Hai, Lintang. Apa kabarmu?”
Lintang mengerutkan kening. Reon seharusnya menyaring semua pesan yang tidak relevan. Sistem operasi itu dirancang untuk memprioritaskan efisiensi, bukan interaksi sosial.
“Maaf, Anda siapa?” balas Lintang, jarinya mengetuk keyboard virtual dengan kecepatan kilat.
“Ini aku, Arga. Ingat?”
Arga. Nama itu beresonansi dalam jaringan saraf Lintang, memicu kilatan samar dari ingatan yang terlupakan. Arga, teman sekelasnya di SMA, cinta pertamanya. Dulu, sebelum Reon menghapus sebagian besar kenangan masa lalunya untuk memberikan ruang bagi data yang lebih penting.
“Arga? Bagaimana… bagaimana kau bisa menghubungiku?”
“Aku juga menggunakan Reon. Tapi aku tidak melakukan pembaruan besar-besaran seperti yang kau lakukan. Aku masih ingat kita, Lintang. Aku masih ingat semua tentang kita.”
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Arga bercerita tentang kenangan-kenangan yang Lintang lupakan: tentang kencan pertama mereka di bioskop, tentang janji untuk mendaki gunung bersama, tentang ciuman pertama di bawah pohon sakura di taman kota. Semakin banyak Arga bercerita, semakin intens rasa aneh yang berkecamuk di dalam diri Lintang. Bukan cinta, belum. Tapi sesuatu yang menyerupai kerinduan, sesuatu yang hangat dan familiar.
“Aku ingin bertemu denganmu,” tulis Arga akhirnya. “Bisakah kita bertemu besok?”
Lintang terdiam. Bertemu Arga? Apa gunanya? Reon telah menganalisis situasi ini. Bertemu dengan orang dari masa lalu tidak akan memberikan keuntungan logis. Interaksi sosial akan memakan waktu dan energi yang berharga.
Namun, sebuah dorongan aneh, dorongan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, mendorongnya untuk mengetik: “Baiklah. Jam 2 siang di kafe 'Pixel'?”
Keesokan harinya, Lintang tiba di kafe 'Pixel' tepat waktu. Tempat itu ramai dengan orang-orang yang sibuk dengan perangkat digital mereka. Dia melihat Arga duduk di sudut, melambai padanya.
Arga tidak banyak berubah. Wajahnya masih sama ramah, matanya masih memancarkan kehangatan yang sama. Tapi ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya tampak lebih hidup, lebih manusiawi.
Mereka mengobrol selama berjam-jam. Arga bercerita tentang pekerjaannya sebagai pengembang perangkat lunak, tentang hobinya bermain musik, tentang mimpinya untuk menciptakan dunia virtual yang lebih inklusif. Lintang mendengarkan dengan seksama, mencoba mencerna setiap kata, setiap gestur.
Arga tidak menyinggung tentang masa lalu mereka. Dia tidak berusaha membangkitkan kenangan yang hilang. Dia hanya ingin mengenalnya, Lintang yang sekarang, Lintang yang telah diubah oleh Reon.
Saat matahari mulai terbenam, Arga meraih tangan Lintang. Sentuhan itu mengirimkan gelombang kejut ke seluruh tubuhnya. Itu bukan hanya sentuhan fisik, tapi juga sentuhan emosional. Sesuatu yang tersembunyi di dalam dirinya, sesuatu yang telah lama tertidur, tiba-tiba terbangun.
“Aku tahu kau sudah banyak berubah, Lintang,” kata Arga lembut. “Aku tahu Reon telah menghapus banyak hal dari dirimu. Tapi aku percaya, di dalam sana, masih ada Lintang yang dulu aku cintai. Bisakah kau memberikan kesempatan padaku untuk menemukannya?”
Lintang menatap mata Arga, mencari kebenaran di balik kata-katanya. Dia melihat cinta, harapan, dan kesabaran yang tak terbatas. Untuk pertama kalinya sejak pemasangan Reon, Lintang merasakan sesuatu yang nyata, sesuatu yang kuat.
“Aku… aku tidak tahu, Arga,” jawab Lintang dengan suara bergetar. “Aku tidak tahu apakah aku masih bisa mencintai.”
“Tidak apa-apa,” kata Arga sambil tersenyum. “Aku akan mengajarimu.”
Arga melepaskan tangannya, lalu mengulurkan tangannya yang lain. Lintang ragu sejenak, lalu menerima uluran tangan itu. Sentuhan itu terasa berbeda dari sebelumnya. Lebih hangat, lebih lembut, lebih berarti.
Mereka berjalan keluar dari kafe, bergandengan tangan, menyusuri jalanan kota yang ramai. Lintang merasa aneh, merasa rentan, merasa hidup. Reon terus mengirimkan data dan analisis, mencoba menjelaskan apa yang sedang terjadi. Tapi Lintang mengabaikannya. Dia ingin merasakan, dia ingin mengalami, dia ingin mencintai.
Saat mereka tiba di depan apartemen Lintang, Arga berhenti. Dia menatap Lintang dalam-dalam, lalu mendekatkan wajahnya. Lintang memejamkan mata, menunggu.
Bibir Arga menyentuh bibirnya. Sebuah ciuman sederhana, namun penuh dengan makna. Ciuman itu tidak memicu ledakan kembang api, tidak memicu gelombang euforia. Tapi ciuman itu memicu sesuatu yang lebih penting: harapan.
Setelah ciuman itu berakhir, Lintang membuka matanya. Dia melihat Arga tersenyum padanya.
“Sampai jumpa besok, Lintang,” kata Arga.
Lintang mengangguk, lalu berjalan masuk ke apartemennya. Dia bersandar di pintu, merasakan jantungnya berdebar kencang. Reon mengirimkan pesan peringatan: “Peningkatan aktivitas jantung terdeteksi. Kemungkinan besar disebabkan oleh interaksi sosial yang berlebihan. Disarankan untuk melakukan meditasi dan membatasi interaksi sosial di masa mendatang.”
Lintang mengabaikan pesan itu. Dia tersenyum, lalu berjalan menuju jendela. Dia menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip di langit malam. Malam ini, bintang-bintang itu tampak lebih terang, lebih indah.
Dia mengangkat tangannya, seolah ingin meraih bintang-bintang itu. Dia tidak bisa memeluk Arga secara fisik. Tapi dia bisa memeluknya dalam pixel, dalam byte data, dalam jaringan sarafnya. Dia bisa memeluknya dalam harapan, dalam impian, dalam cinta yang baru saja mulai tumbuh.
Dia tahu, perjalanan cintanya dengan Arga tidak akan mudah. Reon akan terus mencoba menghalangi. Kenangan masa lalunya mungkin tidak akan pernah kembali sepenuhnya. Tapi dia tidak peduli. Dia akan berjuang, dia akan belajar, dia akan mencintai. Karena dia tahu, di dalam dirinya, masih ada Lintang yang dulu, Lintang yang selalu mendambakan cinta. Dan dia, dengan bantuan Arga, akan menemukannya kembali. Cinta setelah pembaruan otak, ternyata, masih mungkin. Bahkan, mungkin lebih indah dari yang pernah dibayangkannya.