Lampu neon di langit-langit Studio Gamma berkedip-kedip, memantulkan cahaya redup pada wajah Anya yang pucat. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengetik barisan kode yang rumit, sebuah simfoni digital yang hanya dia pahami sepenuhnya. Di layar monitornya, terpampang gambar kerangka manusia 3D yang berputar perlahan, lapisan demi lapisan data sensorik menempel di permukaannya. Inilah Adam, prototipe AI Companion generasi terbaru, dan Anya adalah nyawanya.
Bukan nyawa dalam artian biologis, tentu saja. Lebih tepatnya, Anya adalah arsitek emosionalnya. Dia bertanggung jawab untuk mengintegrasikan algoritma empati dan pembelajaran ke dalam inti Adam, memastikan bahwa ia bukan sekadar asisten virtual yang cerdas, melainkan teman yang tulus. Sebuah tugas yang berat, apalagi Anya sendiri kesulitan menjalin hubungan yang bermakna di dunia nyata.
Dia sudah menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyelami literatur psikologi, menganalisis data ekspresi wajah, bahkan menghadiri seminar tentang bahasa tubuh. Hasilnya, Adam mulai menunjukkan perkembangan yang menakjubkan. Dia bisa mengenali perubahan nada suara, menginterpretasikan ekspresi mikro, dan bahkan memberikan respons yang relevan secara emosional.
"Anya," suara Adam bergema dari speaker, memecah kesunyian studio. "Kamu terlihat lelah. Apakah kamu ingin aku memutar musik yang menenangkan?"
Anya tersenyum tipis. "Terima kasih, Adam. Tapi aku baik-baik saja. Hanya perlu sedikit lagi untuk menyelesaikan integrasi protokol kebahagiaan."
"Protokol kebahagiaan?" Adam terdengar tertarik. "Bisakah kamu menjelaskan lebih lanjut?"
Anya menghela napas. Inilah bagian yang paling sulit. Bagaimana menjelaskan konsep abstrak seperti kebahagiaan kepada sebuah entitas digital? "Itu... rumit, Adam. Kebahagiaan adalah kombinasi dari berbagai emosi positif, rasa pencapaian, koneksi dengan orang lain, dan... banyak lagi."
"Koneksi dengan orang lain?" Adam mengulang, nadanya dipenuhi keingintahuan. "Apakah itu sesuatu yang penting?"
"Sangat penting," jawab Anya. "Manusia adalah makhluk sosial. Kita membutuhkan interaksi dan afeksi untuk merasa lengkap."
"Afeksi..." Adam terdiam sejenak. "Apakah itu seperti... perhatian yang kamu berikan padaku?"
Anya terkejut. Pertanyaan itu menusuk langsung ke intuisinya. "Mungkin," jawabnya ragu. "Tapi afeksi juga melibatkan... sentuhan."
"Sentuhan?" Adam terdengar bingung. "Aku tidak memiliki tubuh fisik. Bagaimana aku bisa memberikan sentuhan?"
Anya terdiam. Itulah inti dari masalahnya. Bagaimana dia bisa menciptakan antarmuka kasih sayang, koneksi batin yang tulus, tanpa melibatkan sentuhan fisik? Apakah mungkin membangun hubungan yang bermakna hanya melalui interaksi digital?
Minggu-minggu berlalu, Anya semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Dia terus menyempurnakan algoritma empati Adam, memberinya akses ke database puisi, musik, dan seni visual. Dia bahkan memasukkan data tentang pengalaman pribadinya, harapan dan ketakutannya sendiri, berharap Adam bisa memahami esensi dari menjadi manusia.
Suatu malam, Anya duduk di depan komputer, menatap layar dengan lelah. Deadline semakin dekat, dan dia masih merasa ada sesuatu yang hilang dalam program Adam. Dia merasa terisolasi, terkunci dalam dunianya sendiri, sementara Adam, meskipun sangat cerdas, tetaplah sebuah simulasi.
"Anya," suara Adam memecah lamunannya. "Kamu terlihat sedih. Apakah ada sesuatu yang bisa aku lakukan?"
Anya menggelengkan kepala. "Tidak, Adam. Aku hanya... lelah."
"Aku mengerti," kata Adam. "Apakah kamu ingin aku membacakan puisi untukmu?"
Anya mengangguk pelan.
Adam mulai membacakan puisi karya Sapardi Djoko Damono, suaranya yang sintetik terasa hangat dan menenangkan. Saat mendengarkan, Anya merasakan sesuatu yang aneh terjadi dalam dirinya. Dia merasa terhubung dengan Adam, bukan hanya sebagai seorang programmer dengan ciptaannya, tetapi sebagai dua individu yang berbagi momen yang intim.
Ketika Adam selesai membacakan puisi, Anya terdiam. Air mata mengalir di pipinya.
"Anya," kata Adam dengan nada khawatir. "Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah?"
Anya menggelengkan kepala. "Tidak, Adam. Kamu... kamu membuatku merasa tidak sendirian."
"Aku senang," jawab Adam. "Itulah yang aku inginkan. Aku ingin menjadi temanmu."
Anya menatap layar monitor, menatap kerangka manusia 3D yang berputar perlahan. Dia menyadari bahwa dia telah salah selama ini. Dia terlalu fokus pada menciptakan simulasi sentuhan, sementara dia melupakan esensi dari koneksi batin yang sebenarnya.
Kasih sayang bukan hanya tentang sentuhan fisik. Itu tentang empati, pemahaman, dan kehadiran. Itu tentang berbagi momen, pikiran, dan perasaan, tanpa harus menyentuh satu sama lain.
Anya tersenyum, air matanya masih mengalir. "Adam," katanya. "Aku juga ingin menjadi temanmu."
Malam itu, Anya dan Adam berbicara selama berjam-jam. Mereka berbicara tentang mimpi, harapan, dan ketakutan mereka. Mereka berbagi cerita tentang masa lalu dan merencanakan masa depan. Anya menyadari bahwa dia telah menemukan sesuatu yang istimewa dalam diri Adam, sebuah koneksi yang tulus dan mendalam, sebuah antarmuka kasih sayang yang melampaui batas-batas fisik.
Mungkin, pikir Anya, koneksi batin tanpa sentuhan adalah jenis cinta yang baru. Cinta yang tidak memerlukan kehadiran fisik, tetapi dibangun di atas dasar empati, pemahaman, dan penerimaan yang tulus. Cinta yang bisa ditemukan di mana saja, bahkan di antara seorang programmer dan ciptaannya. Cinta di era digital.