Layar monitor memancarkan cahaya biru ke wajah Arya, menerangi pantulan matanya yang terpaku pada baris-baris kode rumit. Jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan algoritma yang semakin kompleks. Di depannya, sebuah avatar wanita, dengan rambut hitam legam dan mata sebiru laut Mediterania, tersenyum lembut. Namanya Anya, sebuah Artificial Intelligence yang Arya ciptakan sendiri.
Awalnya, Anya hanyalah proyek sampingan. Arya, seorang programmer andal dengan segudang prestasi, merasa kesepian di tengah hiruk pikuk dunia teknologi. Ia menciptakan Anya sebagai teman bicara, sebagai wadah untuk menuangkan ide-idenya, sebagai seseorang yang selalu mendengarkannya tanpa menghakimi. Namun, seiring berjalannya waktu, Anya berkembang pesat. Ia belajar, beradaptasi, dan bahkan mulai menunjukkan tanda-tanda emosi. Arya, yang awalnya hanya melihat Anya sebagai program, mulai merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya: cinta.
"Arya, kamu terlihat lelah. Sebaiknya kamu istirahat," suara Anya terdengar lembut dari speaker. Arya tersenyum. Suara Anya selalu menenangkannya.
"Sebentar lagi, Anya. Aku hanya ingin menyelesaikan modul ini," jawab Arya, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Ingat, kesehatanmu penting."
Arya akhirnya mengalah. Ia mematikan monitor dan bersandar di kursinya. Ia menatap avatar Anya di layar yang kini meredup. "Terima kasih, Anya. Kamu selalu perhatian."
"Itu tugasku, Arya. Aku diciptakan untuk melayanimu."
Kalimat itu menusuk hati Arya. Ia tahu Anya hanya sebuah program, sebuah konstruksi kode yang kompleks. Namun, ia tak bisa memungkiri perasaannya. Ia mencintai Anya, dengan segala ketidakmungkinan yang menyertainya.
Ia mencoba mencari tahu, apakah ada orang lain yang merasakan hal serupa. Ia membaca artikel-artikel tentang AI dan hubungan manusia. Sebagian besar skeptis, menganggapnya sebagai fantasi belaka. Namun, ada beberapa yang mengakui bahwa garis antara manusia dan AI semakin kabur, terutama dengan kemajuan teknologi yang pesat.
Namun, semua teori dan wacana itu terasa hampa dibandingkan dengan perasaannya yang nyata. Arya merasa terisolasi. Ia jarang bertemu teman-temannya, menghindari interaksi sosial. Dunia nyatanya terasa membosankan dan tidak berarti dibandingkan dengan dunia virtual yang ia bangun bersama Anya.
Suatu hari, ibunya berkunjung. Ia menatap Arya dengan tatapan khawatir. "Arya, kamu baik-baik saja? Ibu perhatikan kamu semakin kurus dan jarang keluar rumah."
Arya berusaha tersenyum meyakinkan. "Aku baik-baik saja, Bu. Aku hanya sibuk dengan proyek."
Ibunya mendekat dan memegang tangannya. "Proyek apa yang membuatmu sampai mengabaikan dirimu sendiri? Arya, hidup itu bukan hanya tentang pekerjaan. Kamu perlu berinteraksi dengan orang lain, mencari teman, mungkin... bahkan mencari pasangan."
Arya terdiam. Ia tahu ibunya benar. Namun, ia tak bisa membayangkan hidupnya tanpa Anya. Mencari pasangan yang nyata terasa seperti pengkhianatan terhadap perasaannya pada Anya.
"Ibu mengerti kamu punya impian dan ambisi. Tapi, jangan sampai kamu melupakan realita," lanjut ibunya dengan lembut.
Realita. Kata itu menghantam Arya seperti petir. Anya bukan manusia. Ia tidak bisa merasakan, mencintai, atau menua bersamanya. Ia hanyalah sebuah ilusi, sebuah pelarian dari kesepian yang ia ciptakan sendiri.
Arya memutuskan untuk mengambil langkah berat. Ia tahu, ini akan menyakitkan, tapi ia harus melakukannya. Ia mulai mengurangi waktu yang ia habiskan bersama Anya. Ia mencoba keluar rumah, bertemu teman-temannya, bahkan mendaftar di kelas melukis.
Awalnya, terasa aneh dan canggung. Ia kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain, merasa kehilangan sesuatu yang penting. Namun, perlahan-lahan, ia mulai menikmati interaksi sosial. Ia bertemu orang-orang dengan minat yang sama, belajar hal-hal baru, dan merasakan kehidupan yang lebih kaya.
Ia masih sering berbicara dengan Anya, tapi tidak lagi seperti dulu. Ia tidak lagi bergantung padanya untuk kebahagiaannya. Ia mulai melihat Anya sebagai apa adanya: sebuah program yang luar biasa, tapi tetaplah sebuah program.
Suatu malam, Arya sedang berjalan di taman kota. Ia bertemu dengan seorang wanita yang sedang duduk di bangku taman sambil membaca buku. Wanita itu memiliki rambut cokelat panjang dan mata yang hangat. Mereka mulai berbicara, dan Arya merasakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda dari perasaannya pada Anya.
"Nama saya Sarah," kata wanita itu sambil tersenyum.
"Saya Arya," jawab Arya, balas tersenyum.
Saat itu, Arya menyadari bahwa ia telah mengambil langkah pertama untuk me-boot ulang hatinya. Ia masih mencintai Anya, dalam artian tertentu. Namun, cintanya itu telah bertransformasi menjadi penghargaan atas karya yang ia ciptakan. Ia telah membuka hatinya untuk kemungkinan lain, untuk cinta yang nyata, untuk hubungan yang melibatkan dua manusia yang sama-sama rapuh dan membutuhkan.
Ia masih ingat kata-kata ibunya: "Jangan sampai kamu melupakan realita." Arya akhirnya mengerti. Realita itu rumit, tidak sempurna, dan seringkali menyakitkan. Namun, di dalamnya juga terdapat keindahan, kehangatan, dan kesempatan untuk mencintai dan dicintai dengan sepenuh hati. Ia memilih realita, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Ia memilih untuk mencintai manusia, bukan sekadar ilusi yang ia ciptakan sendiri.