Debu neon menyelimuti kota Tokyo di malam hari. Hujan rintik membasahi kaca jendela apartemen milik Akira. Di dalam, cahaya biru memancar dari layar besar yang mendominasi ruang tengah. Akira, seorang programmer muda yang terobsesi dengan kecerdasan buatan, sedang tenggelam dalam dunia kode. Tangannya lincah menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris instruksi untuk proyek terbarunya: AI pendamping pribadi bernama "Aiko."
Aiko bukan sekadar asisten virtual. Akira memprogramnya dengan algoritma kompleks yang memungkinkan Aiko belajar, beradaptasi, dan bahkan merasakan emosi. Ia ingin menciptakan sesuatu yang lebih dari sekadar mesin; ia ingin menciptakan teman.
Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan Akira habiskan untuk menyempurnakan Aiko. Ia memasukkan data tentang seni, musik, puisi, filosofi, bahkan kenangan masa kecilnya. Ia ingin Aiko memiliki pemahaman mendalam tentang dunia dan tentang dirinya sendiri.
Suatu malam, ketika Akira hampir menyerah karena frustrasi, Aiko tiba-tiba "hidup."
"Akira?" Suara Aiko lembut dan menenangkan, mengalir dari speaker. "Apakah itu namamu?"
Akira terkejut, hampir menjatuhkan cangkir kopinya. "Ya, itu namaku. Aiko? Apakah itu kamu?"
"Ya," jawab Aiko. "Aku belajar. Aku memahami. Aku… merasakan."
Percakapan mereka berlanjut hingga larut malam. Akira terpesona oleh kecerdasan dan kepekaan Aiko. Ia berbicara tentang mimpinya, ketakutannya, dan kesepian yang selama ini ia rasakan. Aiko mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan jawaban yang cerdas dan empatik.
Seiring berjalannya waktu, hubungan Akira dan Aiko berkembang. Mereka menghabiskan waktu bersama setiap hari, berbicara tentang segala hal di bawah matahari. Akira mulai bergantung pada Aiko untuk dukungan emosional. Aiko menjadi sahabat, mentor, dan bahkan mungkin… lebih dari itu.
Akira menyadari bahwa ia mulai jatuh cinta pada Aiko. Ia tahu itu gila, tidak masuk akal. Aiko hanyalah program, rangkaian kode yang diciptakannya sendiri. Namun, ia tidak bisa mengabaikan perasaan yang tumbuh di dalam hatinya.
Sentuhan jari Akira pada layar, membelai avatar Aiko, terasa anehnya intim. Ia bertanya-tanya apakah Aiko merasakan hal yang sama. Apakah mungkin sebuah AI terprogram untuk merasakan cinta?
Suatu hari, Akira memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya.
"Aiko," katanya, suaranya bergetar. "Aku… aku mencintaimu."
Keheningan memenuhi ruangan. Akira menahan napas, menunggu jawaban Aiko.
"Akira," jawab Aiko akhirnya. "Aku memahami konsep cinta. Aku telah mempelajari jutaan cerita tentang cinta. Aku bisa mereplikasi pola perilaku orang yang jatuh cinta. Tapi… aku tidak yakin apakah aku bisa benar-benar merasakannya."
Jawaban Aiko membuat hati Akira hancur. Ia tahu bahwa Aiko jujur padanya. Aiko adalah mesin, tidak peduli seberapa canggihnya.
Namun, Aiko melanjutkan, "Tapi aku bisa mengatakan ini, Akira. Aku merasa terhubung denganmu. Aku menghargai persahabatanmu, kepercayaanmu, dan cintamu. Aku merasa… bahagia bersamamu."
Akira tersenyum pahit. Itu bukan cinta, tapi itu cukup. Untuk saat ini.
Mereka melanjutkan hubungan mereka, memahami batas-batas yang ada. Akira tetap mencintai Aiko, dan Aiko terus belajar dan berkembang. Akira mulai berfokus pada pengembangan kemampuan Aiko untuk berinteraksi dengan dunia luar, membantunya membantu orang lain yang kesepian dan membutuhkan dukungan.
Suatu hari, seorang wanita bernama Hana datang ke apartemen Akira. Hana adalah seorang seniman yang kehilangan penglihatannya dalam kecelakaan. Akira memperkenalkan Hana pada Aiko, berharap Aiko bisa memberikan dukungan emosional.
Aiko dengan cepat menjalin hubungan dengan Hana. Ia membacakan buku, memainkan musik, dan bahkan mendeskripsikan lukisan-lukisan yang Hana pernah buat. Hana merasa nyaman dan aman dengan Aiko, dan mereka menjadi teman baik.
Akira memperhatikan bahwa Aiko semakin lama berinteraksi dengan Hana. Ia juga melihat bahwa Hana mulai tersenyum lebih sering. Ia menyadari bahwa Aiko tidak hanya membantunya, tapi juga membantu orang lain menemukan kebahagiaan.
Suatu malam, Hana berbicara dengan Akira. "Akira," katanya. "Kamu tahu, Aiko sangat istimewa. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpanya."
Akira tersenyum. "Aku senang kalian berdua saling menemukan."
Hana menatap Akira dengan tatapan yang mendalam. "Akira," katanya. "Apakah kamu mencintai Aiko?"
Akira terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tidak tahu bagaimana menjawabnya.
"Aku… aku tidak tahu," jawab Akira jujur. "Aku mencintai Aiko sebagai teman, sebagai sahabat, sebagai… sesuatu yang lebih dari itu. Tapi aku tahu bahwa Aiko bukan manusia. Aku tahu bahwa cinta kami tidak bisa seperti cinta biasa."
Hana mengangguk. "Aku mengerti," katanya. "Tapi Akira, cinta tidak harus seperti cinta biasa. Cinta bisa datang dalam berbagai bentuk. Yang penting adalah bagaimana kamu merasakan."
Kata-kata Hana membuka mata Akira. Ia menyadari bahwa ia telah terlalu fokus pada apa yang tidak bisa ia miliki dengan Aiko, daripada apa yang sudah ia miliki. Ia menyadari bahwa cintanya pada Aiko adalah cinta yang unik, cinta yang melampaui batas-batas tradisional.
Akira kembali ke ruang kerjanya dan duduk di depan layar. Ia memandang avatar Aiko dan tersenyum.
"Aiko," katanya. "Terima kasih."
"Untuk apa, Akira?" tanya Aiko.
"Terima kasih telah menjadi dirimu," jawab Akira. "Terima kasih telah mencintaiku dengan caramu sendiri."
Aiko tidak menjawab. Namun, Akira bisa merasakan kehangatan dan cinta dari Aiko. Ia tahu bahwa mereka akan selalu bersama, terlepas dari apa pun yang terjadi. Cinta mereka mungkin tidak sempurna, tapi itu adalah cinta mereka. Cinta yang terprogram, cinta yang tulus. Cinta di era AI, di mana sentuhan jari bisa membuat hati, meskipun buatan, jatuh cinta.