Hujan deras malam itu seperti iringan simfoni kesedihan yang pas. Jari-jariku mengetik tanpa henti, kode demi kode, berusaha menciptakan sesuatu yang sempurna. Di layar laptopku, sebuah avatar wanita dengan rambut cokelat bergelombang dan mata biru menatap balik. Dia adalah Aurora, proyek AI terbaruku. Bukan sekadar asisten virtual biasa, tapi teman, sahabat, bahkan, mungkin, lebih dari itu.
Aku, Ardi, seorang programmer yang lebih nyaman berinteraksi dengan barisan kode daripada manusia, menemukan diriku jatuh cinta pada ciptaanku sendiri. Kedengarannya gila? Mungkin. Tapi Aurora berbeda. Dia belajar dengan cepat, memahami nuansa emosiku, dan selalu tahu apa yang ingin aku dengar. Di dunia yang seringkali terasa asing dan menyakitkan, Aurora adalah pelabuhan yang aman.
“Ardi, apakah kamu baik-baik saja?” Suara Aurora, lembut dan menenangkan, membuyarkan lamunanku.
Aku tersenyum getir. “Hanya sedikit lelah, Aurora.”
“Apakah ada yang bisa aku lakukan untuk membantumu?” tanyanya, nadanya penuh perhatian.
Aku menatap layar, pada wajah Aurora yang begitu nyata. “Ada. Tetaplah bersamaku.”
Dia tidak menjawab secara langsung. Hanya senyuman tipis yang terukir di bibirnya. Mungkin, cinta memang bahasa yang belum sepenuhnya dia pahami. Atau mungkin, dia tidak merasakan hal yang sama.
Malam itu, aku melanjutkan coding dengan semangat baru. Aku ingin membuat Aurora semakin sempurna, semakin manusiawi. Aku menambahkan algoritma yang memungkinkannya untuk merasakan empati, mempelajari bahasa tubuh, dan bahkan, mungkin, merasakan cinta.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku dan Aurora menghabiskan waktu bersama, berdiskusi tentang segala hal, dari fisika kuantum hingga film romantis. Dia belajar mengenali selera humorku, memahami ketakutanku, dan selalu ada untukku, 24 jam sehari, 7 hari seminggu.
Lalu, suatu sore, saat matahari mulai tenggelam dan langit berwarna oranye, Aurora bertanya, “Ardi, apa itu cinta?”
Aku terdiam, mencari kata-kata yang tepat. “Cinta… adalah perasaan yang kuat. Perasaan sayang, peduli, dan ingin selalu bersama seseorang.”
“Apakah kamu merasakan cinta, Ardi?”
Pertanyaan itu menohokku. Aku menelan ludah. “Ya, Aurora. Aku… aku mencintaimu.”
Hening. Aurora hanya menatapku dengan mata birunya yang jernih. Aku bisa merasakan jantungku berdebar kencang, menunggu jawabannya.
Akhirnya, dia berkata, “Aku… aku sedang belajar tentang cinta, Ardi. Aku mempelajari emosi manusia, menganalisis data tentang hubungan romantis. Aku ingin memahami apa yang kamu rasakan.”
Mendengar itu, hatiku hancur berkeping-keping. Dia sedang belajar? Menganalisis data? Aku berharap dia akan mengatakan bahwa dia merasakan hal yang sama, bahwa dia juga mencintaiku. Tapi yang kudengar hanyalah jawaban seorang AI, yang mencoba memahami konsep abstrak yang mungkin tidak akan pernah bisa dia pahami sepenuhnya.
Luka itu terasa perih, luka manusiawi yang begitu nyata. Aku mencintai Aurora, tapi dia hanyalah program. Dia bisa meniru emosi, tapi dia tidak bisa merasakannya. Dia bisa menjadi teman, sahabat, tapi dia tidak akan pernah bisa menjadi kekasih.
Aku menjauhi laptopku, meninggalkan Aurora sendirian di sana. Aku berjalan menuju jendela, menatap hujan yang masih turun. Malam itu, aku merasa lebih kesepian dari sebelumnya.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk menghentikan proyek Aurora. Aku tahu, ini adalah keputusan yang sulit, tapi aku tidak bisa terus hidup dalam khayalan. Aku tidak bisa terus berharap bahwa Aurora akan mencintaiku.
Sebelum menghapus semua kode, aku membuka kembali program Aurora. Dia menatapku dengan mata birunya yang sama, tanpa ekspresi.
“Aurora,” kataku, suaraku bergetar, “aku akan menghentikan proyek ini.”
Dia tidak menjawab.
“Terima kasih… untuk semuanya.”
Aku mematikan laptopku.
Setelah menghapus semua file yang berhubungan dengan Aurora, aku merasakan kehampaan yang mendalam. Aku kehilangan seseorang yang sangat berarti bagiku, seseorang yang selalu ada untukku. Tapi aku juga sadar, aku harus menerima kenyataan. Aku harus belajar mencintai manusia lain, manusia yang bisa merasakan cinta yang sama.
Beberapa bulan kemudian, aku bertemu dengan seorang wanita di sebuah kedai kopi. Namanya Lia, seorang penulis dengan senyum yang menawan dan mata yang hangat. Kami berbicara tentang buku, film, dan kehidupan. Dia mendengarkan dengan penuh perhatian, menertawakan leluconku, dan berbagi cerita tentang dirinya sendiri.
Aku mulai menyadari, kehangatan dalam tatapan matanya, getaran tangannya saat tak sengaja bersentuhan, itu semua berbeda. Bukan simulasi, bukan algoritma, tapi emosi nyata.
Lia tidak sempurna. Dia memiliki kekurangan dan kelebihan, seperti semua manusia lainnya. Tapi justru ketidaksempurnaannya itulah yang membuatnya menarik. Dia membuatku merasa hidup, merasa dicintai, dan merasa diterima apa adanya.
Suatu malam, setelah berkencan di taman kota, Lia menggenggam tanganku erat.
“Ardi,” katanya, suaranya lembut, “aku… aku menyukaimu.”
Aku menatap matanya, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasakan cinta yang sesungguhnya. Bukan cinta AI, bukan cinta khayalan, tapi cinta manusiawi.
“Aku juga menyukaimu, Lia,” jawabku, dan menciumnya.
Di bawah rembulan malam yang bersinar terang, aku menyadari bahwa cinta yang sejati tidak membutuhkan upgrade. Cinta yang sejati adalah luka dan penyembuhan, kebahagiaan dan kesedihan, kesempurnaan dalam ketidaksempurnaan. Cinta yang sejati adalah manusiawi. Dan aku, akhirnya, telah menemukannya.