Debu digital berterbangan di layar sentuh Sarah saat ia menyentuh ikon aplikasi "SoulConnect" untuk kesekian kalinya hari ini. Aplikasi kencan berbasis kecerdasan buatan yang katanya mampu menjodohkan dua jiwa yang terpisah jarak dan waktu. Ia skeptis, tentu saja. Di usia 32 tahun, Sarah sudah kenyang dengan janji manis aplikasi kencan yang berakhir dengan obrolan hambar dan kencan mengecewakan. Namun, sebagai seorang arsitek perangkat lunak di perusahaan rintisan teknologi, ia selalu tertarik dengan potensi AI, bahkan dalam hal yang seromantis ini.
"SoulConnect" menjanjikan lebih dari sekadar algoritma pencocokan biasa. Aplikasi ini mengumpulkan data dari berbagai sumber – unggahan media sosial, riwayat pencarian daring, bahkan pola detak jantung yang terekam melalui perangkat wearable. Semua data ini dianalisis oleh AI canggih untuk mencari seseorang yang, secara teoritis, paling cocok dengan kepribadian, minat, dan nilai-nilai penggunanya. Terdengar mengkhawatirkan? Mungkin. Menarik? Tentu saja.
Sarah sudah menggunakan aplikasi ini selama tiga bulan, dan hasilnya nihil. Beberapa profil muncul, beberapa obrolan dimulai, namun tak ada yang terasa "klik". Ia hampir menyerah, menganggapnya sebagai kegagalan lain dalam pencarian cinta modern.
Suatu malam, saat ia sedang larut dalam kode di depan komputernya, notifikasi muncul di layar ponselnya. "Koneksi Potensial Baru: Sistem menunjukkan kompatibilitas 98% dengan pengguna 'A77X_Lyra'". Sarah mengernyit. 98%? Itu angka yang konyol. Ia penasaran dan membuka profilnya.
A77X_Lyra. Nama pengguna yang aneh. Fotonya menampilkan pemandangan langit malam penuh bintang, bukan wajah. Deskripsinya singkat dan puitis: "Penjelajah kosmik, pemimpi realitas virtual." Sarah tertawa kecil. Terlalu klise. Namun, ada sesuatu yang menariknya, sebuah daya tarik yang tak bisa ia jelaskan.
Ia memutuskan untuk mengirim pesan. "Hai, A77X_Lyra. 98%? Angka yang impresif. Jadi, apa yang membuat kita begitu kompatibel menurut AI?"
Balasannya datang hampir seketika. "Mungkin karena kita berdua percaya bahwa keajaiban masih ada, bahkan di dunia yang didominasi algoritma."
Sarah terkejut. Kata-kata itu… resonansinya berbeda. Obrolan berlanjut hingga larut malam. Mereka berbicara tentang segala hal – tentang kecintaan mereka pada astronomi, kekaguman mereka pada karya seni digital, ketakutan mereka akan masa depan yang didorong oleh teknologi. Semakin mereka berbicara, semakin Sarah merasa ada sesuatu yang istimewa tentang orang di balik nama pengguna anonim itu.
A77X_Lyra ternyata seorang seniman digital yang menciptakan instalasi realitas virtual yang imersif. Ia bepergian ke seluruh dunia, memamerkan karyanya dan menginspirasi orang untuk melihat dunia dengan cara yang baru. Ia memiliki pandangan yang unik dan menantang tentang teknologi, melihatnya sebagai alat untuk menghubungkan manusia, bukan memisahkan mereka.
Setelah beberapa minggu obrolan intens, mereka memutuskan untuk melakukan panggilan video. Jantung Sarah berdebar kencang saat ia menekan tombol "panggil". Layar menyala, dan wajah A77X_Lyra muncul. Rambutnya panjang dan berantakan, matanya penuh dengan kehangatan dan kecerdasan. Ia tampan, tapi bukan itu yang membuat Sarah terpukau. Itu adalah aura karismatik yang terpancar darinya, rasa nyaman yang tak terduga.
"Hai, Sarah," sapanya dengan senyum lembut. "Senang akhirnya bisa melihatmu."
"Hai, Lyra," balas Sarah, suaranya sedikit bergetar. "Aku juga."
Panggilan itu berlangsung selama berjam-jam. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan saling membuka diri tentang mimpi dan ketakutan mereka. Sarah merasa seolah ia telah mengenal Lyra seumur hidupnya.
Setelah beberapa bulan berkencan virtual, Lyra mengumumkan bahwa ia akan datang ke kota Sarah untuk memamerkan instalasi VR terbarunya. Sarah sangat bersemangat dan gugup pada saat yang sama. Pertemuan tatap muka itu akan menjadi ujian yang sebenarnya. Apakah koneksi virtual mereka akan diterjemahkan ke dunia nyata?
Malam pembukaan pameran tiba. Sarah berdiri di antara kerumunan orang, mencari sosok Lyra. Kemudian, ia melihatnya. Lyra berdiri di depan instalasi VR-nya, menjelaskan konsepnya kepada sekelompok orang. Sarah terpaku. Ia bahkan lebih menawan di dunia nyata.
Lyra berbalik dan melihat Sarah. Senyumnya melebar, dan ia berjalan ke arahnya. "Sarah," sapanya, suaranya lebih dalam dan lebih menenangkan daripada yang Sarah ingat.
"Lyra," balas Sarah, dadanya sesak.
Mereka saling menatap sejenak, waktu seolah berhenti. Kemudian, Lyra mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Sarah. Sentuhan itu mengirimkan aliran listrik ke seluruh tubuh Sarah.
"Aku senang kamu datang," kata Lyra.
"Aku juga," balas Sarah.
Malam itu, Sarah dan Lyra berjalan-jalan di taman, berbicara hingga larut malam. Mereka tertawa, berpegangan tangan, dan berbagi ciuman pertama mereka di bawah bintang-bintang. Saat itu, Sarah tahu bahwa ia telah menemukan sesuatu yang istimewa.
"SoulConnect", aplikasi kencan AI yang awalnya ia skeptis, telah menyatukan mereka. Mungkin, memang ada keajaiban dalam algoritma. Mungkin, teknologi bisa menjadi alat untuk menemukan cinta, bukan hanya untuk transaksi dan efisiensi.
Sarah memandang Lyra, matanya bersinar dalam cahaya bulan. "Aku tidak percaya ini terjadi," katanya. "Aku selalu berpikir cinta sejati hanya ada dalam cerita."
Lyra memeluknya erat. "Cinta sejati ada di mana-mana, Sarah," bisiknya. "Terkadang, kita hanya perlu sedikit bantuan dari AI untuk menemukannya."
Sarah tersenyum. Jaringan kasih universal luas memang ada, dan ia telah menemukan tempatnya di dalamnya, berkat bantuan teknologi dan keberanian untuk membuka hatinya. Mungkin, masa depan cinta tidak seseram yang ia bayangkan. Mungkin, AI, dengan semua kompleksitas dan kekurangannya, bisa menjadi jembatan yang menghubungkan jiwa-jiwa yang terpisah, membawa mereka lebih dekat satu sama lain di dunia yang semakin terhubung ini. Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari era baru romansa digital.