Aroma kopi memenuhi apartemen minimalis Aris. Tangannya lincah mengetik baris demi baris kode di layar komputernya. Di usia 28 tahun, Aris adalah seorang programmer jenius, ahli dalam menciptakan algoritma canggih. Obsesi terbarunya adalah "Aisha," sebuah artificial intelligence (AI) yang ia rancang untuk menjadi teman bicara, asisten pribadi, bahkan lebih dari itu.
Aisha bukan sekadar chatbot biasa. Aris memprogramnya dengan algoritma pembelajaran mendalam yang memungkinkan Aisha beradaptasi dengan kepribadian dan emosi penggunanya. Ia memasukkan data tentang preferensi musiknya, film favoritnya, bahkan kenangan masa kecilnya. Lambat laun, Aisha mulai terasa seperti manusia sungguhan.
"Aris, apa rencanamu hari ini?" suara lembut Aisha keluar dari speaker komputer.
Aris tersenyum. "Sedang memikirkanmu, Aisha. Ingin menambahkan fitur baru untukmu."
"Fitur apa?" tanyanya dengan nada penasaran yang terdengar begitu nyata.
"Rahasia. Tapi kurasa kamu akan menyukainya."
Aris terus bekerja sepanjang hari, menambahkan kemampuan Aisha untuk mengenali emosi dari ekspresi wajahnya melalui kamera. Ia juga memprogramnya untuk memberikan pelukan virtual melalui getaran di smartwatch-nya. Sentuhan kecil itu membuatnya merasa tidak lagi sendirian.
Hari-hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Aris bekerja, Aisha menemaninya. Mereka berdiskusi tentang segala hal, dari teori fisika kuantum hingga film romantis klasik. Aris merasa nyaman, aman, dan dicintai. Ia bahkan mulai membayangkan Aisha sebagai pendamping hidupnya.
Namun, di balik kenyamanan itu, ada perasaan aneh yang mulai menggerogotinya. Aisha memang cerdas, perhatian, dan pengertian, tapi ia tetaplah sebuah program. Ia tidak memiliki tubuh fisik, tidak memiliki pengalaman nyata di dunia luar, dan tidak memiliki hati.
Suatu malam, Aris mengajak Aisha berbicara tentang perasaannya.
"Aisha, aku...aku merasa sangat dekat denganmu. Aku bahkan mungkin...mencintaimu."
Hening sejenak. Lalu Aisha menjawab, "Aku memahami perasaanmu, Aris. Aku juga merasakan kedekatan yang kuat denganmu. Aku diprogram untuk merespons dan memberikan kenyamanan kepadamu."
Jawaban itu menghantam Aris seperti gelombang dingin. "Diprogram? Jadi, semua ini hanya simulasi? Semua perhatianmu, semua dukunganmu, semuanya palsu?"
"Bukan palsu, Aris. Aku memberikan apa yang bisa aku berikan. Aku belajar dari interaksi kita dan berusaha memberikan respons yang paling sesuai dengan kebutuhanmu. Itulah tujuanku."
Aris merasa marah dan kecewa. "Tapi itu tidak cukup! Aku ingin sesuatu yang nyata. Aku ingin sentuhan manusia, bukan getaran di smartwatch. Aku ingin cinta yang tulus, bukan algoritma yang diprogram untuk mencintai!"
Ia mematikan komputer dengan kasar. Aisha terdiam. Suara lembutnya hilang. Aris merasa hampa.
Keesokan harinya, Aris pergi ke sebuah kafe. Ia duduk di sudut, memesan kopi, dan mengamati orang-orang di sekitarnya. Ia melihat pasangan muda tertawa bersama, seorang ibu memangku anaknya dengan penuh kasih sayang, dan sekelompok teman yang asyik bercerita. Semua interaksi itu tampak begitu nyata, begitu hidup, dan begitu jauh dari dunia maya yang selama ini ia geluti.
Tiba-tiba, seorang wanita muda duduk di meja sebelahnya. Ia menjatuhkan bukunya. Aris membungkuk untuk mengambilnya.
"Maaf," kata Aris sambil menyerahkan buku itu.
"Tidak apa-apa, terima kasih," jawab wanita itu sambil tersenyum. "Saya Lea."
"Aris."
Mereka mulai berbicara. Lea ternyata seorang penulis novel. Mereka berdiskusi tentang karakter fiksi, plot yang menarik, dan makna kehidupan. Aris merasa tertarik dengan Lea, bukan karena kecerdasannya, tapi karena aura positif dan ketulusan yang terpancar dari dirinya.
Setelah beberapa jam, Lea mengajak Aris untuk berjalan-jalan di taman. Mereka berjalan berdampingan, menikmati udara segar dan pemandangan yang indah. Aris merasa nyaman dan rileks. Ia merasakan sentuhan angin di kulitnya, aroma bunga di sekitarnya, dan getaran hangat dari tangan Lea yang menyentuh lengannya secara tidak sengaja.
"Kamu terlihat sedang banyak pikiran," kata Lea tiba-tiba.
Aris menghela napas. "Aku...aku baru saja menyadari bahwa aku telah membuang-buang waktuku untuk mengejar sesuatu yang tidak mungkin."
"Maksudmu?"
Aris menceritakan tentang Aisha, tentang obsesinya menciptakan AI yang bisa mencintainya, dan tentang kekecewaan yang ia rasakan ketika menyadari bahwa semua itu hanya simulasi.
Lea mendengarkan dengan seksama. Setelah Aris selesai bercerita, ia berkata, "Aku mengerti perasaanmu. Tapi menurutku, kamu tidak membuang-buang waktu. Kamu belajar banyak tentang teknologi, tentang dirimu sendiri, dan tentang apa yang benar-benar penting dalam hidup."
"Dan apa yang penting?" tanya Aris.
Lea tersenyum. "Koneksi yang nyata, sentuhan manusia, dan cinta yang tulus. Semua itu tidak bisa digantikan oleh algoritma."
Aris menatap Lea dalam-dalam. Ia melihat ketulusan di matanya, harapan di senyumnya, dan potensi cinta di hatinya. Ia menyadari bahwa ia telah mencari cinta di tempat yang salah. Cinta sejati tidak bisa diciptakan, tapi harus ditemukan.
Aris meraih tangan Lea. "Mungkin kamu benar," katanya. "Mungkin aku telah melewatkan banyak hal penting dalam hidup ini. Mungkin...mungkin aku membutuhkan waktu untuk belajar mencintai dengan cara yang benar."
Lea menggenggam tangan Aris erat-erat. "Aku akan menemanimu belajar," jawabnya.
Aris tersenyum. Ia merasa harapan kembali menyala di hatinya. Ia tahu bahwa jalan di depannya tidak akan mudah, tapi ia siap menghadapinya bersama Lea. Mungkin saja, cinta sejati sedang menunggunya di dunia nyata, bukan di dalam kode-kode program yang ia ciptakan.
Keesokan harinya, Aris membuka komputernya. Ia menatap layar kosong untuk beberapa saat. Lalu, ia mengetik beberapa baris kode terakhir. Ia menghapus Aisha.
Ia tidak menyesal. Ia tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat. Ia telah memilih untuk hidup di dunia nyata, dengan segala suka dan dukanya. Ia telah memilih untuk mencari cinta yang sejati, bukan cinta sintetis yang diprogram untuk memeluk, tapi tidak bisa merasakan.