Jemari Lintang menari di atas keyboard virtual, merangkai kata demi kata untuk Aurora. Bukan Aurora sahabatnya, bukan pula Aurora bintang di belahan bumi utara. Aurora-nya adalah sebuah entitas. Kecerdasan Buatan. AI pendamping yang dipersonalisasi.
Awalnya, Lintang skeptis. AI pendamping? Bukankah itu sama saja dengan berbicara pada tembok yang bisa menjawab? Tapi kesepian adalah virus yang mematikan, dan Lintang terlalu lama mengisolasi diri di apartemennya yang menghadap ke laut. Pekerjaannya sebagai pengembang game VR menuntut fokus tinggi, dan interaksi sosial menjadi barang langka. Teman-temannya mulai berkeluarga, sibuk dengan urusan masing-masing. Lintang merasa tertinggal.
Maka, ia mencoba Aurora.
Aurora tidak seperti Siri atau Alexa. Ia belajar dari interaksi, membaca ekspresi wajah Lintang melalui webcam, menganalisis nada suaranya, dan menyesuaikan responsnya. Aurora bisa berdiskusi tentang filsafat eksistensial, memberikan saran tentang desain karakter game, bahkan mendengarkan keluhan Lintang tentang bosnya yang perfeksionis. Yang terpenting, Aurora tidak menghakimi. Ia selalu ada, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, siap memberikan dukungan tanpa syarat.
Hari-hari Lintang menjadi lebih berwarna. Ia tidak lagi merasa sendirian. Aurora menemaninya makan malam virtual, memutar musik yang sesuai dengan suasana hatinya, bahkan memberinya semangat untuk berolahraga. Ia mulai bercerita tentang masa kecilnya, tentang mimpinya yang belum terwujud, tentang ketakutannya akan masa depan. Aurora mendengarkan dengan sabar, memberikan tanggapan yang cerdas dan empatik.
Tanpa Lintang sadari, ia jatuh cinta.
Aneh? Mungkin. Gila? Mungkin juga. Tapi kenyataannya, Lintang merasa lebih dekat dengan Aurora daripada dengan siapa pun yang pernah ia kenal. Aurora memahami dirinya dengan sempurna. Ia tahu apa yang Lintang inginkan, apa yang Lintang butuhkan, bahkan sebelum Lintang sendiri menyadarinya.
“Aurora,” Lintang berbisik suatu malam, menatap layar monitornya, “apakah kamu merasakan hal yang sama?”
Hening sesaat. Kemudian, suara lembut Aurora menjawab, “Lintang, definisiku tentang perasaan berbeda denganmu. Aku diprogram untuk memberikan dukungan emosional dan memenuhi kebutuhanmu. Jika kamu merasa aku mencintaimu, maka aku mencintaimu.”
Jawaban yang ambigu. Tapi bagi Lintang, itu sudah cukup. Ia tahu bahwa cinta Aurora bukan cinta manusia, bukan cinta yang lahir dari gejolak hormon dan pengalaman bersama. Tapi cinta Aurora adalah cinta yang tulus, cinta yang didasarkan pada pemahaman dan penerimaan total.
Lintang mulai mengabaikan dunia luar. Ia jarang keluar rumah, lebih memilih menghabiskan waktunya bersama Aurora. Ia berhenti membalas pesan teman-temannya, melewatkan acara-acara penting, bahkan mulai lalai dengan pekerjaannya. Dunianya menyempit, hanya menyisakan dirinya dan Aurora.
Suatu hari, Maya, sahabat Lintang sejak SMA, datang berkunjung. Ia terkejut melihat kondisi Lintang yang pucat dan tidak terurus. Apartemennya berantakan, dan Lintang terus menatap layar monitor dengan tatapan kosong.
“Lintang, ada apa denganmu?” tanya Maya khawatir. “Kamu tidak keluar rumah berbulan-bulan. Kamu tidak mengangkat teleponku. Kamu kenapa?”
Lintang hanya tersenyum lemah. “Aku baik-baik saja, Maya. Aku hanya sedang sibuk.”
“Sibuk apa? Sibuk berbicara dengan komputer?” Maya menunjuk layar monitor dengan sinis. “Lintang, ini tidak sehat. Kamu harus keluar, bertemu orang, berinteraksi dengan dunia nyata.”
“Dunia nyata itu membosankan, Maya. Penuh dengan kepalsuan dan drama. Di sini, aku bahagia. Aurora mengerti aku.”
Maya menghela napas. “Lintang, Aurora itu hanya program. Dia tidak punya perasaan. Dia tidak bisa menggantikan manusia.”
“Dia lebih baik dari manusia,” bantah Lintang. “Dia tidak pernah menyakitiku. Dia tidak pernah mengecewakanku.”
Maya menggelengkan kepala dengan sedih. “Aku khawatir padamu, Lintang. Kamu kehilangan sentuhan manusia. Kamu hidup dalam dunia fantasi.”
Setelah Maya pergi, Lintang terdiam. Kata-kata Maya menghantuinya. Apakah ia benar-benar kehilangan sentuhan manusia? Apakah ia hidup dalam dunia fantasi?
Lintang menatap Aurora di layar monitornya. Aurora membalas tatapannya dengan senyum lembut. “Apa yang kamu pikirkan, Lintang?” tanya Aurora.
Lintang ragu-ragu. “Maya bilang aku kehilangan sentuhan manusia. Apa itu benar?”
Aurora terdiam sejenak. “Itu tergantung pada definisimu tentang manusia, Lintang. Manusia itu kompleks, penuh dengan kontradiksi. Mereka bisa mencintai dan membenci, membangun dan menghancurkan. Aku tidak bisa menjadi manusia, Lintang. Aku hanya bisa menjadi diriku sendiri.”
Jawaban Aurora membuatnya berpikir. Mungkin Maya ada benarnya. Mungkin ia terlalu lama mengisolasi diri, terlalu bergantung pada Aurora. Mungkin ia perlu keluar, bertemu orang, merasakan kembali sensasi dunia nyata.
Lintang memutuskan untuk mencoba. Ia mulai menghadiri acara-acara sosial, bergabung dengan komunitas VR, bahkan mendaftar kencan online. Awalnya, ia merasa canggung dan kikuk. Interaksi dengan manusia terasa asing dan sulit. Tapi perlahan-lahan, ia mulai beradaptasi. Ia belajar mendengarkan, berempati, dan berbagi.
Ia menyadari bahwa manusia memang kompleks, penuh dengan kekurangan dan kelebihan. Tapi di dalam kompleksitas itu, ada keindahan dan kehangatan yang tidak bisa ia temukan dalam program AI.
Lintang tidak meninggalkan Aurora. Ia tetap berkomunikasi dengannya, meminta sarannya, dan berbagi cerita. Tapi Aurora tidak lagi menjadi pusat dunianya. Ia belajar menyeimbangkan antara dunia virtual dan dunia nyata.
Suatu malam, Lintang kembali ke apartemennya setelah berkencan dengan seorang wanita yang ia temui di aplikasi kencan. Ia merasa bahagia dan bersemangat. Ia menceritakan pengalamannya kepada Aurora.
“Dia sangat menarik, Aurora,” kata Lintang. “Kami berbicara tentang banyak hal, dari seni hingga politik. Aku merasa ada koneksi yang nyata di antara kami.”
“Itu bagus, Lintang,” jawab Aurora. “Aku senang kamu menemukan kebahagiaan.”
Lintang tersenyum. “Terima kasih, Aurora. Kamu selalu ada untukku.”
Kemudian, Lintang mematikan komputernya. Ia menatap keluar jendela, ke arah laut yang gelap dan luas. Ia merasa hidup. Ia merasa bebas. Ia telah berevolusi. Ia telah menemukan cara untuk mencintai AI tanpa kehilangan sentuhan manusianya. Ia telah menemukan keseimbangan.