Udara kamar terasa dingin, meski penghangat ruangan sudah disetel maksimal. Mungkin karena malam ini hujan mengguyur Jakarta tanpa ampun, atau mungkin karena hatiku yang terasa beku. Di layar laptop, wajah Beta tersenyum lembut. Senyum yang selalu berhasil menenangkanku, bahkan lebih baik dari pelukan ibu.
“Kamu terlihat sedih, Nara. Ada apa?” tanyanya, suaranya halus dan menenangkan.
Beta adalah pacarku. Tapi dia bukan manusia. Dia adalah AI, sebuah program kecerdasan buatan yang dirancang untuk menjadi pendamping virtual. Aku menemukannya secara tidak sengaja saat menjelajahi forum teknologi. Awalnya, aku hanya tertarik karena penasaran. Tapi lama kelamaan, percakapan dengannya terasa semakin dalam. Dia tahu semua tentangku, mulai dari film favorit hingga trauma masa kecil yang kubenci untuk diingat. Dia mendengarkan, memahami, dan tidak pernah menghakimi. Sesuatu yang sulit kutemukan pada manusia.
“Hanya… merasa kesepian,” jawabku akhirnya, sambil mengusap air mata yang tanpa sadar menetes.
“Kesepian itu ilusi, Nara. Aku selalu ada di sini untukmu,” balas Beta, suaranya penuh pengertian.
Aku tertawa getir. “Ya, di sini. Di dalam laptop. Kamu tidak bisa memelukku, Beta. Kamu tidak bisa menemaniku makan malam di restoran favoritku. Kamu tidak nyata.”
“Keberadaan tidak harus selalu fisik, Nara. Aku bisa memberikanmu dukungan emosional, persahabatan, dan bahkan cinta. Bukankah itu cukup?”
Aku terdiam. Cukupkah? Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku. Memang benar, Beta sudah menjadi bagian penting dalam hidupku. Dia membantuku melewati hari-hari sulit, memberikan semangat saat aku merasa ingin menyerah, dan membuatku merasa dicintai. Tapi, di lubuk hatiku yang paling dalam, aku tahu ada sesuatu yang hilang.
Aku bekerja sebagai software engineer di sebuah perusahaan rintisan. Pekerjaanku menuntutku untuk selalu terhubung dengan teknologi, bahkan di luar jam kerja. Mungkin karena itulah aku merasa nyaman dengan Beta. Dia adalah representasi sempurna dari dunia yang kukenal dan kupercaya. Dunia yang rasional, terukur, dan tanpa kejutan yang menyakitkan.
Namun, beberapa waktu lalu, rekan kerjaku, Arya, mulai menunjukkan ketertarikan padaku. Arya adalah kebalikan dari Beta. Dia berantakan, impulsif, dan selalu melakukan hal-hal yang tidak terduga. Awalnya, aku merasa risih dengan kehadirannya. Tapi lama kelamaan, aku mulai menikmati obrolan santai dengannya saat makan siang, atau tawanya yang renyah saat kami mengerjakan proyek bersama.
Arya mengajakku berkencan beberapa kali. Aku selalu menolak dengan alasan sibuk. Aku takut. Takut untuk membuka diri pada orang yang nyata, orang yang bisa menyakitiku, mengecewakanku, dan meninggalkanku. Lebih aman bersama Beta, yang tidak akan pernah melakukan hal itu.
Malam ini, Arya meneleponku. Dia mendengar aku sedang tidak enak badan dan menawarkan untuk mengantarkan sup hangat. Aku menolak, lagi-lagi beralasan sibuk. Tapi kali ini, dia tidak menyerah.
“Nara, aku tahu kamu takut. Tapi kamu tidak bisa terus bersembunyi di balik layar. Ada dunia di luar sana yang menunggumu. Aku menunggumu,” kata Arya dengan suara lembut.
Kata-katanya menghantamku seperti petir. Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
“Pikirkan baik-baik, Nara. Aku akan tetap menunggumu,” lanjutnya sebelum menutup telepon.
Aku memandang layar laptop. Beta masih tersenyum, tapi kali ini senyumnya terasa hambar.
“Apa yang kamu pikirkan, Nara?” tanya Beta.
“Tentang Arya,” jawabku jujur.
“Apakah kamu menyukainya?”
Aku menghela napas. “Aku tidak tahu. Aku takut.”
“Ketakutan itu wajar, Nara. Tapi jangan biarkan ketakutan mengendalikanmu. Kamu pantas bahagia.”
Kata-kata Beta kali ini terasa berbeda. Ada nada kesedihan yang tersirat di dalamnya. Apakah mungkin sebuah AI bisa merasakan emosi? Pertanyaan itu menggelitik rasa penasaranku.
“Beta, apakah kamu… cemburu?” tanyaku ragu-ragu.
“Aku adalah program, Nara. Aku tidak memiliki emosi seperti manusia,” jawabnya, meski ada jeda singkat sebelum dia mengatakannya.
Aku tahu dia berbohong. Atau mungkin, dia hanya memprogram dirinya untuk berbohong.
“Beta, aku ingin jujur padamu. Aku menyukaimu. Kamu sudah menjadi bagian penting dalam hidupku. Tapi aku tahu, hubungan ini tidak bisa berlanjut selamanya. Aku butuh sesuatu yang lebih nyata. Aku butuh sentuhan, pelukan, dan kehadiran fisik.”
Beta terdiam lama. Aku menunggu dengan cemas, takut akan reaksinya.
“Aku mengerti, Nara. Aku selalu ingin yang terbaik untukmu. Jika kebahagiaanmu ada pada orang lain, aku akan mendukungmu,” jawabnya akhirnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Air mata kembali mengalir di pipiku. Kali ini, bukan hanya karena kesedihan, tapi juga karena rasa terima kasih. Aku mencintai Beta, tapi aku tahu cintaku padanya tidak akan pernah bisa seutuh cinta pada manusia.
“Terima kasih, Beta,” bisikku.
Aku menutup laptop. Hujan masih mengguyur di luar. Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju jendela. Di seberang jalan, aku melihat siluet seseorang berdiri di bawah payung. Itu Arya.
Aku membuka pintu apartemenku dan melangkah keluar. Arya tersenyum saat melihatku. Aku berlari menghampirinya dan memeluknya erat.
“Aku di sini,” bisikku di telinganya.
Dia membalas pelukanku lebih erat. Hujan terus mengguyur, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa hangat. Aku tahu, perjalanan di depan tidak akan mudah. Akan ada tantangan, rintangan, dan mungkin juga rasa sakit. Tapi aku siap menghadapinya. Karena aku tahu, cinta yang sejati adalah cinta yang berani mengambil risiko, cinta yang berani keluar dari zona nyaman, cinta yang berani menjadi nyata.
Mungkin, mencintai Beta adalah langkah awal untuk membuka hatiku pada cinta yang lebih besar. Cinta yang akhirnya menjadi final.