Jemari Maya menari di atas layar ponsel, menggeser-geser profil demi profil. Aplikasi kencan "SoulMate AI" menjanjikan kecocokan sempurna berdasarkan algoritma rumit yang menganalisis kepribadian, minat, bahkan gelombang otak. Katanya, SoulMate AI tahu apa yang diinginkan hatinya lebih baik daripada dirinya sendiri. Maya dulu skeptis, tapi setelah serangkaian kencan daring yang hambar dan mengecewakan, ia memutuskan untuk menyerah pada kekuatan algoritma.
Setelah seminggu penuh pengisian kuesioner mendalam dan sesi pemindaian otak singkat di sebuah klinik futuristik, SoulMate AI akhirnya menampilkan satu nama: Adrian. Profilnya sempurna. Dokter hewan, pecinta buku, pendaki gunung, dan punya selera humor yang sama dengannya. Foto-fotonya menampilkan senyum tulus dan mata yang berbinar. "Kecocokan 98%," tertera di bawah fotonya. Maya menelan ludah. 98%. Angka yang fantastis.
Mereka mulai berkirim pesan, obrolan mengalir lancar seolah mereka sudah saling kenal bertahun-tahun. Adrian cerdas, lucu, dan perhatian. Maya terhanyut dalam percakapan mereka, merasa koneksi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mereka bertukar cerita tentang masa kecil, mimpi-mimpi, dan ketakutan-ketakutan. Algoritma itu benar, pikir Maya. Adrian adalah versi ideal dari pria yang selalu ia impikan.
Kencan pertama mereka di sebuah kedai kopi kecil di pinggir kota. Adrian persis seperti di foto, bahkan lebih menarik. Tatapannya hangat, suaranya menenangkan, dan ia benar-benar mendengarkan apa yang Maya katakan. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan waktu seolah berhenti berputar. Maya merasa nyaman, aman, dan bahagia. Ini pasti dia, pikirnya.
Minggu-minggu berikutnya dipenuhi kencan yang menyenangkan. Mereka mendaki gunung, menonton film indie di bioskop kecil, mengunjungi pameran seni, dan bahkan mencoba kelas memasak bersama. Setiap momen terasa sempurna, seperti adegan dalam film romantis. Adrian selalu tahu bagaimana membuatnya tertawa, bagaimana menghiburnya saat ia sedih, dan bagaimana membuatnya merasa dicintai.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, ada bisikan kecil keraguan yang mulai mengganggu pikiran Maya. Terlalu sempurna. Semuanya terasa begitu terencana, begitu terprogram. Seolah Adrian adalah karakter yang diciptakan khusus untuk memenuhi semua fantasinya. Tidak ada kejutan, tidak ada ketidaksempurnaan, tidak ada tantangan.
Suatu malam, setelah makan malam romantis di sebuah restoran mewah, Adrian membawanya ke sebuah taman yang diterangi lampu-lampu temaram. Ia berlutut dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil. Maya terkejut. Terlalu cepat. Mereka baru berkencan selama beberapa bulan. Tapi melihat mata Adrian yang penuh cinta, ia merasa ragu untuk menolak.
"Maya," kata Adrian dengan suara bergetar, "sejak pertama kali kita bertemu, aku tahu kamu adalah orang yang aku cari selama ini. Kamu melengkapi diriku, membuatku menjadi versi terbaik dari diriku. Maukah kamu menikah denganku?"
Air mata menggenang di pelupuk mata Maya. Ia seharusnya merasa bahagia, sangat bahagia. Tapi yang ia rasakan justru kebingungan dan ketakutan. Ia memandang Adrian, wajahnya yang penuh harapan, matanya yang berbinar. Ia memandang cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya bulan. Ia memandang masa depan yang tampak begitu sempurna, begitu terencana, begitu… membosankan.
"Adrian," kata Maya dengan suara pelan, "aku… aku tidak tahu."
Wajah Adrian langsung berubah. Kebingungan dan kekecewaan terpancar dari matanya. "Apa maksudmu? Aku kira… aku kira kita punya koneksi yang kuat. SoulMate AI bilang kita 98% cocok."
Kata-kata itu bagai tamparan di wajah Maya. 98% cocok. Algoritma. Apakah itu yang menjadi dasar hubungan mereka? Apakah perasaan yang ia rasakan selama ini hanya ilusi yang diciptakan oleh kecanggihan teknologi?
"Adrian," kata Maya, suaranya semakin bergetar, "aku rasa kita harus jujur pada diri sendiri. Apakah ini benar-benar cinta? Atau hanya hasil dari algoritma?"
Adrian terdiam. Ia menundukkan kepalanya, tampak berpikir keras. Akhirnya, ia mengangkat wajahnya dan menatap Maya dengan tatapan sedih. "Aku… aku tidak tahu lagi," katanya. "Aku sangat mencintaimu, Maya. Tapi aku tidak tahu apakah itu karena aku benar-benar mencintaimu, atau karena SoulMate AI menyuruhku untuk mencintaimu."
Malam itu berakhir dengan air mata dan kebingungan. Maya pulang ke rumah dengan hati hancur. Ia memandang ponselnya, ikon aplikasi SoulMate AI yang tampak mencemoohnya. Ia ingin menghapusnya, menghancurkannya, melenyapkan semua bukti bahwa ia pernah mempercayai algoritma bodoh itu.
Namun, ia tidak melakukannya. Ia tahu bahwa masalahnya bukan pada aplikasi itu, tapi pada dirinya sendiri. Ia terlalu bergantung pada teknologi untuk mencari kebahagiaan. Ia lupa bahwa cinta tidak bisa dihitung, tidak bisa diprogram, tidak bisa diprediksi. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh secara alami, dengan segala ketidaksempurnaannya, dengan segala tantangannya, dengan segala kejutan yang tak terduga.
Keesokan harinya, Maya menghubungi Adrian. Mereka bertemu di kedai kopi yang sama tempat mereka pertama kali berkencan. Mereka berbicara jujur, terbuka, dan rentan. Mereka mengakui bahwa mereka saling menyayangi, tetapi mereka juga menyadari bahwa hubungan mereka terlalu bergantung pada algoritma. Mereka memutuskan untuk berpisah, untuk mencari cinta sejati yang tidak didikte oleh teknologi.
Maya menghapus aplikasi SoulMate AI dari ponselnya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi mempercayai algoritma dalam urusan hati. Ia akan mencari cinta dengan cara yang alami, dengan hati yang terbuka, dan dengan keberanian untuk menghadapi segala ketidaksempurnaan. Ia tahu bahwa perjalanan itu tidak akan mudah, tapi ia yakin bahwa suatu hari nanti, ia akan menemukan cinta sejati yang akan membuatnya bahagia, bukan hanya 98%, tapi 100%.