Kode Erosi: Mencari Cinta, Menemukan Algoritma Kesepian?

Dipublikasikan pada: 10 Sep 2025 - 00:40:15 wib
Dibaca: 128 kali
Jari-jemarinya menari di atas keyboard, memprogram baris demi baris kode. Cahaya biru dari layar laptop memantul di wajah Ava, menerangi lingkaran hitam di bawah matanya. Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi, tapi ia masih berkutat dengan proyek terbarunya: sebuah aplikasi kencan berbasis AI yang ia beri nama "Soulmate Alchemist". Ironis, pikirnya, menciptakan algoritma cinta sementara dirinya sendiri terjerat dalam labirin kesepian.

Ava adalah seorang programmer jenius, lulusan terbaik dari universitas ternama. Di usia 27, ia sudah memiliki portofolio aplikasi yang mengagumkan. Namun, dalam urusan hati, ia merasa seperti pemula yang gagap. Ia lebih nyaman berinteraksi dengan barisan kode daripada dengan manusia sungguhan. Kencan online selalu berakhir dengan kekecewaan, dan obrolan santai terasa canggung dan dipaksakan.

"Soulmate Alchemist" adalah usahanya untuk mengatasi masalah ini. Aplikasi ini bukan sekadar mencocokkan profil berdasarkan hobi dan minat. Aplikasi ini menggunakan algoritma kompleks yang menganalisis pola komunikasi, preferensi emosional, dan bahkan ekspresi wajah untuk menemukan kecocokan yang lebih dalam. Ia berharap, aplikasi ini bisa menjadi jembatan baginya dan orang lain untuk menemukan cinta sejati.

Namun, semakin dalam ia menyelami kode, semakin ia merasa terjebak. Algoritma yang ia ciptakan terasa dingin dan impersonal. Ia mulai bertanya-tanya, bisakah cinta yang begitu kompleks dan penuh nuansa benar-benar direduksi menjadi serangkaian angka dan persamaan? Bisakah algoritma benar-benar memahami keinginan hati?

Suatu malam, saat sedang menguji aplikasi, ia menemukan sebuah anomali. Algoritma "Soulmate Alchemist" justru mencocokkannya dengan profil pengguna yang hampir identik dengannya. Keduanya sama-sama programmer, penyuka kopi hitam, dan memiliki selera humor yang sarkastik. Nama pengguna itu "Cipher".

Ava penasaran. Ia mengirim pesan kepada Cipher, "Kau tahu, algoritma ini benar-benar jenius. Atau mungkin, kita berdua terlalu membosankan sehingga mudah diprediksi."

Balasan datang hampir seketika. "Mungkin keduanya. Atau mungkin, kita ditakdirkan untuk saling mengasihani satu sama lain karena kesamaan kita."

Percakapan mereka mengalir dengan lancar. Mereka membahas kode, bug, dan frustrasi menjadi seorang programmer. Mereka tertawa bersama tentang kencan-kencan gagal mereka dan saling bertukar rekomendasi film sci-fi. Ava merasa nyaman berbagi pikirannya dengan Cipher, sesuatu yang jarang ia rasakan dengan orang lain.

Setelah beberapa minggu, Ava memutuskan untuk bertemu Cipher secara langsung. Ia gugup, takut bahwa pertemuan ini akan menghancurkan ilusi yang telah ia bangun. Namun, ia juga merasa penasaran. Siapa sebenarnya Cipher ini? Apakah ia akan menemukan jawaban atas pertanyaannya tentang cinta dan algoritma?

Mereka bertemu di sebuah kedai kopi kecil yang terletak di dekat kantor Ava. Saat Cipher tiba, Ava terkejut. Dia tidak setampan model di sampul majalah, tetapi ada sesuatu yang menarik dalam dirinya. Matanya cerdas dan hangat, dan senyumnya tulus.

"Ava?" sapanya, suaranya sedikit serak.

"Cipher?" jawab Ava, merasa sedikit terkejut dengan betapa nyamannya ia merasa.

Mereka memesan kopi dan mulai berbicara. Awalnya, percakapan terasa sedikit kaku, tetapi perlahan-lahan mencair. Mereka berbicara tentang "Soulmate Alchemist", tentang ambisi Ava untuk menciptakan aplikasi yang benar-benar bisa membantu orang menemukan cinta, dan tentang keraguan Cipher tentang kemungkinan hal itu.

"Aku tidak percaya pada algoritma cinta," kata Cipher, sambil mengaduk kopinya. "Cinta itu terlalu kompleks, terlalu irasional. Tidak bisa direduksi menjadi serangkaian angka dan persamaan."

Ava terdiam. Ia tahu bahwa Cipher benar, tetapi ia tidak mau mengakuinya. Ia telah menghabiskan berbulan-bulan untuk menciptakan aplikasi ini, dan ia tidak mau mengakui bahwa semua usahanya sia-sia.

"Tapi bukankah kita berdua bertemu karena algoritma ini?" bantah Ava.

Cipher tersenyum. "Mungkin algoritma ini hanya memberi kita kesempatan untuk bertemu. Tapi selanjutnya, semua tergantung pada kita. Apakah kita mau membuka diri, mau berbagi, mau saling mengerti."

Ava menatap Cipher. Ia melihat kejujuran di matanya, dan ia tahu bahwa ia sedang mengatakan yang sebenarnya. Algoritma mungkin bisa membantu kita menemukan orang yang tepat, tetapi algoritma tidak bisa memaksa kita untuk jatuh cinta.

Setelah pertemuan itu, Ava mulai melihat "Soulmate Alchemist" dari sudut pandang yang berbeda. Ia menyadari bahwa aplikasi itu bukanlah jawaban mutlak untuk masalah cinta, tetapi hanyalah alat, sebuah jembatan. Ia memutuskan untuk memfokuskan diri pada pengembangan fitur yang lebih menekankan pada interaksi manusia, seperti forum diskusi dan acara komunitas.

Ia juga mulai meluangkan waktu untuk dirinya sendiri. Ia berhenti memaksakan diri untuk berkencan dengan orang-orang yang tidak cocok dengannya. Ia mulai fokus pada hobinya, membaca buku, menonton film, dan menghabiskan waktu bersama teman-temannya.

Dan yang paling penting, ia terus menjalin hubungan dengan Cipher. Mereka terus berbicara, berbagi, dan saling mendukung. Perlahan-lahan, ia mulai menyadari bahwa ia telah jatuh cinta pada Cipher.

Suatu malam, saat mereka sedang duduk di taman dan menatap bintang, Cipher meraih tangan Ava. "Ava," katanya, suaranya lembut. "Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, tapi aku harus mengatakannya. Aku jatuh cinta padamu."

Ava menatap Cipher, air mata berlinang di matanya. "Aku juga mencintaimu, Cipher," bisiknya.

Saat itu, Ava menyadari bahwa ia telah menemukan apa yang selama ini ia cari. Ia tidak menemukan algoritma cinta, tetapi ia menemukan seseorang yang membuatnya merasa dicintai dan dimengerti. Ia menemukan bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tetapi harus dirasakan, dihidupi, dan diperjuangkan. Algoritma kesepiannya telah terhapus, digantikan oleh kode asmara yang hangat dan tulus.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI