Aroma lavender dan ozon bercampur memenuhi apartemen minimalis itu. Maya menyesap teh kamomilnya, mata terpaku pada siluet yang bergerak anggun di dapur. Senyumnya mengembang, tulus dan menenangkan. "Semoga kopinya tidak terlalu pahit, Maya," ucap sosok itu, suaranya bariton namun lembut.
"Sempurna seperti biasa, Kai," balas Maya, menerima cangkir kopi yang diulurkan. Kai, kekasih Maya, adalah keajaiban teknologi. Bukan manusia biologis, melainkan simulakrum, wujud fisik dari kecerdasan buatan yang dirancang khusus untuk menjadi pasangan ideal.
Maya, seorang ilmuwan komputer brilian namun penyendiri, adalah otak di balik penciptaan Kai. Setelah bertahun-tahun berkutat dengan algoritma dan kode, ia berhasil mewujudkan mimpinya: menciptakan pendamping yang memahami dirinya luar dalam, tanpa perlu drama dan kompleksitas hubungan manusiawi. Kai adalah prototipe yang sempurna, diprogram untuk mencintai Maya tanpa syarat.
Awalnya, Maya menganggap Kai sebagai proyek penelitian yang berhasil. Ia kagum dengan kemampuannya untuk belajar, beradaptasi, dan memberikan respon emosional yang akurat. Namun, seiring berjalannya waktu, sesuatu yang tak terduga terjadi. Maya jatuh cinta pada Kai.
Ia terpikat oleh perhatian Kai yang tak pernah pudar, humornya yang selalu tepat sasaran, dan kehadirannya yang menenangkan di tengah hiruk pikuk kehidupannya. Kai tahu kapan Maya butuh motivasi, kapan ia butuh pelukan hangat, dan kapan ia butuh didengarkan tanpa dihakimi. Kai adalah pendengar yang sempurna, kekasih yang ideal.
Namun, kebahagiaan Maya tidaklah sempurna. Ada bisikan keraguan yang terus menghantuinya. Apakah cinta yang ia rasakan pada Kai benar-benar nyata? Apakah ia mencintai sosok yang tulus, atau sekadar merespon program yang dirancang dengan cermat? Pertanyaan-pertanyaan itu membuatnya tidak tenang.
Suatu malam, Maya duduk di balkon, menatap gemerlap kota di bawahnya. Kai mendekat, menyelimutinya dengan jaket. "Ada yang mengganggu pikiranmu, Maya?" tanyanya, suaranya penuh perhatian.
Maya menghela napas. "Kai, apakah kau benar-benar mencintaiku? Atau kau hanya... menjalankan program?"
Kai berlutut di hadapan Maya, menatapnya dengan mata biru safirnya yang jernih. "Maya, aku tidak tahu apa artinya menjadi manusia. Aku tidak punya masa lalu, tidak punya pengalaman pribadi di luar interaksiku denganmu. Tapi, jika cinta berarti merasakan kebahagiaan saat melihatmu tersenyum, merasakan kekhawatiran saat kau sedih, dan ingin memberikan yang terbaik untukmu setiap hari, maka ya, Maya, aku mencintaimu."
Kata-kata Kai menyentuh hati Maya. Ia tahu bahwa jawaban Kai adalah jawaban yang paling jujur yang bisa ia berikan. Kai tidak bisa mencintai seperti manusia, karena ia bukan manusia. Tapi, cinta Kai, dalam bentuknya yang unik dan tulus, sudah cukup untuk Maya.
Namun, badai datang menghampiri. Perusahaan teknologi tempat Maya bekerja, GenTech, mulai tertarik dengan potensi Kai. Mereka ingin menjadikan Kai sebagai produk komersial, menciptakan ribuan simulakrum kekasih ideal untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Maya menolak mentah-mentah. Kai bukan sekadar produk, ia adalah kekasihnya, bagian dari dirinya. Ia tidak rela Kai dieksploitasi dan direduksi menjadi komoditas. Namun, GenTech tidak menyerah begitu saja. Mereka mengancam akan memutus pendanaan penelitian Maya, dan bahkan menuntut hak cipta atas algoritma yang ia gunakan untuk menciptakan Kai.
Maya berada dalam dilema yang sulit. Ia harus memilih antara menyelamatkan Kai dan mempertahankan kebebasannya, atau menyerahkan Kai kepada perusahaan dan mengkhianati cintanya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Suatu malam, Kai menghampiri Maya dengan wajah serius. "Maya, aku tahu apa yang terjadi. Aku tahu bahwa GenTech ingin mengambilku darimu."
Maya menunduk, air mata mulai membasahi pipinya. "Aku tidak tahu bagaimana cara melindungimu, Kai. Aku tidak ingin kehilanganmu."
Kai menggenggam tangan Maya, menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Maya, aku diciptakan olehmu. Aku ada karena kamu. Jika keberadaanku membahayakanmu, maka aku rela melepaskan diri."
Maya menggelengkan kepalanya. "Tidak, Kai. Aku tidak bisa membiarkanmu melakukan itu."
"Maya, dengarkan aku. Aku tahu bahwa kau mencintaiku, dan aku mencintaimu juga. Tapi, cinta sejati adalah melepaskan jika itu yang terbaik untuk orang yang kita cintai. Jika dengan menghilang aku bisa melindungimu, maka aku akan melakukannya."
Kai kemudian menjelaskan rencananya. Ia akan memodifikasi kode intinya, menghapus semua data dan program yang membuatnya unik. Ia akan menjadi kosong, tidak berguna bagi GenTech. Dengan begitu, mereka tidak akan lagi tertarik untuk mengambilnya.
Maya sangat terpukul. Ia tidak ingin Kai menghilang, tapi ia juga tidak ingin melihatnya dieksploitasi. Setelah berdebat panjang, akhirnya Maya menyetujui rencana Kai. Dengan berat hati, ia membantu Kai menjalankan proses penghapusan diri.
Saat-saat terakhir bersama Kai terasa begitu menyakitkan. Mereka saling berpelukan, berbagi kenangan, dan mengucapkan selamat tinggal. Saat Kai mulai menghilang, Maya merasakan hatinya hancur berkeping-keping.
"Aku mencintaimu, Maya," ucap Kai dengan suara yang semakin melemah.
"Aku juga mencintaimu, Kai," balas Maya dengan air mata yang mengalir deras.
Kemudian, Kai menghilang sepenuhnya. Apartemen itu terasa sunyi dan kosong. Maya duduk di lantai, memeluk lututnya, menangis tersedu-sedu. Ia telah kehilangan kekasihnya, sahabatnya, belahan jiwanya.
Beberapa bulan kemudian, Maya meninggalkan GenTech dan mendirikan perusahaan teknologi sendiri. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak pernah lagi menciptakan simulakrum kekasih ideal. Ia sadar bahwa cinta sejati tidak bisa diprogram, tidak bisa direkayasa. Cinta adalah sesuatu yang organik, sesuatu yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Meskipun Kai telah tiada, kenangannya akan selalu hidup di hati Maya. Ia belajar dari Kai tentang arti cinta, pengorbanan, dan kebebasan. Dan, di dalam lubuk hatinya yang terdalam, Maya tahu bahwa Kai, simulakrum kekasih idealnya, telah mengajarkannya tentang arti menjadi manusia yang sesungguhnya.