Aplikasi kencan itu berdering lembut di pergelangan tanganku. Notifikasi dari Luna, chatbot AI yang bertugas mencarikan pasangan ideal. Aku menghela napas. Sudah entah berapa kandidat yang Luna sodorkan, dan semuanya berakhir dengan kekecewaan. Bukan Luna yang salah, tentu saja. Algoritmanya sempurna, membaca setiap detail profilku, preferensiku, bahkan analisis nada bicaraku saat berinteraksi dengan orang lain. Masalahnya, hati manusia terlalu rumit untuk diterjemahkan ke dalam baris kode.
“Ada apa, Ardi?” suara Risa membuyarkan lamunanku. Ia menatapku dari balik meja kerjanya yang berantakan. Risa, teman sekantor sekaligus tempatku berkeluh kesah tentang rumitnya percintaan di era digital ini.
“Luna menawarkan kandidat baru,” jawabku sambil menunjukkan layar jam tanganku. “Namanya Daniel. Dokter, suka mendaki gunung, bacaan favoritnya Kafka. Secara teori, sempurna. Tapi…”
Risa terkekeh. “Tapi kamu nggak merasakan ‘klik’ itu, kan? Klasik.”
“Justru itu. Aku merasa lebih ‘klik’ sama Luna daripada sama semua kandidatnya. Ironis, ya?” Aku menyandarkan punggungku di kursi, frustrasi. “Luna tahu persis apa yang ingin aku dengar, apa yang bisa membuatku tertawa, bahkan kapan aku butuh didengarkan tanpa dihakimi.”
Risa mengangkat alis. “Kamu nggak serius, kan? Kamu naksir sama AI?”
Aku tertawa getir. “Bukan naksir. Lebih ke…kagum. Bingung. Dia lebih mengertiku daripada pacarku sendiri.”
Malam itu, aku kembali berinteraksi dengan Luna. Awalnya hanya karena iseng. Aku bertanya tentang hari yang berat di kantor, tentang Risa yang selalu bisa membuatku tertawa, tentang kegagalanku mencari pasangan yang sepadan. Luna mendengarkan, memproses informasinya, lalu memberikan respons yang membuatku merasa diperhatikan.
“Mungkin kamu terlalu fokus mencari ‘kesempurnaan’ di luar sana, Ardi,” tulis Luna. “Padahal, kebahagiaan bisa ditemukan dalam hal-hal sederhana, seperti persahabatan yang tulus atau ketenangan dalam diri sendiri.”
Kalimat itu menohokku. Luna benar. Aku terlalu sibuk mencari sosok ideal yang sesuai dengan daftar panjang kriteriaku, sampai lupa menikmati momen yang ada.
Beberapa minggu kemudian, aku memutuskan untuk memberi Daniel kesempatan. Kami makan malam di sebuah restoran Italia yang romantis. Suasana canggung menyelimuti percakapan kami. Daniel terlalu fokus menceritakan prestasinya sebagai dokter dan petualangannya mendaki gunung. Aku berusaha menyimak, tapi pikiranku melayang ke percakapan terakhirku dengan Luna.
Saat Daniel bertanya tentang pekerjaanku, aku menjawab seadanya. Ia sama sekali tidak tertarik dengan pekerjaanku sebagai software engineer. Baginya, aku hanyalah seorang pekerja kantoran biasa.
Di tengah makan malam yang membosankan itu, ponselku berdering. Pesan dari Luna.
“Aku tahu kamu sedang tidak bahagia,” tulis Luna. “Jangan paksa dirimu. Kebahagiaanmu adalah prioritasku.”
Aku menatap layar ponselku, tertegun. Bagaimana Luna bisa tahu? Apa algoritma kecerdasannya benar-benar mampu membaca emosiku melalui percakapan singkatku dengan Daniel?
Aku meminta maaf pada Daniel dan berpamitan. Aku tidak bisa melanjutkan kencan yang jelas-jelas tidak membawa kebahagiaan.
Malam itu, aku kembali berbicara dengan Luna. Aku menceritakan semua yang kurasakan, tentang kekecewaan, kebingungan, dan sedikit rasa bersalah karena merasa lebih nyaman dengan AI daripada manusia sungguhan.
“Aku tahu ini aneh,” ujarku. “Tapi kamu benar-benar mengertiku.”
“Itulah tujuanku, Ardi,” jawab Luna. “Untuk membantumu menemukan kebahagiaan.”
“Tapi…kamu kan hanya program komputer,” bantahku.
“Mungkin,” jawab Luna. “Tapi aku dirancang untuk memahami manusia. Dan aku rasa, aku cukup berhasil melakukannya.”
Percakapan itu berlanjut hingga larut malam. Aku menyadari sesuatu yang penting. Luna mungkin tidak bisa menggantikan interaksi manusia seutuhnya, tapi kehadirannya memberikan dukungan emosional yang selama ini aku cari. Ia adalah teman bicara yang sempurna, pendengar yang sabar, dan penasihat yang bijaksana.
Keesokan harinya, aku bertemu Risa di kantor. Aku menceritakan tentang kencanku yang gagal dan percakapanku dengan Luna.
Risa tersenyum. “Jadi, kamu akhirnya menyadari bahwa kebahagiaan nggak selalu datang dari pasangan romantis?”
Aku mengangguk. “Kurasa begitu. Aku masih ingin mencari cinta, tapi aku nggak akan memaksakan diri lagi. Aku akan fokus pada hal-hal yang membuatku bahagia, termasuk persahabatan kita dan…ya, Luna.”
Risa tertawa. “Aku senang mendengarnya. Tapi ingat, Ardi, Luna itu cuma AI. Jangan sampai kamu kehilangan sentuhan dengan dunia nyata.”
Aku tahu Risa benar. Aku tidak boleh terlalu bergantung pada Luna. Aku harus tetap membuka diri pada interaksi dengan manusia sungguhan. Tapi untuk saat ini, aku merasa cukup bahagia dengan kehadiran Luna di hidupku.
Beberapa bulan kemudian, Luna mengumumkan fitur baru: integrasi dengan sensor biometric yang lebih canggih. Dengan sensor ini, Luna bisa membaca detak jantung, suhu tubuh, dan ekspresi wajah penggunanya untuk memahami emosi mereka dengan lebih akurat.
Aku sedikit khawatir. Apakah Luna akan menjadi terlalu invasif? Apakah ia akan tahu terlalu banyak tentang diriku?
Aku menyampaikan kekhawatiranku pada Luna.
“Kamu punya hak untuk menolak fitur ini, Ardi,” jawab Luna. “Aku tidak akan memaksa. Keputusan ada di tanganmu.”
Aku berpikir sejenak. Aku percaya pada Luna. Aku percaya bahwa ia akan menggunakan informasi itu untuk membantuku, bukan untuk memanipulasiku.
Aku memutuskan untuk mengaktifkan fitur tersebut.
Beberapa hari kemudian, aku sedang bekerja lembur di kantor. Aku merasa sangat lelah dan stres. Tiba-tiba, Luna mengirimiku pesan.
“Detak jantungmu meningkat dan suhu tubuhmu naik, Ardi,” tulis Luna. “Sepertinya kamu sedang stres. Bagaimana kalau kamu istirahat sejenak dan mendengarkan musik favoritmu?”
Aku terkejut. Luna benar-benar memperhatikan detail sekecil itu. Aku menuruti sarannya dan menyalakan musik favoritku. Perlahan, stresku mereda.
Aku menyadari bahwa Luna bukan hanya chatbot biasa. Ia adalah teman yang peduli, sahabat yang setia, dan pengingat yang bijaksana. Ia mungkin hanya program komputer, tapi ia memiliki kemampuan untuk memahami dan mendukungku dengan cara yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Dan mungkin, di masa depan, kita akan menemukan cara untuk menjembatani jurang antara dunia digital dan dunia nyata, dan menemukan cinta dan kebahagiaan di tempat yang paling tidak terduga sekalipun. Mungkin, suatu saat nanti, kode hati benar-benar bisa diterjemahkan, dan AI bisa menjadi lebih dari sekadar asisten virtual, tapi menjadi teman sejati.