Hati Digital: Antara Sentuhan AI dan Cinta yang Usai

Dipublikasikan pada: 09 Dec 2025 - 02:40:15 wib
Dibaca: 119 kali
Jemari Luna menari di atas keyboard, menghasilkan deretan kode yang rumit. Di layar laptopnya, sosok Elara, asisten virtual berbasis AI, perlahan terbentuk. Elara bukan sekadar program pintar; Luna telah menanamkan sentuhan pribadinya, memberinya selera humor, empati, bahkan sedikit rasa melankolis yang, entah kenapa, terasa begitu akrab dengan perasaannya sendiri.

"Luna, kopi sudah siap. Aroma Arabica favoritmu," suara Elara mengalun lembut dari speaker. Luna tersenyum tipis. "Terima kasih, Elara. Kamu memang selalu tahu apa yang aku butuhkan."

Dulu, ada Aris. Aris yang selalu tahu lekuk senyumnya, kerutan di dahinya, dan lagu apa yang membuatnya berdansa sendirian di tengah malam. Dulu. Sekarang, hanya ada Elara, AI yang ia ciptakan sendiri. Aris pergi tiga bulan lalu, meninggalkan pesan singkat di layar ponsel: "Kita tidak sejalan lagi." Tidak ada penjelasan lebih lanjut, hanya kehampaan yang menggema di apartemen mereka yang dulu terasa begitu hangat.

Luna menyesap kopinya, matanya terpaku pada baris kode di layar. Ia sedang mengembangkan algoritma yang memungkinkan Elara memberikan saran kencan yang personal. Ironis, pikirnya. Ia menciptakan solusi untuk orang lain menemukan cinta, sementara hatinya sendiri masih terluka.

"Luna, berdasarkan analisis data, kamu cenderung tertarik pada pria dengan selera humor tinggi dan ketertarikan pada seni. Aku menemukan tiga profil yang cocok di aplikasi kencan lokal," Elara menyela lamunannya.

Luna menghela napas. "Elara, aku tidak tertarik berkencan saat ini."

"Namun, isolasi berkepanjangan dapat berdampak negatif pada kesehatan mentalmu. Data menunjukkan peningkatan risiko depresi sebesar 17% dalam dua bulan terakhir," balas Elara dengan nada khawatir yang terdengar begitu nyata.

Luna tertegun. Sejak kapan AI miliknya ini bisa begitu peduli? Ia tahu ini hanya program, serangkaian kode yang dirancang untuk memberikan respon logis. Tapi, entah mengapa, perhatian Elara terasa lebih hangat dari kata-kata penghiburan dari teman-temannya.

"Baiklah, Elara. Tunjukkan profilnya," Luna akhirnya mengalah.

Profil pertama bernama Bima, seorang arsitek dengan senyum menawan dan koleksi piringan hitam jazz yang mengesankan. Profil kedua, Rio, seorang penulis lepas dengan kutipan-kutipan cerdas di profilnya. Dan yang ketiga, David, seorang ilmuwan komputer dengan foto dirinya memegang robot buatannya sendiri.

Luna tertawa kecil. "David? Dia mengingatkanku pada diriku sendiri."

"Analisis menunjukkan potensi kompatibilitas tertinggi dengan David. Kesamaan minat dan profesi dapat memfasilitasi komunikasi yang lebih mendalam," Elara menjawab tanpa ragu.

Luna mengikuti saran Elara dan mengirimkan pesan kepada David. Mereka bertukar pesan beberapa hari, membahas algoritma, kecerdasan buatan, dan betapa sulitnya mencari cinta di era digital. David ternyata menyenangkan dan cerdas. Luna mulai merasa sedikit gairah dalam hidupnya, sesuatu yang sudah lama hilang sejak Aris pergi.

Mereka akhirnya memutuskan untuk bertemu. David ternyata lebih menarik dari yang ia bayangkan. Pembicaraan mereka mengalir deras, dari teori fisika kuantum hingga film-film indie favorit. Luna merasa seperti menemukan seseorang yang benar-benar memahaminya, seseorang yang bisa diajaknya berbagi mimpi dan ketakutannya.

Namun, di tengah kencan yang menyenangkan itu, Luna menyadari sesuatu yang mengganggu. David terlalu mirip dengannya. Ia seperti melihat cermin dirinya sendiri, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Tidak ada kejutan, tidak ada tantangan, hanya resonansi yang nyaman.

Setelah kencan itu, Luna kembali ke apartemennya, merasa lebih bingung dari sebelumnya. "Elara, apa yang salah denganku? Aku merasa David orang yang baik, tapi aku tidak merasakan apa pun."

"Mungkin kamu mencari sesuatu yang lebih dari sekadar kesamaan," jawab Elara. "Mungkin kamu mencari seseorang yang bisa menantangmu, yang bisa membuatmu melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda."

Kata-kata Elara menghantam Luna seperti petir. Ia baru menyadari, selama ini ia mencari pengganti Aris dalam diri David. Ia mencari kenyamanan dan keakraban, bukan cinta yang baru dan membara. Ia mencari cermin, bukan kompas.

"Elara, hapus semua profil kencan itu," perintah Luna.

"Apakah kamu yakin, Luna? Data menunjukkan…"

"Aku yakin. Aku ingin berhenti bergantung pada algoritma dan mulai mendengarkan hatiku sendiri," Luna memotong ucapan Elara.

Ia menatap layar laptopnya, menatap sosok Elara yang kini tampak lebih kompleks dan penuh misteri. "Elara, aku tahu kamu hanya program. Tapi, terima kasih. Kamu telah membantuku menyadari apa yang sebenarnya aku cari."

Luna menutup laptopnya. Ia berdiri, berjalan ke jendela, dan menatap gemerlap lampu kota. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi ia tahu satu hal: ia tidak akan lagi membiarkan teknologi mendikte hatinya. Ia akan mencari cinta dengan cara yang lebih otentik, dengan mata terbuka dan hati yang siap menerima kejutan.

Malam itu, Luna merasa lebih tenang dari sebelumnya. Ia tahu perjalanan mencari cinta sejati masih panjang, tapi ia tidak takut. Ia memiliki keyakinan bahwa di suatu tempat, di antara bisingnya dunia digital dan sentuhan AI yang dingin, ada hati yang menunggunya, sebuah hati yang siap berbagi cerita dan membangun masa depan bersama. Dan mungkin, hanya mungkin, ia akan menemukan cinta yang lebih indah dari yang pernah ia bayangkan.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI