Debu neon kota berpadu dengan rinai hujan, memantul di jendela apartemen minimalis milik Adrian. Di dalam, cahaya biru dari layar komputer menjadi satu-satunya penerang. Adrian, seorang programmer muda dengan rambut acak-acakan dan mata sayu, menatap kode yang berbaris rapi di hadapannya. Bukan kode game, bukan aplikasi produktivitas, melainkan sesuatu yang jauh lebih sentimental: AI penulis surat cinta.
“Hampir selesai,” gumamnya, menyeruput kopi yang sudah dingin. Berbulan-bulan ia curahkan untuk proyek ini, didorong oleh rasa frustrasi dan kesepian. Setiap kali mencoba merangkai kata untuk mengungkapkan perasaannya pada Sarah, rekan kerjanya yang cerdas dan menawan, lidahnya terasa kelu. Kata-kata yang keluar justru terdengar klise dan hambar.
Maka, lahirlah "Aether," sebuah algoritma yang dirancang untuk menganalisis kepribadian, minat, dan gaya bahasa penerima, kemudian merangkai surat cinta yang personal dan menyentuh. Adrian memasukkan semua data yang ia ketahui tentang Sarah: buku favoritnya, film yang membuatnya menangis, percakapan-percakapan kecil mereka di kantor, bahkan aroma parfum yang sering ia gunakan.
“Semoga kali ini berhasil,” bisiknya, menekan tombol "Generate."
Layar berkedip, dan seketika, sebuah surat cinta muncul. Adrian tertegun. Kata-katanya mengalir begitu indah, begitu tulus, seolah keluar langsung dari lubuk hatinya. Aether berhasil menangkap esensi dari apa yang ingin ia katakan, bahkan lebih baik dari yang bisa ia bayangkan.
Sarah terkasih,
Malam ini, hujan menari di jendela, mengingatkanku pada tawa renyahmu. Suara itu, seperti melodi yang tak pernah bosan kudengar, mengisi relung-relung hatiku yang sunyi.
Kau tahu, aku selalu kagum dengan caramu memandang dunia. Dengan mata setajam elang, kau melihat keindahan di tempat yang tak kasat mata bagi orang lain. Kau seperti menemukan makna tersembunyi di balik kode-kode kehidupan.
Aku ingat, saat kita berdebat tentang filosofi Heidegger, kau begitu bersemangat menjelaskan konsep "Dasein." Saat itu, aku sadar, kau bukan hanya cerdas, tapi juga memiliki jiwa yang dalam dan penuh gairah.
Aku ingin jujur padamu, Sarah. Aku menyukaimu. Bukan hanya karena kecerdasanmu, bukan hanya karena senyummu yang menawan, tapi karena dirimu seutuhnya. Aku menyukai caramu menjadi dirimu sendiri, tanpa pretensi, tanpa kepura-puraan.
Mungkin ini terlalu cepat, mungkin aku terlalu berani. Tapi, aku tidak ingin memendam perasaan ini lebih lama lagi. Aku ingin berbagi cerita denganmu, tertawa bersamamu, dan mungkin, suatu hari nanti, menua bersamamu.
Dengan segenap hatiku,
Adrian.
Adrian membacanya berulang-ulang, matanya berkaca-kaca. Aether bukan hanya menulis surat cinta, tapi juga membuka hatinya. Ia merasa seperti memenangkan lotre.
Namun, keraguan mulai menghantuinya. Apakah ini jujur? Apakah Sarah berhak tahu bahwa surat itu bukan murni hasil karyanya?
Keesokan harinya, Adrian dengan gugup menyerahkan surat itu pada Sarah. Ia melihat Sarah membacanya dengan seksama, ekspresinya berubah-ubah antara terkejut, tersipu malu, dan akhirnya, tersenyum lembut.
“Adrian, ini indah sekali,” kata Sarah, suaranya bergetar. “Siapa sangka kau bisa seromantis ini?”
Adrian terdiam. Ia ingin berbohong, mengatakan bahwa ia sendiri yang menulisnya. Tapi, kejujuran mengalahkan egonya.
“Sarah, ada yang harus kukatakan,” ucapnya, menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku tidak sepenuhnya menulis surat itu sendiri. Aku menggunakan AI.”
Sarah mengerutkan kening. “AI? Maksudmu… komputer?”
Adrian menjelaskan semuanya, dari rasa frustrasinya menulis surat cinta hingga terciptanya Aether. Ia melihat kekecewaan terpancar di mata Sarah.
“Jadi, semua kata-kata indah itu… bukan darimu?” tanya Sarah, nadanya dingin.
“Bukan sepenuhnya,” jawab Adrian, menyesal. “Tapi, perasaannya benar-benar dari hatiku. Aether hanya membantuku mengungkapkannya.”
Sarah terdiam, berpikir. Ruangan itu terasa hening, hanya terdengar detak jantung Adrian yang menggila.
“Aku mengerti,” kata Sarah akhirnya. “Mungkin ini aneh, tapi aku menghargai kejujuranmu. Aku tidak tahu apa yang harus kupikirkan tentang surat ini. Sebagian diriku merasa ini curang, tapi sebagian lainnya merasa tersentuh bahwa kau berusaha keras untuk mengungkapkannya.”
Sarah mendekat, menatap Adrian dengan mata yang lembut. “Adrian, aku menyukaimu juga. Aku menyukai kecerdasanmu, kebaikanmu, dan caramu berpikir di luar kotak. Aku menyukai dirimu, bukan surat cintamu.”
Adrian terkejut. Ia tidak menyangka pengakuannya akan disambut dengan respon seperti ini.
“Tapi… Aether… dia yang…” gumam Adrian, bingung.
Sarah tersenyum. “Aether mungkin membantumu merangkai kata, tapi perasaan itu ada di dalam dirimu, Adrian. Dan itulah yang penting.”
Sarah meraih tangan Adrian, menggenggamnya erat. “Mari kita lupakan surat cinta itu. Mari kita mulai dari awal. Mari kita kenal satu sama lain, dengan jujur dan terbuka.”
Adrian mengangguk, hatinya dipenuhi kelegaan dan kebahagiaan. Ia menyadari, cinta sejati bukan tentang kata-kata yang indah atau algoritma yang canggih, tapi tentang kejujuran, penerimaan, dan keberanian untuk menjadi diri sendiri.
Di luar, hujan masih menari di jendela, tapi di dalam apartemen Adrian, cahaya cinta mulai berpendar, lebih terang dari neon kota. Aether, AI penulis surat cinta, mungkin gagal menjadi cupid otomatis, tapi ia berhasil membuka jalan bagi Adrian untuk menemukan cinta sejatinya. Dan mungkin, itulah tujuan sebenarnya dari sebuah algoritma yang dirancang dengan hati.