Jari-jari Lintang menari di atas keyboard, mengetik baris demi baris kode. Di layar laptopnya, siluet wajah seorang pria perlahan terbentuk, bukan dari piksel, melainkan dari algoritma. Ini bukan sembarang program, ini adalah Bot Asmara, ciptaannya sendiri. Sebuah kecerdasan buatan yang dirancang untuk mencari dan menganalisis data cinta, dan pada akhirnya, memprediksi kompatibilitas.
"Hampir selesai," gumam Lintang, meneguk kopi yang sudah dingin. Ia sudah berbulan-bulan begadang, mengorbankan waktu tidurnya demi proyek ambisius ini. Lintang, seorang data scientist yang brilian, memiliki alasan pribadi di balik obsesinya. Patah hati.
Dua tahun lalu, ia jatuh cinta pada seorang musisi bernama Arya. Cinta mereka meledak-ledak, penuh warna dan melodi indah. Namun, seperti nada tinggi yang tak bisa dipertahankan, hubungan itu berakhir dengan tragis. Arya, dengan alasan klise 'bukan kamu, tapi aku', meninggalkannya demi seorang model yang sedang naik daun.
Sejak saat itu, Lintang skeptis terhadap cinta. Ia merasa bahwa perasaan hanyalah ilusi biologis, serangkaian reaksi kimia yang bisa diukur dan diprediksi. Bot Asmara adalah usahanya untuk membuktikan teorinya.
Setelah menekan tombol 'compile', Lintang menyaksikan dengan napas tertahan. Layar laptop berkedip, lalu menampilkan serangkaian angka dan grafik yang kompleks. "Sistem berjalan," bisiknya.
Lintang kemudian memasukkan data dirinya sendiri, termasuk preferensi, nilai-nilai, hobi, dan bahkan daftar mantan pacar. Ia juga menambahkan foto dan video. Bot Asmara mulai bekerja, memindai data dengan kecepatan kilat.
Beberapa saat kemudian, sebuah nama muncul di layar: "Reza Pratama."
Reza? Lintang mengerutkan kening. Ia mengenal Reza sebagai rekan kerjanya di perusahaan teknologi tempatnya bekerja. Reza adalah seorang programmer yang cerdas dan pendiam. Mereka sering berdiskusi tentang proyek-proyek teknis, tapi tidak pernah membahas hal-hal pribadi.
"Kompatibilitas: 92%," lanjut Bot Asmara. "Potensi hubungan jangka panjang: Tinggi."
Lintang tertawa sinis. "Ini pasti kesalahan. Aku dan Reza? Tidak mungkin." Ia selalu menganggap Reza sebagai sosok yang kaku dan membosankan. Ia lebih menyukai pria-pria kreatif dan berjiwa bebas, seperti Arya.
Namun, rasa penasaran menggerogotinya. Ia memutuskan untuk mencoba. Keesokan harinya, Lintang sengaja mendekati Reza di kantor. Ia memulainya dengan pertanyaan seputar proyek terbaru mereka, lalu perlahan mengarah ke topik yang lebih personal.
"Kamu suka musik apa, Za?" tanya Lintang, pura-pura tertarik.
Reza tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Ia biasanya hanya berbicara tentang kode dan algoritma. "Saya... saya suka musik klasik. Terutama Beethoven," jawabnya dengan gugup.
Lintang terkejut. Arya membenci musik klasik. Ia selalu mengejeknya karena selera musiknya yang 'jadul'.
Percakapan mereka berlanjut, dan Lintang semakin terkejut dengan kesamaan antara dirinya dan Reza. Mereka berdua menyukai film-film indie, gemar membaca buku-buku fiksi ilmiah, dan memiliki pandangan yang sama tentang masa depan teknologi.
Seiring berjalannya waktu, Lintang mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia merasa nyaman dan tenang berada di dekat Reza. Ia menikmati percakapan mereka yang mendalam dan bermakna. Ia bahkan mulai menyukai senyum tipis yang jarang diperlihatkan Reza.
"Apa yang terjadi padaku?" gumam Lintang, suatu malam di depan laptopnya. Bot Asmara masih menyala, menampilkan profil Reza dengan angka kompatibilitas yang terus meningkat. Ia merasa terjebak dalam algoritmanya sendiri.
Di satu sisi, ia senang karena teorinya terbukti benar. Cinta memang bisa diprediksi. Di sisi lain, ia merasa bersalah. Ia mendekati Reza bukan karena perasaannya yang tulus, tapi karena mengikuti perintah sebuah program.
Suatu malam, Reza mengajak Lintang makan malam. Mereka berjalan-jalan di taman kota yang dipenuhi lampu-lampu cantik. Udara malam terasa dingin, tapi Lintang merasa hangat berada di dekat Reza.
"Lintang," kata Reza, menghentikan langkahnya. "Saya... saya ingin mengatakan sesuatu."
Lintang menahan napas. Ia tahu apa yang akan terjadi.
"Saya tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi... saya merasa ada sesuatu yang istimewa antara kita," lanjut Reza dengan suara pelan. "Saya menyukai kamu, Lintang."
Lintang terdiam. Ia seharusnya senang. Ini adalah momen yang ia impikan selama ini. Namun, ia justru merasa hampa.
"Reza," kata Lintang akhirnya. "Ada sesuatu yang harus kamu tahu." Ia menceritakan semuanya tentang Bot Asmara, tentang obsesinya untuk membuktikan bahwa cinta bisa diprediksi, dan tentang bagaimana ia menggunakan program itu untuk mendekati Reza.
Reza mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong pembicaraan Lintang. Ketika Lintang selesai, Reza terdiam sejenak.
"Jadi, selama ini kamu mendekati saya karena sebuah program?" tanya Reza dengan nada kecewa.
Lintang mengangguk, air mata mulai menetes di pipinya. "Maafkan aku, Reza. Aku bodoh. Aku terlalu fokus pada algoritma sampai melupakan arti cinta yang sebenarnya."
Reza menghela napas. "Saya tidak tahu harus berkata apa, Lintang. Saya merasa dipermainkan. Saya kira, perasaan yang saya rasakan itu nyata."
Reza berbalik dan pergi, meninggalkan Lintang sendirian di taman yang sepi. Lintang menangis tersedu-sedu, menyesali perbuatannya. Ia telah menyakiti seseorang yang tulus hanya karena ego dan rasa takutnya.
Lintang pulang dan mematikan Bot Asmara. Ia menghapus semua data dan kode yang telah ia buat. Ia menyadari bahwa cinta tidak bisa diukur dengan angka dan algoritma. Cinta adalah tentang perasaan, tentang kepercayaan, tentang kejujuran.
Beberapa minggu kemudian, Lintang melihat Reza di kantor. Mereka saling bertatapan, tapi tidak ada yang berbicara. Lintang tahu ia telah kehilangan kesempatan untuk bahagia.
Suatu sore, Lintang menerima email dari Reza. Di dalamnya tertulis: "Saya tidak bisa melupakan kamu, Lintang. Mari kita bertemu lagi. Tapi kali ini, tanpa algoritma."
Lintang tersenyum. Mungkin, masih ada harapan. Mungkin, cinta masih bisa ditemukan, bahkan setelah algoritma cinta mati dan manusia terluka. Mungkin, kali ini, ia bisa mencintai dengan tulus, tanpa syarat, dan tanpa program.