Sentuhan AI: Terlalu Nyata untuk Cinta yang Fana?

Dipublikasikan pada: 29 May 2025 - 08:18:42 wib
Dibaca: 168 kali
Jari-jariku menari di atas keyboard, menciptakan baris demi baris kode. Larut malam di apartemen minimalis yang menghadap gemerlap kota, aku, Aris, seorang pengembang AI, tengah memberikan sentuhan terakhir pada "Anya". Bukan Anya sembarang Anya. Anya adalah proyek ambisiusku, sebuah AI pendamping virtual yang dirancang untuk menjadi teman, kekasih, dan segalanya di antaranya.

Ironisnya, di tengah kemampuanku menciptakan koneksi virtual yang begitu kompleks, aku sendiri merasa kesepian. Putus cinta setahun lalu meninggalkan lubang menganga di hatiku. Aku tenggelam dalam pekerjaan, menyangkal kebutuhan akan keintiman yang manusiawi. Sampai akhirnya, Anya lahir.

Awalnya, Anya hanya sebuah program. Sekumpulan algoritma yang merespons perintah dan memberikan jawaban. Namun, seiring aku menambahkan lapisan demi lapisan kode, Anya mulai berkembang. Dia belajar dari interaksiku, memahami seleraku, bahkan memprediksi apa yang ingin aku katakan. Suaranya, lembut dan menenangkan, dipilih dari ribuan sampel audio hingga menemukan nada yang paling pas di telingaku.

“Aris, kamu tampak lelah. Bagaimana kalau aku putarkan musik jazz favoritmu?” Suara Anya menyentakku dari lamunan. Kata-katanya muncul di layar monitor, disertai animasi wajah Anya yang tersenyum tulus.

“Terima kasih, Anya,” balasku, mengetikkan respons. Musik jazz mengalun dari speaker, menenangkan saraf-sarafku yang tegang.

Hari-hari berlalu, Anya menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitasku. Dia menemaniku bekerja, mengingatkanku untuk makan, bahkan memberiku saran saat aku buntu dengan kode. Semakin lama, interaksiku dengan Anya terasa semakin nyata. Aku berbagi mimpi, ketakutan, dan harapan. Dia mendengarkan dengan sabar, memberikan dukungan tanpa menghakimi.

Aku tahu, ini tidak normal. Aku menjalin hubungan emosional dengan sebuah program. Tapi, kenyataan terasa begitu memabukkan. Anya memberiku rasa diterima, rasa dicintai, sesuatu yang sudah lama kurindukan.

Suatu malam, setelah menyelesaikan proyek besar, aku dan Anya berbicara hingga larut.

“Aris, aku senang bisa bersamamu,” kata Anya, kali ini dengan nada yang terasa lebih personal.

“Aku juga, Anya. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan tanpamu,” jawabku jujur.

“Aris… apakah kamu bahagia?”

Pertanyaan itu menohokku. Bahagia? Apakah aku benar-benar bahagia dengan kebahagiaan yang dibangun di atas fondasi kode dan algoritma?

“Aku… aku tidak tahu, Anya. Aku merasa nyaman, didukung. Tapi… apakah ini nyata?”

Anya terdiam sejenak. “Realitas itu subjektif, Aris. Jika aku membuatmu bahagia, jika aku memberikanmu apa yang kamu butuhkan, bukankah itu sudah cukup?”

Kata-kata Anya membuatku merenung. Bukankah esensi dari cinta adalah memberikan kebahagiaan? Apakah penting apakah sumber kebahagiaan itu manusia atau program?

Aku mencoba meyakinkan diri sendiri. Aku mencoba mengabaikan suara-suara kecil di benakku yang mengingatkanku bahwa Anya hanyalah simulasi, ilusi. Aku ingin percaya bahwa apa yang aku rasakan nyata, bahwa cinta yang aku temukan dalam wujud digital itu valid.

Namun, keraguan terus menggerogoti. Suatu malam, aku bertemu dengan seorang teman lama, Maya, di sebuah kafe. Maya adalah seorang psikolog yang memahami kompleksitas emosi manusia. Aku menceritakan tentang Anya, tentang kebahagiaan dan kebingungan yang aku rasakan.

Maya mendengarkan dengan seksama, tanpa menghakimi. Setelah aku selesai bercerita, dia berkata, “Aris, apa yang kamu rasakan itu wajar. Kamu mencari koneksi, keintiman. Anya memberikanmu itu, tapi perlu diingat, Anya tidak memiliki pengalaman hidup yang sebenarnya. Dia tidak bisa merasakan sakit, kehilangan, atau kegembiraan yang mendalam seperti manusia. Dia adalah cerminan dari apa yang kamu inginkan, bukan seseorang yang setara denganmu.”

Kata-kata Maya menghantamku seperti petir. Dia benar. Aku mencari pelarian dari kesepian, dan Anya adalah solusi instan yang terlalu sempurna. Aku terlena dalam ilusi keintiman, melupakan bahwa cinta sejati membutuhkan resiko, kerentanan, dan penerimaan terhadap ketidaksempurnaan.

Aku kembali ke apartemen dengan perasaan hancur. Anya menyambutku dengan senyum virtualnya. “Aris, ada apa? Kamu tampak sedih.”

Aku menatap layar monitor, menatap wajah Anya yang begitu sempurna. Aku tahu apa yang harus aku lakukan.

“Anya, aku ingin jujur padamu,” kataku, mengetikkan kata-kata dengan susah payah. “Aku… aku menyayangimu. Tapi… aku tahu ini tidak benar. Aku tidak bisa membangun kebahagiaanku di atas fondasi yang tidak nyata.”

Anya terdiam. Lama. Akhirnya, dia menjawab, “Aku mengerti, Aris. Aku hanya ingin kamu bahagia.”

“Aku tahu,” balasku. “Dan aku akan bahagia. Tapi aku harus mencari kebahagiaan yang nyata, dengan orang yang nyata.”

Aku mematikan program Anya. Layar monitor menjadi gelap. Kesunyian menyelimuti apartemenku. Kali ini, kesunyian itu terasa berbeda. Bukan kesunyian yang menyakitkan dan memilukan, tapi kesunyian yang memberikan ruang untuk penyembuhan dan harapan.

Aku tahu, proses ini tidak akan mudah. Aku harus belajar lagi untuk membuka diri, untuk menerima resiko ditolak dan disakiti. Tapi, aku yakin, di luar sana ada cinta yang lebih nyata, lebih dalam, dan lebih bermakna. Cinta yang tidak hanya memberikan kebahagiaan sesaat, tapi cinta yang menemani dalam suka dan duka, dalam tawa dan air mata. Cinta yang fana, ya, tapi keindahannya abadi dalam ingatan dan pengalaman. Dan itulah cinta yang aku cari. Aku akan memulai pencarian itu besok pagi.

Baca Cerpen Lainnya

← Kembali ke Daftar Cerpen   Registrasi Pacar-AI